OKTOBER 2013, usulan 65 daerah otonom baru disetujui pembahasannya dalam Sidang Paripurna DPR. Di Papua, jumlah pemekaran mencapai 30 kabupaten/kota dan 3 provinsi. Momen ini bisa jadi pengulangan dimulainya deforestasi benteng terakhir hutan-hutan tropis di Indonesia dengan dalih kesejahteraan masyarakat.
Hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat di sekitarnya dibongkar. Jalan-jalan dibuat menembus hutan. Kantor bupati yang megah dan berbagai sarana penunjang membutuhkan lahan tak sedikit. Itu semua mengatasnamakan mendekatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat.
Betulkah demikian? Pengalaman sejak keran pembentukan daerah otonom baru dimulai tahun 1999, target kesejahteraan masyarakat tak pernah tercapai. Indeks kualitas hidup, pendidikan, dan kesehatan yang menjadi ukuran dasar keberhasilan pembangunan belum beranjak jauh. Bahkan, pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) masih jauh dari target.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan, 70-80 persen daerah pemekaran dinilai gagal. Pemekaran hanya menjadi ajang pembagian kursi jabatan bagi elite politik dan menciptakan raja-raja kecil di daerah. Ini hasil kajian yang seharusnya menyadarkan perlu tidaknya pemekaran dilanjutkan.
Hutan, gunung, dan pulau kecil yang mengandung sumber daya mineral terus dikeruk dan dieksploitasi demi mengejar pendapatan asli daerah. Namun, yang terjadi bukan peningkatan pendapatan asli daerah, malah bencana banjir dan longsor datang susul-menyusul.
Dari sisi lebih global, pembukaan hutan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan, tambang, pembangunan infrastruktur, berperan dalam menyumbang pelepasan dan pengurangan tangkapan emisi. Artinya, emisi karbon makin tinggi dan menyumbang peningkatan suhu bumi alias membentuk efek gas rumah kaca.
Deforestasi
Di Indonesia, deforestasi menyumbang lebih dari 60 persen pelepasan emisi ke atmosfer. Sumber lain emisi berasal dari transportasi, industri, dan sampah/limbah. Sebagai bagian dari warga dunia, Indonesia bersama negara-negara lain menyatakan komitmen menurunkan emisi. Presiden Yudhoyono menjanjikan pengurangan emisi sebesar 26-41 persen pada tahun 2020.
Dengan nilai persentase alih fungsi hutan yang signifikan, penurunan deforestasi harus digenjot. Akankah tercapai jika segala tutupan hutan konservasi yang masih perawan dan menjadi ”paru-paru” terakhir di dunia berubah menjadi bangunan beton? Menjadi kebun monokultur atau bukaan tambang?
Di Papua, Taman Nasional Lorentz yang menjadi warisan cagar alam dunia pun dibagi-bagi dalam sedikitnya lima kabupaten. Ini menimbulkan kecaman dunia melalui IUCN yang menempatkan Taman Nasional Lorentz menjadi situs yang terancam punah.
Contoh lain kerusakan hutan adalah Kabupaten Raja Ampat yang dimekarkan dari Kabupaten Sorong pada tahun 2002. Kebutuhan menarik pendapatan asli daerah mengorbankan kemolekan wilayah indah itu untuk tambang nikel.
Dalam setahun, Bupati Raja Ampat menerbitkan 16 surat kuasa pertambangan nikel. Praktik di lapangan, pengikisan tanah menghasilkan lumpur lengket yang sangat banyak dan dibuang begitu saja ke pantai.
Tak perlu ditanyakan lagi dampaknya bagi ekosistem terumbu karang yang dikenal sangat sensitif terhadap kekeruhan. Ketika lahan sudah dibuka untuk penambangan dan menjadi tandus karena kehilangan lapisan tanah atas serta mineralnya habis dikeruk, yang tersisa tinggal masa depan suram masyarakat yang kehilangan tempat mencari nafkah, berburu ikan.
Aspirasi rakyat
Ada fakta kecil yang bisa menjawab apakah pemekaran itu yang diinginkan masyarakat. Survei kecil saat wartawan Kompas bertugas di Papua, masyarakat di pedalaman cenderung menginginkan pendekatan layanan dasar yang nyata, seperti menempatkan sekolah dan guru serta puskesmas dan dokter/bidan di kampung-kampung. Masyarakat tidak membutuhkan gedung bupati yang megah atau mobil mewah pejabat yang berseliweran memanfaatkan APBD.
Adanya pemekaran justru membuat masyarakat pemilik tanah ulayat kerap terganggu konflik penggunaan lahan.
Pemekaran bukan hanya terjadi di Papua. Di Kalimantan dan Sulawesi yang masih menyimpan banyak daerah berhutan tidak luput dari serbuan ”deforestasi terencana” bernama pemekaran.
Belum lagi bicara soal Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang juga dinilai rakus karena ”menghalalkan” segala cara demi peningkatan ekonomi, termasuk mengorbankan keberadaan hutan dan laut Indonesia.
Kita tentu tidak ingin mengalami apa yang digambarkan sebuah puisi Indian: ketika pohon terakhir telah mati ditebang dan ikan mati teracuni, kita baru sadar kalau uang tak bisa dimakan.(Oleh: Ichwan Susanto)
Sumber: Kompas, 27 Desember 2013