Proses keamanan pangan sering dilupakan. Padahal, semuanya punya peran penting. Kalau tidak, nyawa bisa jadi taruhannya.
ARISP PRIBADI KEPALA DESA KEJENE—Warga menunjukkan ikan tongkol yang diduga menjadi penyebab keracunan massal di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Selasa (21/7/2020).
Tidak banyak orang sadar, makanan yang tersaji di meja telah melalui proses panjang. Bergeser dari satu lokasi ke lokasi lainnya, kemudian berpindah dari satu orang ke tangan yang lain. Dalam prosesnya, menjaga keamanan pangan sampai siap dikonsumsi tidak boleh diabaikan. Ketidakpahaman sebagian orang bisa berakibat fatal terhadap nyawa seseorang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena keracunan pangan adalah buntut fatal yang terjadi karena ketidakpahaman itu. Salah satu contohnya keracunan dipicu makanan olahan ikan tongkol. Tak sedikit warga yang menderita dan harus dirawat intensif. Dalam arsip pemberitaan Kompas, tercatat ada lebih dari 25 kasus keracunan akibat konsumsi ikan tongkol di sejumlah daerah periode 1982-2020.
Tahun 1982, ikan tongkol membuat geger Yogyakarta. Puluhan orang di beberapa asrama mahasiswa Kota Yogyakarta keracunan. Mereka mengalaminya setelah menyantap makanan olahan ikan tongkol.
Dari sejumlah penyelidikan, keracunan massal di Yogyakarta itu disebabkan cara angkut ikan tongkol yang tak memenuhi persyaratan. Tongkol yang terlalu lama disimpan tanpa proses pengawetan yang ideal juga mempermudah pembentukan racun (Kompas, 22/10/1982).
Terakhir, kasus ini terjadi di Pemalang, Jawa Tengah, 38 tahun kemudian. Dikutip dari Kompas.id, Selasa (21/7/2020), ratusan warga di Kecamatan Randudongkal, Pemalang, diduga keracunan ikan tongkol. Ironisnya, ikan itu adalah salah satu komponen bantuan pangan nontunai. Warga yang mengonsumsinya mengeluh lemas, sakit kepala, bahkan muntah-muntah.
”Setelah mengetahui penyebab keracunan adalah ikan tongkol, pemerintah desa langsung memberi pengumuman kepada warga untuk tidak mengonsumsi ikan tersebut. Sementara itu, warga yang memiliki gejala keracunan kami minta untuk memeriksakan diri,” kata Kepala Desa Kejene Yus Sularso.
Lebih mirisnya, kasus keracunan ikan tongkol juga menimpa 22 warga Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, sebulan sebelumnya. Beruntung, tidak ada satu pun korban keracunan ikan tongkol tersebut yang harus dirawat inap. Selain mendapat biaya pengobatan gratis, mereka yang keracunan juga diberi uang santunan Rp 300.000 per orang.
Berulangnya kasus mengindikasikan keamanan pangan belum diterapkan sepenuhnya di tengah masyarakat. Persoalan ini tak boleh dibiarkan berlarut agar tak membuat kalut.
Dian Anggraini Suroto, pengajar Keamanan Pangan di Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, mengatakan, ikan tongkol termasuk dalam famili Scromboidae (tuna dan makarel) yang membutuhkan penanganan khusus.
Alasannya, ada kandungan asam amino (AA) histidin yang tinggi pada dagingnya. Jika tidak segera disimpan dalam suhu dingin kurang dari 4 derajat celsius atau beku setelah penangkapan, AA histidin diubah menjadi histamin oleh bakteri alami yang ada pada ikan tersebut.
Histamin adalah senyawa yang menyebabkan gejala gatal, mulut terasa panas, mual, muntah, dan pusing setelah mengonsumsi ikan tongkol atau sejenisnya. Suhu optimal pembentukan histamin berkisar 25-35 derajat celsius, dimulai sekitar enam jam setelah ikan itu mati.
”Jika penyimpanan ikan tanpa pendingin berlangsung lama, dapat dibayangkan kandungan histamin yang ada pada ikan tersebut (semakin tinggi),” ujar Dian.
Gejala keracunan muncul cepat di kisaran 30 menit-1 jam setelah mengonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Hal ini bergantung pada kondisi daya tahan tubuh seseorang dan jumlah histamin pada ikan yang dikonsumsi.
Sebagai pembanding adalah penelitian pada tahun 2016 dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Disebutkan, kualitas ikan tongkol yang didistribusikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo memiliki tingkat cemaran mikroba tergolong rendah dibandingkan ikan pedagang ikan keliling di Kota Banda Aceh yang melebihi batas aman cemaran yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Peneliti menilai tingkat cemaran yang rendah di TPI karena kondisi ikan masih segar dan diberi penanganan khusus setelah diturunkan dari kapal nelayan, yakni penerapan sistem rantai dingin. Sementara pedagang ikan keliling tidak melakukannya. Upaya untuk mengurangi tingkat cemaran bakteri pada ikan adalah menjaga kebersihan penyimpanan dan menggunakan kotak pendingin atau beku.
Berdasarkan SNI 01-2729.1-2006 tentang Spesifikasi Ikan Segar, batas maksimal histamin pada ikan yang dikonsumsi adalah 100 miligram per kilogram dan batas maksimal mikroba Escherichia coli <2 APM/g. Adapun pada ikan segar tidak boleh tercemar Salmonella, penyebab penyakit cukup parah, yaitu tifus dengan demam tinggi dan Vibrio cholerae, penyebab kolera.
Tetap ada
Sulitnya, keberadaan senyawa itu tidak mengubah rasa, tekstur, dan rasa ikan sehingga sulit dideteksi tanpa pengujian laboratorium. Histamin yang sudah terbentuk tidak dapat dihilangkan dengan cara pengolahan apa pun, seperti pengalengan, pengasapan, pemanasan, dan pembekuan.
”Histamin tetap ada meski dimasak dalam suhu tinggi, termasuk pada pengalengan ikan yang biasanya dilakukan proses sterilisasi,” kata Dian.
Akan tetapi, pencegahan terbentuknya histamin dapat dilakukan dengan penyimpanan pada suhu dingin kurang dari 4 derajat celsius atau dibekukan segera setelah ikan ditangkap. Hal ini dapat menghambat laju pertumbuhan bakteri alami di dalam ikan, antara lain Morganella morganii, Escherichia coli, Klebsiella species, dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri ini berada di saluran pencernaan dan insang ikan.
Dian menyarankan agar tidak mengontaminasi daging ikan, proses penghilangan insang dan saluran pencernaan harus dilakukan secara hati-hati. Sebaiknya konsumen memilih ikan segar yang dijual dalam kondisi berpendingin. Apabila tidak langsung dimasak, segera disimpan di suhu dingin.
Bayangkan perjalanan panjang ikan sejak ditangkap sampai berakhir di tangan konsumen. Penuh tantangan. Kecepatan pendistribusian dan penjualan berpacu dengan laju pertumbuhan bakteri ikan. Penanganan yang tepat dapat mencegah laju pertumbuhan bakteri dan histamin yang bisa jadi sangat berbahaya bagi manusia.
Oleh MELATI MEWANGI
Editor CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Sumber: Kompas, 23 Juli 2020