Untuk kedua kali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Pameran Sains Indonesia atau Indonesia Science Expo 2017 di Balai Kartini, Jakarta, dari Senin (23/10) hingga Kamis (26/10). Kegiatan yang diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun ke-50 LIPI ini menampilkan hasil-hasil riset peneliti, baik kementerian dan lembaga negara, perguruan tinggi dan LIPI, serta industri dalam wadah pameran sains.
”Ini adalah salah satu bentuk kerja sama antara pemerintah dan swasta. Kita terus berupaya agara kerja sama triple helix (perguruan tinggi, lembaga penelitian dan industri) bisa meningkat sehingga membuka kemitraan dalam berbaga aspek,” kata Pelaksana Tugas Kepala LIPI Bambang Subiyanto. Pameran ini diikuti 176 peserta. Pameran pertama digelar pada 2015.
Selain pameran sains, ISE 2017 juga diisi dengan beberapa kegiatan, seperti penayangan film ilmiah, pertunjukan seni ilmiah, lokakarya dan pelatihan ilmiah, Pameran Sains Remaja 2017, Penghargaan Inovasi Sains Berbasis Industri 2017, Pekan Inovasi Teknologi 2017, pameran industri, pameran perguruan tinggi serta lembaga penelitian, dan paling tidak 18 konferensi ilmiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pameran Sains Remaja 2017 baru kali pertama diselenggarakan, melibatkan para pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI 2017, Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017, Loreal’s Girl’s in Science, dan Kalbe Junior Scientist Award. Panitia LKIR tahun ini menerima 3.706 proposal, dan menghasilkan 52 pemenang yang akan dibimbing peneliti LIPI selama 3-4 bulan.
Seusai pembukaan pameran oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, dan dihadiri Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir, Senin, ada pemberian penghargaan kepada sejumlah ilmuwan muda dan peneliti. Penghargaan Ilmuwan Muda LIPI (LYSA) 2017 diberikan kepada Gunadi atas inovasinya mengidentifikasi penyebab awal penyakit Hirschsprung lewat penanda genetik.
Adapun penghargaan bagi Peneliti dan Inovator Berprestasi Internasional 2017 diberikan kepada Latifah M Solikhah dari SMA Negeri 1 Teras Boyolali, Jawa Tengah, peringkat keempat di ajang Pameran Sains dan Teknik Internasional Intel (Intel ISEF) 2017 kategori Ilmu dan Perilaku Sosial; dan Azizah Suryaningsih dari SMA Negeri 1 Yogyakarta, peraih penghargaan khusus dari Institut Geosains Amerika di ajang yang sama.
Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada Gede Herry Arum Wijaya dari SMA Negeri Bali Mandara, peraih penghargaan khusus Penemu Muda Nasional 2016 dan peraih medali emas kategori Teknologi Hijau di Pameran Penemu Muda Internasional (IEYI) 2017; dan Hans Bastian Wangsa serta Siti Farahdina dari SMA Negeri 6 Yogyakarta, peraih medali emas kategori Keamanan dan Kesehatan di IEYI 2017.
Anggaran litbang
Pada kesempatan itu ada peluncuran indikator peningkatan rasio belanja litbang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dikenal sebagai Gross Expenditure Research and Development (GERD). Hal ini terkait anggaran penelitian dan pengembangan (litbang).
Nasir menilai, anggaran belanja litbang yang selama ini sangat bergantung pada pemerintah pusat menghambat perkembangan kegiatan penelitian dan pengembangan. Untuk mengatasinya, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berharap keterlibatan swasta dalam penelitian dan pengembangan lebih ditingkatkan.
Anggaran litbang di Indonesia memiliki tiga sumber utama, yaitu dari pemerintah, perguruan tinggi, dan pihak swasta. Pihak swasta tersebut dibagi menjadi dua, litbang industri manufaktur dan lembaga litbang nonpemerintah.
Menurut dia, untuk negara sebesar Indonesia, GERD sebesar 0,25 persen sangat kecil. Indonesia kalah dari Malaysia yang sudah mencapai 1,30 persen atau Singapura 2,20 persen. Namun, jumlah 0,25 persen tersebut meningkat jika dibandingkan 0,2 persen pada 2015 dan 0,08 persen pada 2014.
”Target kita adalah menyamai Korea Selatan (Korsel). Tahun ini saja GERD mereka mencapai 4,23 persen,” ujarnya.
Nasir menjelaskan, dari jumlah tersebut, Rp 24,92 triliun berasal dari pemerintah pusat atau disebut alokasi anggaran pemerintah untuk penelitian dan pengembangan (GBAORD) serta Rp 0,89 triliun dari pemerintah daerah. Selain dari pemerintah, terdapat pula Rp 4,95 triliun yang berasal dari perguruan tinggi swasta, industri manufaktur, dan litbang swasta.
Oleh karena itu, Kemristek dan Dikti berupaya mengefisiensikan GBAORD terutama di sektor belanja operasional, khususnya gaji pegawai yang mencapai Rp 7,65 triliun atau 30,68 persen. Menurut dia, efisiensi akan dilakukan dengan cara mengalihkan sejumlah anggaran dari sektor belanja operasional ke sektor lain yang lebih membutuhkan anggaran, seperti belanja jasa ilmu pengetahuan dan teknologi, belanja pendidikan dan pelatihan, serta belanja modal.
Namun, meskipun ada efisiensi, peran pemerintah sebagai penyuplai anggaran terbesar dipandang akan menghambat perkembangan dan kemajuan litbang di Indonesia. Untuk mengatasinya, kerja sama dengan pihak swasta harus lebih ditingkatkan.
”Kendalanya hanya satu, kurang partisipasi pihak swasta,” kata Puan Maharani seusai membuka pameran itu.
Puan mengatakan, lembaga litbang Indonesia, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), hingga lembaga milik perguruan tinggi, memiliki potensi yang sangat besar. Hal itu terbukti dengan dihasilkannya 1.391 paten tahun ini, dan LIPI merupakan penghasil paten terbanyak, yaitu 513 paten.
Kerja sama dengan pihak swasta diyakini akan sangat membantu perkembangan dan kemajuan litbang di Indonesia. Negara-negara maju seperti Jepang dan Korsel sangat mengandalkan sektor swasta untuk belanja litbangnya. Korsel hanya memperoleh 11,74 persen anggaran litbang dari pemerintah. Jepang bahkan lebih sedikit, yaitu 7,90 persen. Selebihnya, anggaran litbang kedua negara tersebut berasal dari perusahaan bisnis, perguruan tinggi, dan pihak swasta.
Litbang di Indonesia juga hendak didorong ke arah itu. Namun, agar bisa berhasil, orientasi litbang perlu diubah ke arah orientasi industri. Litbang harus dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan industri.
Pada 2014 hasil riset yang menjadi inovasi berjumlah 25 riset, lalu naik menjadi 52 riset pada 2015, kemudian naik lagi menjadi 331 riset pada 2016. Tahun ini, jumlahnya naik lagi menjadi 661 riset. Peningkatan ini akan sia-sia apabila tidak bisa memenuhi kebutuhan industri.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati menambahkan, selain kerja sama dengan swasta, hal lain yang perlu ditingkatkan adalah kerja sama dan koordinasi yang baik antara kementerian dan lembaga. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) dan Undang-Undang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek).
”RIRN dan UU Sisnas Iptek akan mendukung Nawacita ke-6 yang menekankan pada peningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya,” ujar Dimyati. (DD03)
Sumber: Kompas, 25 Oktober 2017