KECOA adalah musuh manusia. Kehadirannya sering menimbulkan rasa jijik, dan orang bisa mengasumsikan bahwa tempat yang berkecoa adalah tempat yang tak terjaga kebersihannya. Insektisida rumah tangga selalu ditemukan untuk membasmi nyamuk, tak ketinggalan pula menjadikan kecoa sebagai sasaran.
Mengapa kecoa demikian dibenci? Kecoa mengotori makanan atau benda bersih yang diinjaknya dengan kotorannya dan kakinya yang juga kotor. Kecoa yang tinggal di selokan kotor, ketika mencari makanan menginjak makanan manusia sambil meninggalkan bibit penyakit. Kecoa dilaporkan terbukti membawa virus polyomyelitis, virus penyebab radang sumsum tulang belakang, dan bakteri Salmonella yang meracuni makanan.
Kecoa rumah memang salah satu binatang yang sangat berhasil hidup bersama dengan manusia. Misalnya, suhu dan kelembaban yang cocok untuk kecoa juga cocok untuk manusia. Bentuk badannya yang pipih memudahkan kecoa menyelusup ke tempat persembunyiannya di celah-celah sempit, masuk di belakang lemari, celah di bawah lantai yang sempit, ke dalam celah-celah selokan yang lembab dan sempit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di antara serangga, kecoa temasuk yang memiliki kemampuan berlari cepat. Kecoa mampu berlari dengan kecepatan tiga kilometer per jam untuk menyelamatkan diri ke celah-celah sempit.
Walaupun kecoa adalah serangga pertama di dunia yang bisa terbang, kecoa rumah dan kecoa jenis lainnya yang memiliki sayap, jarang sekali memanfaatkan sayapnya yang halus itu. Kecoa cenderung berjalan dan berlari. Kecoa rumah memanfaatkan sayapnya jika sedang mencari tempat bertelur atau jika suhu sekelilingnya sangat panas.
Untuk melindungi diri, kecoa sangat sensitif dengan getaran tempatnya berpijak. Kecoa mampu mendeteksi pergeseran yang kurang dari sepersejuta milimeter. Kecoa Juga mampu mendeteksi gerakan udara akibat serangan dengan kedua antenanya, lama sebelum serangan itu tiba.
Klasikaasi kecoa tergolong agak rancu. Ada yang menggolongkannya dalam bangsa atau ordo Blattodea dengan lima familia dan sekitar 3.500 spesies. Tapi ada pula yang memasukkan kecoa menjadi satu bangsa dengan belalang sembah, karena sama-sama memiliki sayap jarring, sehingga disebut Ordo Dictyoptera yang mencakup 5.500 spesies.
Kecoa berhasil beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan. Keluarga kecoa bisa dijumpai pada ketinggian 2.000 m di atas permukaan air laut. Mereka juga ada yang hidup di padang gurun, tundra, padang rumput, rawa-rawa, di hutan lebat. Mereka hidup di pohon-pohon dan di bawah pohon, di lubang-lubang.
Bukan hanya bisa hidup di berbagai alam, lebih jauh lagi keluarga kecoa menyukai segala jenis makanan. Kecoa rumah memakan segala macam jenis makanan yang dimakan manusia, juga kertas, dokumen-dokumen dan lem penjilid buku. Kecoa, yang dilengkapi dengan rahang menggigit dan mengunyah, memang binatang omnivora, pemakan segala, termasuk binatang hidup maupun bagian dari binatang mati. Cryptocerus, salah satu jenis kecoa yang hidup di Asia dan Amerika Utara, mampu mencerna selulosa karena bersimbiose dengan sejenis protozoa, binatang bersel satu, yang bisa mencerna selulosa menjadi bahan yang bisa dicerna kecoa.
Kemampuan kecoa mempertahankan hidupnya sudah terbukti jutaan tahun lamanya. Keluarga kecoa adalah salah satu fosil hidup dunia. Kecoa termasuk binatang prasejarah tertua dibandingkan serangga lainnya. Kecoa sudah mulai menempati bumi ini, 345-280 juta tahun yang lalu pada zaman karbon. Mungkin satu-satunya pewaris bumi adalah kecoa yang bisa bertahan dari segala macam gangguan.
Dan, kecoa termasuk serangga berumur panjang. Kecoa Amerika (Periplaneta americana) yang berwarna cokelat tua, yang umum ditemui di rumah-rumah di seluruh dunia, bisa hidup lebih dari empat tahun. Selama hidup itu kecoa betina bisa menghasilkan telur lebih dari 1.000 butir.
Kekebalan
Kehebatan kecoa beradaptasi dengan lingkungannya itu juga termasuk kemampuan tubuhnya menciptakan kekebalan. Bukan hanya mampu bertahan dari sejumlah insektisida kuat dan mampu bertahan dari 50 kali radiasi, yang mampu mematikan manusia, tetapi binatang itu memiliki sistem kekebalan tubuh yang sama canggihnya dengan sistem kekebalan tubuh pada binatang mamalia yang lebih tinggi kelasnya.
”Dogma lama menyebutkan binatang tidak bertulang belakang atau Invertebrata, termasuk serangga, tidak memiliki reaksi kekebalan yang sejati,” kata seorang ahli imunologi dari Umversitas Cincinnati, Richayd Karp, seperti dilaporkan Lon Oliwenstein dalam majalah Discover April 1992.
Respons kekebalan yang sejati sifatnya sangat khas, yaitu proses sel-sel bereaksi melawan serangan mikrobia yang masuk. Reaksi kekebalan sejati adalah sesuatu yang abadi, dan seolah ada rekaman kekebalan atau suatu kemampuan pengerahan perlawanan yang cepat ketika serangan datang mendadak. Semua binatang bertulang belakang (Vertebrata), termasuk manusia, diketahui memiliki sistem respons kekebalan sejati itu. Sistem kekebalan itu tidak ada pada serangga atau binatang yang lebih rendah lainnya. Dari sejumlah penelitian dasar –kebanyakan penelitian pada kupu-kupu malam atau moth– dan dengan sejumlah prasangka, para ahli kekebalan tubuh menyimpulkan semua jenis serangga hanya memiliki kekebalan primitif. ”Mereka mengatakan, mengapa serangga harus memiliki sistem kekebalan sejati. Toh, mereka tidak berumur panjang,” kata Karp menjelaskan.
Tetapi bagi Karp, nampaknya tidak semua serangga sedemikian mudah diserang penyakit, sama halnya binatang bertulang belakang yang paling sederhana seperti ikan hagfish ternyata mampu memproduksi antibodi. ”Berarti kekebalan muncul begitu saja pada binatang bertulang belakang. Ahli biologi evolusi akan menilai seharusnya ada transisi sistem kekebalan dari binatang tidak bertulang belakang ke binatang bertulang belakang.” komentar Karp.
Untuk meredam suara-suara yang tidak setuju yang belum tentu benar itu, Karp mengubah obyek penelitiannya dari serangga moth ke kecoa. Alasannya, kecoa adalah jenis serangga yang umurnya cukup panjang dibandingkan serangga lainnya. ”Makhluk hidup yang berumur panjang harus mampu bertahan terhadap berbagai penyakit dan racun, seperti juga manusia. Jadi ada kemungkinan membuktikan respons kekebalan sejati pada Invertebrata, karena kecoa bisa berumur panjang.”
Tahan racun lebah
Karp memulai penelitiannya dengan menyuntikkan kecoa-kecoa rumah percobaannya dengan racun lebah. Ia memberikan selang waktu selama dua mmggu setelah disuntikkan untuk memberikan kesempatan kecoanya memberikan reaksi kekebalan yang dimilikinya. Setelah itu ia menyuntikkan lagi racun yang sama tetapi dengan dosis yang lebih tinggi yang bisa mematikan.
Ternyata, kecoa-kecoa itu bukan saja masih bertahan hidup dari serangan gencar, tetapi kemampuan respons kekebalannya mungkin mendekati standar kekebalan manusia. Respons kekebalan itu khusus untuk menghadapi racun lebah, karena suntikan racun ular mematikannya, membuktikan kecoa itu menyimpan memori. ”Anda bisa mengistirahatkannya selama dua bulan dan kemudian berikan lagi suntikan racun lebah, dan racun itu bereaksi seperti pendorong saja. Anda bisa lihat reaksi pada racun lebah itu sangat cepat,”kata Karp.
Kemiripan sistem kekebalan kecoa dengan sistem kekebalan manusia tidak hanya sampai di situ. Karp menemukan kecoa betina memiliki reaksi kekebalan lebih kuat dibandingkan jantannya maupun kecoa muda dan yang sudah tua. Persis seperti manusia, respons kekebalan wanita lebih tinggi dibandingkan pria, anak-anak maupun orang tua.
Lebih jauh lagi, reaksi awal kecoa terhadap racun lebah adalah membentuk protein yang akan mengikat racun lebah, diperkirakan memang untuk menetralisir racun itu, seperti yang dilakukan pada sistem kekebalan manusia. Ternyata, ungkap Karp, protein itu besarnya sama dengan antibodi primitif yang pernah diketahui ada. ”Kemiripan kecil ini sangat mengganggu, walaupun kita belum bisa menyebutkannya sebagai antibodi karena belum kita ketahui strukturnya,” katanya lebih lanjut.
Walaupun ternyata protein itu tidak bisa digolongkan sebagai antibodi, Karp sudah membuktikan serangga memiliki sistem kekebalan yang canggih. Kecoa-kecoa percobaannya tidak hanya mengusir racun lebah. Seperti juga binatang yang memiliki sistem kekebalan, kecoa memberikan reaksi pada semua substansi asing, termasuk substansi tidak beracun maupun yang tidak membahayakan. Dan tidak seperti moth, respon kecoa-kecoa percobaan itu spesifik dan dalam jangka waktu panjang.
Karp berpikir kesimpulan kuno itu hanya benar untuk moth yang umurnya pendek, sehingga kecil sekali alasan untuk memiliki kekebalan yang canggih. Tetapi kecoa, “Ketika selesai bertelur pertama kali mereka masih harus terus hidup. Jadi kecoa harus memiliki kemampuan melindungi diri sendiri untuk bisa terus bertelur. Seperti juga manusia yang mencoba mencari jalan memperpanjang hidupnya dan kualitas hidupnya. Dan kecoa sudah melakukan yang harus dilakukannya,” kata Karp menyimpulkan. (sur)
Sumber: Kompas, Selasa, 30 Maret 1993