Matahari adalah “nyawa” bagi bumi. Dengan energi panasnya yang terus dipancarkan maka terbentuk pola cuaca, menimbulkan arus laut dan siklus hidrologi. Kemunculannya mempengaruhi suasana dan aktivitas semua penghuni Bumi.
Terbit dan terbenamnya sang surya tak hanya terkait langsung dengan kehidupan mahluk di bumi dan pemanfaatan untuk membangkitkan listrik dan desalinasi air laut, tapi juga jadi inspirasi bidang seni lukis, fotografi dan musik.
KOMPAS/FABIO COSTA–Banjir di Perumahan Organda, Kota Jayapura, pada Sabtu (23/2/2019). Banjir dipicu tingginya curah hujan selama tujuh jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keterkaitan erat antara “Matahari, Bumi, dan Cuaca” diangkat menjadi tema Hari Meteorologi Dunia (HMD) tahun 2019. Peringatan HMD setiap tanggal 23 Maret ini bertepatan dengan saat pendirian Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada tahun 1950.
Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas dalam pesannya memaparkan tentang kondisi matahari. Jantung tata surya yang berjarak hampir 150 juta kilometer dari Bumi ini membuat planet biru ini cukup hangat sehingga makhluk hidup berkembang biak.
Pengukuran satelit yang dilakukan selama 30 tahun terakhir menunjukkan energi Matahari yang tak henti dipancarkan selama lebih dari 4,5 miliar tahun tidak meningkat. Kenaikan suhu bumi yang mencairkan es dan memanaskan lautan selama ini disebabkan efek gas rumah kaca di atmosfer Bumi.
Kondisi itu terutama disebabkan peningkatan konsentrasi karbon dioksid, akibat aktivitas manusia yang bertumpu pada bahan bakar fosil. Konsentrasi gas karbon mencapai 405,5 bagian per juta pada 2017 dan terus meningkat. Sumbangan CO2 sekitar 82 persen dari peningkatan kekuatan radiasi selama dekade terakhir. “Sebagai konsekuensinya, sejak tahun 1990, terjadi peningkatan 41 persen radiasi total,” papar Petteri.
Jika tren kenaikan konsentrasi gas rumah kaca terus berlanjut, Petteri memperkirakan ada kenaikan suhu 3-5 derajat celsius akhir abad ini. “Ini jauh di atas target Perjanjian Paris dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, yang bertujuan mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dan sedekat mungkin ke 1,5 derajat celsius,” ujarnya.
Perubahan iklim
Perubahan iklim menyebabkan peningkatan panas yang ekstrem. Gelombang panas mulai lebih awal dan berakhir di akhir tahun dan jadi lebih sering serta intens. Model-model iklim memproyeksikan peningkatan suhu rata-rata di sebagian besar wilayah di Bumi ini, terjadi panas ekstrem, curah hujan deras di satu wilayah dan sebaliknya defisit curah hujan di wilayah lain.
“Risiko terkait iklim terhadap kesehatan, mata pencaharian, keamanan pangan, pasokan air, keamanan manusia, dan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan meningkat seiring dengan pemanasan global,” ungkap Petteri.
Memahami bagaimana Matahari mempengaruhi fenomena cuaca dan iklim sangat penting untuk melaksanakan misi membangun masyarakat yang tangguh. Pendekatan Sistem Bumi terintegrasi yang dilaksanakan komunitas WMO, harap Petteri akan memberi layanan sains dan operasional terbaik untuk mendukung negara di dunia terkait informasi cuaca, iklim, hidrologi, lautan dan lingkungan.
Di Indonesia
Peringatan Hari Meteorologi Dunia 2019, juga diperingati di Indonesia, yang menjadi anggota WMO sejak 16 November 1950 dan berada di Regional V Pasifik Barat Daya. Kini WMO beranggotakan 186 negara dan 6 anggota teritori.
Sejalan dengan WMO, BMKG mengangkat tema “Matahari, Bumi, Cuaca untuk Keselamatan dan Kesejahteraan”. Pengangkatan tema tersebut, jelas Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, seiring dengan perhatian dunia pada isu dampak perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi bencana, terutama bencana Hidrometeorologis.
Perubahan iklim ekstrem dengan efek buruknya dihadapi setiap negara tanpa memandang batas teritorial. Dampaknya berupa banjir, kekeringan, longsor, gelombang tinggi, dan peningkatan muka air laut, kerap menimbulkan korban jiwa, kerugian ekonomi, dan ekologi besar. Belum lagi, dampak lanjutan tak bisa dipandang sepele seperti merebaknya penyakit berujung kematian.
Menurut Dwikorita, perlu upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk mengurangi dampaknya. Dengan momentum peringatan HMD 2019 tersebut, BMKG mengajak warga berpartisipasi aktif dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Hal-hal yang bisa dilakukan masyarakat antara lain mengurangi penggunaan plastik, membatasi penggunaan kendaraan bermotor, mulai beralih ke sarana transportasi umum, menghemat penggunaan listrik dan air, serta menanam pohon. “Hal-hal yang tampak sederhana itu, akan membawa dampak besar dalam upaya mencegah dampak buruk perubahan iklim,” ulas Dwikorita.
Selain itu, masyarakat juga perlu selalu memperhatikan kondisi cuaca ataupun iklim dalam setiap aktivitas sehari-hari, menjaga keselamatan transportasi baik darat, udara, dan pelayaran serta menentukan pola tanam bagi petani ataupun tangkap para nelayan.
Peringatan
Hari Meteorologi Dunia dirayakan setiap tahun dengan menyelenggarakan acara pameran, pemaparan hasil riset meteorologi dan simposium bagi para profesional meteorologi, konferensi, pemimpin masyarakat dan masyarakat. Banyak negara menerbitkan prangko khusus sesuai tema atau menandai pencapaian meteorologi suatu negara.
Sementara itu Hari Meteorologi Dunia yang ke-69, Sabtu (23/3/2019) diperingati BMKG dengan menggelar upacara peringatan, seminar internasional, workshop, talkshow, dan menghadirkan inovasi teknologi 4.0 dalam upaya prakiraan dan peringatan dini cuaca dan iklim.
Oleh YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 23 Maret 2019