Potensi riset di Indonesia sangat besar. Di tengah sejumlah keterbatasan, seperti biaya, peneliti harus memanfatkan potensi itu dan menghasilkan riset untuk kemaslahatan masyarakat.
Keterbatasan biaya, sarana, dan fasilitas masih dijumpai oleh para peneliti dan ilmuwan di Indonesia. Namun, persoalan ini nyatanya tidak menjadi hambatan bagi tiga ilmuwan yang menerima penghargaan Habibie Award 2018 untuk menghasilkan riset dan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat.
Ketiga ilmuwan yang mendapatkan Habibie Award 2018 tersebut, pertama, Mikrajuddin Abdullah, ahli fisika nanomaterial yang juga Guru Besar Institut Teknologi Bandung. Dia mendapatkan penghargaan di bidang ilmu dasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Ketua Dewan Pengurus Yayasan Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM-IPTEK) Wardiman Djojonegoro (dua dari kanan) memberikan piagam Habibie Award kepada Edvin Adrian, penerima penghargaan di bidang ilmu rekayasa pada penganugerahan Habibie Award 2018 di Jakarta, Selasa (13/11/2018). Selain itu, ada dua ilmuwan lain yang uga mendapatkan perhargaan itu, yaitu Mikrajuddin Abdullah untuk penghargaan di bidang ilmu dasar (paling kiri) dan Rovina Ruslami di bidang ilmu kedokteran (kedua dari kiri).
Kedua, Rovina Ruslami, ahli penyakit tuberkulosis (TB) khususnya pengobatan meningistis TB. Guru Besar Ilmu Farmokologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran ini mendapatkan penghargaan di bidang ilmu kedokteran.
Ketiga, Edvin Aldrian, ilmuwan di bidang meteorologi dan klimatologi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Dia mendapatkan penghargaan di bidang ilmu rekayasa.
Peraih Habibie Award mendapat hadiah berupa uang 25.000 dollar AS, medali, dan sertifikat. Melalui penghargaan ini diharapkan dapat mendorong semangat para ilmuwan dan peneliti di Indonesia agar lebih berkarya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Indonesia adalah negara dengan potensi riset yang sangat besar, mulai dari alam, sumber daya manusia, hingga lingkungan. Sayangnya, sebagian peneliti masih berkaca pada topik-topik di luar negeri, bukan pada masalah bangsa ini. Padahal yang penting dari hasil riset adalah menyelesaikan masalah bangsa,” kata Mikrajuddin seusai acara penganugerahan Habibie Award di Jakarta, Selasa (13/11/2018). Ia saat ini sudah menghasilkan 44 buku dan 89 makalah ilmiah internasional.
Dukungan pemerintah
Hal tersebut senada diungkapkan oleh Rovina. Menurutnya, berbekal dari hal sederhana, seorang ilmuwan mampu menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat. Peneliti harus memiliki semangat menghasilkan riset untuk kemaslahatan masyarakat. Meski begitu, ia tidak memungkiri dukungan pemerintah berupa dana hibah menjadi nilai tambah yang diperlukan untuk pengembangan riset di Indonesia.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Wardiman Djojonegoro
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM-IPTEK) Wardiman Djojonegoro menyatakan, setidaknya dibutuhkan tiga komponen utama dalam pengembangan riset dan penelitian di suatu negara. Tiga hal itu adalah sumber daya manusia, program penelitian yang terintegrasi, serta institusi atau lembaga yang dapat mengkonversi hasil riset para peneliti.
“Untuk sumber daya manusia, Indonesia sudah tidak perlu diragukan. Tetapi, masalah program dan institusi yang bertugas untuk mengkonversi hasil penelitian ini yang belum ada. Seharusnya negara berperan di aspek itu,” katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, peningkatkan kualitas sumber daya manusia saat ini menjadi priotias pemerintah, termasuk kualitas para ilmuwan dan peneliti di Indonesia.
Selain melalui peningkatan anggaran pendidikan, pemerintah pun telah mengalokasikan dana abadi penelitian sebesar Rp 1 triliun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2019. Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan swasta juga terus diperkuat agar peningkatan kualitas sumber daya manusia bisa terwujud secara efektif dan cepat.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 14 November 2018