Dalam waktu dekat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menerima pemulangan seekor badak sumatera dari Amerika Serikat, 15 orangutan dari Thailand dan Kuwait, serta 50 jalak bali dari Jepang. Pemulangan ini untuk memperkuat upaya pembiakan, penelitian, serta perbanyakan jumlah spesies ini di habitat aslinya.
Hewan-hewan ini tak bisa langsung diterjunkan kembali ke habitat aslinya. Mereka terbiasa hidup bergantung kepada manusia: rutin diberi makan dan dijaga kesehatannya. “Jadi, tidak bisa langsung dilepasliarkan. Harus dicek perilaku dan kesehatannya apakah bisa survive di hutan,” kata Hadi Alikodra, pakar ekologi satwa liar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang pekan lalu dihubungi di Bogor.
Sebagai contoh, badak sumatera bernama Harapan yang akan dipulangkan dari Kebun Binatang Cincinnati di AS. Badak berusia sembilan tahun ini bersama Andalas dan Suci lahir di Cincinnati. Suci telah mati di sana. Badak Andalas telah dipulangkan ke Indonesia beberapa tahun lalu dan ditempatkan di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas di Lampung. Andalas kemudian mengawini Ratu. Dari perkawinan itu, Ratu melahirkan Andatu.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil kembali Harapan yang tidak punya pasangan dan kini sakit-sakitan-diduga akibat pakan mengandung zat besi terlalu tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian LHK Tachrir Fathoni mengharapkan, Harapan bisa kembali sehat jika tinggal di SRS Way Kambas. “Di SRS yang bersifat habitat semialami, Harapan diberikan pakan seperti di habitat asli. Semoga bisa sehat dan menjadi pejantan tangguh,” kata Tachrir.
Saat ini banyak pihak dan negara memberi perhatian kepada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang jumlahnya terus menurun. Data Kementerian LHK menunjukkan, jumlah badak sumatera sekitar 200 individu di belantara Sumatera, tetapi trennya menurun tajam. Sementara badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon, ada tren peningkatan jumlah.
Selain badak sumatera, belasan orangutan dewasa dan orangutan anakan yang lahir di Thailand juga dipulangkan. Mereka merupakan sitaan dari warga setempat. Status sitaan berakhir 5 Februari 2015. Orangutan itu dibutuhkan di Thailand untuk proses hukum.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Bambang Dahono Adji mengatakan, orangutan ini diupayakan untuk dilepasliarkan. Jika sudah terlalu jinak, mereka akan ditempatkan di lembaga konservasi atau kebun binatang. “Ini akan menjadi darah segar untuk upaya breeding orangutan di luar habitatnya,” katanya.
Pelepasliaran orangutan masih terkendala lokasi. Pemerintah daerah umumnya tak menyetujui itu dilakukan di hutan lindung dan areal penggunaan lain. Mereka khawatir muncul konflik dengan manusia.
Akibatnya, sekitar 1.100 orangutan masih tertahan di pusat rehabilitasi. Padahal, target pemerintah, tahun ini semua orangutan di pusat rehabilitasi sudah dilepasliarkan.
Sementara 50 jalak bali (Leucopsar rothschildi) juga akan pulang dari Jepang untuk dilepasliarkan di Taman Nasional Bali Barat. Di habitat aslinya, tersisa 45 ekor. Curik telah dikembangbiakkan para penangkar di Indonesia ataupun luar negeri, termasuk Jepang.
“Jalak bali termasuk dalam 25 spesies yang harus ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen (pada 2019 sesuai Target Aiichi). Kalau bisa mencapai 90-100 ekor, baru bisa dikatakan populasi alam terpenuhi dengan baik,” kata Bambang Dahono. Di Bali, burung ini pernah dilepaskan di Nusa Lembongan-kini sudah menjadi pemandangan umum di desa setempat.
Pulangnya fauna-fauna endemis ini membawa konsekuensi. Ada pekerjaan rumah yang harus digarap secara berkelanjutan, di antaranya, menyiapkan kebijakan yang tepat, juga dana, serta komitmen tinggi mengembangkan kekayaan hayati.
Melihat ke dalam
Pemulangan hewan dilindungi dan upaya pembiakannya merupakan salah satu cara untuk mencapai target Aiichi dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Indonesia menjadi salah satu negara pihak pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Target Aiichi memuat target-target konservasi sesuai kesepakatan global.
Pakar konservasi dan biologi, yang juga memimpin Sustainable Development Solutions Network, Jatna Supriatna, menggarisbawahi, “Indonesia banyak terikat dengan beragam konvensi internasional. Namun, hendaknya jangan terlalu melihat ke luar, harus lebih melihat ke dalam.”
Asumsi yang digunakan dalam kesepakatan internasional lebih banyak berkiblat dari kondisi luar: berbasis kontinen, sementara Indonesia berbentuk kepulauan. Selain itu, wilayah Indonesia banyak berupa lautan, sementara kesepakatan berbasis daratan. Selain itu, keanekaragaman menjadi kata kunci persoalan hayati di Indonesia.
Dengan mempertimbangkan semua kondisi tersebut, Jatna mengatakan, “Basis sains untuk pengambilan kebijakan harus kuat karena kondisinya demikian beragam. Kebijakan itu butuh keberpihakan pemerintah. Bagaimana masyarakat bisa mengolah keanekaragaman hayati dan membuat terobosan baru. Jangan hanya konservasi gajah, harimau, dan lain-lain yang diperhatikan.”
“Butuh dana untuk penelitian dan untuk masyarakat agar bisa mengembangkan kekayaan hayati menjadi komoditas,” ujar Jatna. Last but not least, Indonesia adalah rumah bagi 25 persen spesies di dunia,” ujar Jatna. Jadi, jangan sampai kita melupakannya dan mengabaikannya.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI/ICHWAN SUSANTO
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Spesies dan Kesejahteraan”.
———–
Kegiatan Ditingkatkan untuk Sadarkan Publik
Pembalakan liar, perburuan liar, dan pembakaran hutan yang terus terjadi telah mengancam keanekaragaman hayati.
“Ulah manusia yang merusak lingkungan, seperti perburuan dan pembalakan liar serta pembakaran hutan, masih terjadi,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada pembukaan peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2015 di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten, Sabtu (8/8).
Peringatan HKAN 2015 diadakan di Desa Sumberjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Rangkaian kegiatan akan diselenggarakan sepanjang tahun hingga tahun 2016 untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai konservasi alam secara konsisten.
Siti menegaskan, “Sejak dulu sudah saya katakan, pembalakan liar itu (perbuatan) teroris. Luar biasa menyulitkan kami dan masyarakat. Sayangnya, ada oknum-oknum aparat yang terlibat.” Ia menambahkan, tak jarang dirinya melihat dengan jelas kayu-kayu yang dicuri saat melakukan inspeksi dengan pesawat.
“Selain pembalakan liar, perburuan hewan dilindungi juga mengkhawatirkan. Perburuan berbagai jenis penyu masih terus terjadi. Penyu yang besar disayat-sayat. Sedih melihatnya,” tutur Siti.
Dia menambahkan, kebakaran hutan juga sering terjadi setiap kemarau. Saat ini, hutan di Kalimantan dan Sumatera kerap terbakar. Kebakaran hutan mengakibatkan hancurnya habitat sejumlah spesies yang hidup di dalam kawasan hutan.
“Waktu Lebaran hari kedua (pertengahan Juli 2015), Gunung Guntur di Kabupaten Garut, Jawa Barat, pun terbakar. Ada yang menyampah dan merokok, akhirnya kebakaran,” ujarnya.
Kegiatan setahun
Untuk mengubah perilaku publik yang merusak, pemerintah membuat Kalender Kegiatan Tahun Keanekaragaman Hayati Indonesia yang dijadwalkan berlangsung hingga Agustus 2016.
Rangkaian acara dimulai dengan Peringatan HKAN 2015 yang dikemas dengan Jambore Konservasi Alam Nasional di lokasi yang sama pada 8-10 Agustus 2015.
Selanjutnya, terdapat 12 kegiatan hingga tahun 2016 antara lain Maratua Jazz and Dive Fiesta pada 11-12 September, Kompetisi Jurnalistik Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem pada 9 Februari 2016, Lomba Foto pada 3 Maret 2016, serta lomba lari di taman nasional pada 22 Mei 2016.
Rangkaian kegiatan akan ditutup Presiden Joko Widodo dengan pesan konservasi dalam pidato pada 17 Agustus 2016. Kementerian LHK juga mengumpulkan komitmen masyarakat berupa tanda tangan, klik melalui internet, dan video dengan target satu juta pendukung hingga 10 Agustus 2016.
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Kementerian LHK Bambang Supriyanto menjelaskan, Jambore Konservasi Alam Nasional kali ini diikuti sekitar 300 peserta yang diramaikan dengan talk show, pameran kerajinan tangan, serta pemutaran film dan kegiatan konservasi.
“Jambore dilaksanakan setiap tahun sejak 2009. Peserta tahun ini berasal dari 51 taman nasional dan 27 BKSDA (balai konservasi sumber daya alam) di Indonesia,” ujarnya. Peserta lain adalah Pramuka dan Forum Koordinasi Kader Konservasi Indonesia.
Menurut Kepala Balai TNUK M Haryono, dengan diadakan Peringatan HKAN 2015 diharapkan kesadaran masyarakat semakin tumbuh, setidaknya peserta Jambore Konservasi Alam Nasional untuk melestarikan badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Di dunia, badak dengan jumlah hanya 57 ekor tersebut hanya bisa ditemukan di TNUK.
“Petugas di lapangan berjuang masuk ke dalam hutan berminggu-minggu. Mereka memasang kamera dan berpatroli demi memantau badak dan mencegahnya punah,” ujarnya. Balai TNUK bekerja sama dengan masyarakat setempat serta organisasi lingkungan untuk melestarikan badak. Jumlah badak saat ini diperkirakan ada 57 ekor, terdiri dari 31 jantan dan 26 betina (Kompas, 8/7). (BAY)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Kegiatan Ditingkatkan untuk Sadarkan Publik”.