Penggunaan tes cepat untuk diagnosis Covid-19 dinilai tidak akurat dan justru menimbulkan banyak masalah baru. Karena itu, pemakaian metode tes tersebut sebaiknya dihentikan dan segera memperbanyak pemeriksaan spesimen.
Penggunaan tes cepat untuk diagnosis Covid-19 diminta dihentikan karena justru menimbulkan banyak masalah baru. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan pemeriksaan dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR, sebagaimana menjadi standar Organisasi Kesehatan Dunia.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono, di Jakarta, Senin (15/6/2020) mengatakan, sejumlah daerah diduga tak mengoptimalkan tes PCR sehingga kasus yang ditemukan menjadi sedikit, bahkan bisa nol.”Ini terutama dilakukan di daerah yang kepala daerahnya akan kembali mengikuti pilkada. Mereka menganggap kalau kasusnya kecil jadi prestasi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Pandu, kebijakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 membuat kategori daerah-daerah aman Covid-19 dengan indikator tiadanya penambahan kasus turut memicu persoalan ini. “Agar tidak ada kasus, jadinya tidak serius memeriksa. Kalau tidak dites, ya tidak tidak ada kasus. Ini kesalahan sejak awal yang sekarang menular di daerah,” ujarnya.
Epidemiolog dari Laporcovid19.org, Henry Surendra mengatakan, data penambahan kasus yang dilaporkan di Nusa Tenggara Barat janggal. Di antaranya, dari 10 kabupaten/kota di NTB, penambahan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) pada Senin hanya dilaporkan Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Adapun penambahan jumlah pasien dalam pemeriksaan (PDP) hanya di Mataram, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Sumbawa.
Sementara itu, jumlah orang tanpa gejala (OTG) dan pelaku perjalanan tanpa gejala (PPTG) di tiap kabupaten atau kota mencapai ratusan dan ribuan orang. “Dari sisi epidemiologi ini aneh, banyak OTG dan PPTG, tetapi kenapa tidak ada penambahan ODP dan PDP? Apakah survei tidak jalan atau ada masalah di pelaporannya,” kata Henry.
Keanehan lain, menuru Henry, NTB memiliki jumlah anak yang positif Covid-19 termasuk yang terbanyak di Indonesia, yang menunjukkan adanya penularan tak terkendali dan belum diketahui sumbernya. “Seharusnya yang paling berpotensi tertular adalah orang dewasa, kalau banyak anak tertular kemungkinan transmisi Covid-19 tinggo. Sangat tidak mungkin tidak ada penambahan ODP dan PDP,” kata dia
Menurut data Dinas Kesehatan NTB pada 27 Mei 2020, jumlah anak di NTB yang positif Covid-19 mencapai 77 anak, tiga di ataranya telah meninggal dunia. Sementara itu, jumlah PDP yang meninggal di provinsi ini toal mencapai 52 orang, 40 orang di antaranya positif Covid-19.
Harus bersiaga
Pandu mengatakan, dengan tren saat ini, semua daerah di Indonesia tidak boleh lagi merasa aman karena nyaris tidak ada pembatasan mobilitas antar daerah. Oleh karena itu, yang harus dilakukan tiap daerah justru memperbanyak surveilans, yaitu tes, penelusuran orang yang berisiko, dan isolasi.
Sesuai laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 10 Juni 2020, jumlah tes PCR minimal untuk tiap daerah seharusnya 1 orang per 1.000 penduduk per minggu. Jumlah ini sejauh ini hanya bisa dipenuhi Jakarta. “Seharusnya daerah lain bisa meniru Jakarta yang mulai melakukan tes massal, tanpa menunggu jadi PDP,” kata Pandu.
Data dari laman resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga Senin, jumlah orang yang telah dites di Jakarta 98.376 orang, dan 8.881 orang di antaranya positif. Jumlah orang yang diperiksa ini hampir sepertiga dari total yang diperiksa di seluruh Indonesia, yang menurut data Kementerian Kesehatan baru sebanyak 329.190 orang yang dites dengan PCR.
Pandu juga mempertanyakan waktu tunggu pelaporan hasil tes yang masih lama dan tidak transparan. Kondisi ini rentan memicu manipulasi data dan memperlambat penanganan pasien. “Seharusnya jumlah tes yang dilakukan tiap daerah diumumkan tiap hari, dan berapa banyak yang masih menunggu hasul pemeriksaan, sehingga masyarakat tahu apakah daerahnya sudah cukup melakukan tes atau tidak dan hasilnya terpantau,” ujarnya.
Pandu juga melihat kerancuan terjadi karena masifnya penggunaan tes cepat untuk diagnosa karena kemungkinan hasilnya tidak akurat. “Di tengah situasi seperti ini seharusnya anggaran bisa dioptimalkan untuk melakukan tes PCR, karena penggunan rapid tes untuk diagnosa adalah sia-sia?” tuturnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 16 Juni 2020