Dengan 127 gunung api, letusan Gunung Barujari di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, bukan luar biasa. Erupsi ini pun terbilang kecil dibandingkan riwayat letusannya. Nyatanya, letusan Gunung Barujari kali ini melumpuhkan tiga bandara. Puluhan ribu calon penumpang terdampak.
Ratusan penerbangan dibatalkan sejak Gunung Barujari di Pulau Lombok, NTB, meletus 25 Oktober 2015. Dua bandara internasional, Selaparang di Lombok dan Ngurah Rai di Bali, ditutup. Bandara Blimbingsari di Banyuwangi juga ditutup. Hingga kini, Bandara Selaparang masih ditutup karena abu letusan dianggap membahayakan.
“Letusan Gunung Barujari ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan letusan besar Rinjani atau Samalas tahun 1257 dengan VEI (Volcanic Exlposivity Index) hingga 7,” kata Kepala Subbidang Gunung Api Wilayah Timur di PVMBG Devi Kamil Syahbana, Rabu (11/11). Letusan Gunung Samalas, leluhur dari Barujari, pada tahun 1257 belum lama ini dinyatakan terkuat dalam sejarah, mengalahkan letusan Gunung Tambora tahun 1815 yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekalipun letusan Gunung Barujari kali ini, yang hanya dikategorikan skala II dalam VEI telah menciptakan kerugian ekonomi besar. Dari sisi perhotelan di Mataram saja, kerugian ekonomi versi Asosiasi Hotel Mataram, Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar per hari, akibat pembatalan sejumlah kegiatan. Kerugian berlipat dialami Bali.
Bentang alam yang didominasi gunung api dan garis pantai yang menawan merupakan atraksi utama dua pulau ini, selain juga kekayaan budayanya. Namun, di balik elok bentang alam itu tersimpan potensi bencana alam besar yang menuntut dimitigasi.
Gunung api di Lombok dan Bali sama-sama aktif, yang di masa lalu memiliki letusan-letusan hebat. “Di Bali ada Gunung Agung dan Gunung Batur yang lama tak meletus. Jika keduanya meletus besar seperti sebelumnya, dampaknya pasti akan sangat besar bagi masyarakat di Bali,” kata Staf Ahli Bidang Kebencanaan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Letusan Gunung Barujari di kompleks Gunung Rinjani menciptakan lapisan abu putih tebal yang menyelimuti Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti terlihat dari atas pesawat komersial yang terbang pada ketinggian 38.000 kaki dari permukaan laut, Minggu (8/11). Semburan abu vulkanik bisa sangat membahayakan bagi penerbangan.
Sebagai perbandingan, letusan Gunung Agung tahun 1963 menyemburkan abu vulkanik tebal yang tertiup hingga jarak 14.400 km dari Pulau Bali dan menyebabkan sinar matahari di atas Arizona, Amerika Serikat, terpendar (MP Meinel dan AB Meinel, Sunsets, Twilights and Evening Skies, 1991). Pada 1964, kedua peneliti itu menyebut titik tertinggi lapisan debu vulkanik berada 20 km di atas rata-rata muka laut.
Selain berdampak pada perubahan warna langit, letusan Gunung Agung pada 1963-yang merenggut 1.549 korban jiwa-juga menurunkan suhu global. Peneliti NASA, James E Hansen, menemukan, selama tahun 1963-1964, suhu bumi turun sekitar 0,5 derajat celsius
Selain itu, dua pulau itu dikepung zona gempa dan tsunami dari arah selatan ataupun utara. Kerentanan itu kian tinggi karena ketergantungan kedua pulau wisata itu terhadap transportasi udara, yang secara teknis sangat rentan terdampak letusan gunung api. “Letusan Gunung Barujari ini memukul kelas menengah atas, yang terganggu mobilitasnya melalui pesawat. Masyarakat lokal di gunungnya aman,” kata Surono.
Menurut dia, karakter magma Gunung Barajari adalah basaltik mengandung gas tinggi. Pembakarannya sempurna. Akibatnya, letusannya bisa melontarkan material lebih halus dengan jarak tinggi sehingga mudah diterbangkan angin hingga wilayah luas. “Sekalipun letusannya kecil, abunya halus dengan wilayah sebaran luas,” katanya.
Penerbangan lumpuh
Abu letusan gunung api terbukti melumpuhkan penerbangan. Contoh klasik adalah matinya mesin pesawat Boeing 747 milik British Airways setelah menembus abu vulkanik letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat, 24 Juni 1982. Beruntung, empat mesin yang sempat mati saat pesawat di ketinggian 31.000 kaki di posisi 800 kilometer selatan Garut berhasil dihidupkan lagi dua di antaranya. Pesawat yang membawa 225 penumpang dan 16 awak itu akhirnya mendarat darurat di Lapangan Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Pesawat jumbo Boeing 747 Singapore Airlines nomor penerbangan 21A dari Singapura menuju Sydney dan Melbourne mendarat di Halim Perdanakusuma karena debu vulkanik Galunggung, Selasa, 13 Juli 1982 (Kompas, 15 Juli 1982). Dua mesin pesawat raksasa itu dimatikan di ketinggian 33.000 kaki. Kondisi serupa dialami pesawat Boeing 747 milik KLM Belanda, yang mengalami mati mesin setelah menembus abu letusan Gunung Redoubt di Alaska, AS, 15 Desember 1989. Pesawat jatuh sejauh 4.500 m dalam 4 menit. Mesin pesawat bisa dihidupkan 1-2 menit sebelum pesawat mengempas ke Bumi.
Para ahli penerbangan telah menyepakati, abu vulkanik yang masuk ke ruang pembakaran mesin akan menghalangi aliran udara. Padahal, udara adalah elemen utama untuk menjaga pembakaran mesin tetap berlangsung.
Thomas J Casadevall dalam makalahnya, Volcanic Hazard and Aviation Safety (1993), menyebut, abu vulkanik terdiri dari batuan halus, mineral, dan partikel padat berdiameter kurang dari 2 milimeter. Bahkan, diameter abu halus hanya 0,063 milimeter. Ukuran material itu mengecil jika semakin jauh jarak lontarannya dari gunung api. Material fisik abu gunung api inilah yang berbahaya bagi penerbangan.
Dengan kerentanan itu, kata Surono, seharusnya dipikirkan sistem transportasi alternatif bagi daerah strategis, seperti Pulau Bali dan Pulau Lombok. Dalam konteks inilah, pengoptimalan jalur transportasi laut, sebagaimana digagas Presiden Joko Widodo dengan istilah “Tol Laut”, mendesak diwujudkan.
(AHMAD ARIF)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Gunung Barujari dan Rapuhnya Transportasi Udara”.