Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merekomendasikan penggunaan teknologi berbeda antara kota besar dengan kota kecil dan menengah dalam pemanfaatan sampah sebagai tenaga listrik. Di kota besar disarankan penggunaan insinerator. Adapun di kota kecil dan menengah sebaiknya memanfaatkan mikroorganisme pembusuk sampah.
Hal itu untuk terkait keinginan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang pemanfaatan sampah sebagai tenaga listrik, Jumat (5/2/2016), agar proyek bisa segera dikerjakan.
Untuk kota-kota besar dengan permasalahan sampah yang berat seperti DKI Jakarta, BPPT merekomendasikan penggunaan teknologi termal (pembakaran), terutama dengan insinerator. “Untuk kota sedang dan kecil, dengan lahan kosong yang masih luas, utamakan dengan cara alami,” kata Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Rudi Nugroho, Rabu (10/2/2016), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rudi menjelaskan, ada dua kelompok teknologi pengolahan sampah menjadi energi. Pertama, teknologi alami, antara lain dengan instalasi anaerobic biodigester yang memanfaatkan kerja mikroorganisme untuk membusukkan sampah, serta pemanenan gas di tempat pengolahan sampah atau TPA yang saniter (sanitary landfill). Kedua, teknologi termal, antara lain menggunakan insinerator, pirolisis, dan gasifikasi.
Walaupun arah kebijakan pemerintah adalah menghasilkan energi dari sampah, Rudi berpandangan, produksi energi tidak bisa dijadikan target utama. Prioritas yang mesti dikejar pemerintah adalah mengurangi sampah secepat-cepatnya, sedangkan pemanenan energi hanya sebagai bonus.
Artinya, tidak perlu mempermasalahkan jika di masa depan produksi energi berkurang karena volume sampah menyusut, jika memang memilih menerapkan teknologi pengolahan sampah menjadi energi. Dengan proses termal, energi listrik yang didapat dari sampah hanya 30 kilowatt hour per ton sampah. “Lebih kecil dibandingkan energi listrik dari pemanfaatan batu bara,” ujar Rudi.
Namun, teknologi insinerator paling tepat pada saat ini untuk mengatasi tumpukan sampah di kota besar dibandingkan dengan teknologi alami ataupun dengan sesama teknologi termal. Ia mencontohkan, masyarakat di DKI Jakarta, Semarang, dan Surabaya menghasilkan sampah 0,6-0,7 kilogram per orang per hari. Ini menimbulkan kondisi darurat sampah di kota besar.
Peneliti madya bidang persampahan BPPT Sri Wahyono mengatakan, tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang diperkirakan dua tahun lagi tidak mampu menerima kiriman sampah dari Jakarta. Untuk itu, volume sampah harus dikurangi secara cepat. Teknologi insinerator menghasilkan residu 10-15 persen dari pembakaran sampah, sedangkan dengan teknologi pemanenan gas di TPA saniter, residu masih sekitar 50 persen.
Namun, tidak semua daerah di Indonesia sudah dalam tahap kritis yang harus menggunakan insinerator. Masih ada daerah yang bisa mengupayakan dengan teknologi nontermal dulu. Karena itu, BPPT siap membantu dan mendampingi pemerintah maupun pemerintah daerah untuk menentukan teknologi yang tepat guna sesuai kondisi khas daerah.
Kuncinya, menurut Wahyono, komitmen kepala daerah dalam memprioritaskan pengurangan sampah. “Porsi teknologi hanya 15 persen dari urusan pengelolaan sampah. Sebanyak 85 persen merupakan faktor nonteknis, seperti kebijakan dan keterlibatan masyarakat,” ujarnya.
J GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 10 Februari 2016
—————
BPPT: Insinerator Pilihan Akhir
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menilai penggunaan insinerator tidak terelakkan dan menjadi pilihan terakhir bagi sejumlah kota besar di Indonesia, terutama DKI Jakarta. Hal itu karena volume sampah sudah terlalu besar sehingga harus segera dikurangi. Namun, mengurangi volume sampah dari hulu tetap tidak boleh ditinggalkan.
Pekan lalu, pemerintah menetapkan tujuh kota percontohan pengelolaan sampah untuk tenaga listrik, yakni DKI Jakarta, Bandung, Tangerang, Surabaya, Semarang, Solo, dan Makassar. Daerah itu kota besar penghasil sampah di atas 1.000 ton per hari dan kota menengah dengan sampah 200-250 ton per hari.
“Teknologi termal (pembakaran), termasuk insinerator, pilihan terakhir,” kata peneliti madya bidang persampahan BPPT, Sri Wahyono, di Jakarta, Rabu (10/2). Hal utama mengelola sampah tetap mengurangi volume dari hulu, antara lain rumah tangga dan perkantoran, yang berarti masyarakat terlibat aktif.
Namun, kondisi ideal itu tak bisa diharapkan untuk kota dengan masalah timbunan sampah sangat berat, terutama DKI Jakarta. Tempat pembuangan sampah akhir Bantar Gebang, Bekasi, diperkirakan mencapai kapasitas maksimal dua tahun lagi sehingga Pemprov DKI Jakarta tak bisa lagi mengirim 6.000-7.000 ton sampah per hari ke sana.
Menurut Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Rudi Nugroho, penggunaan insinerator langkah pragmatis yang sangat diperlukan dalam situasi kritis penuh sampah. Insinerasi bagian teknologi termal mengolah sampah yang butuh banyak oksigen dalam prosesnya.
Sementara itu, peneliti Divisi Pencemaran pada Pusat Kajian Hukum Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Margaretha Quina mengatakan, pemerintah belum punya kebijakan yang betul-betul mendorong pengurangan sampah dari sumbernya. Adapun insinerator lebih solusi di hilir.
Pemerintah didesak mengoptimalkan semangat 3R (reduce, reuse, recycle) sesuai UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Langkah lain pemilahan agar pengelolaan sampah bisa lebih bersahabat lingkungan. Pemilahan sederhana antara sampah sisa dapur/pasar dan sampah sulit terurai memberi kesempatan teknologi termal gasifikasi yang lebih ramah lingkungan.
Rudi yakin, emisi akibat pembakaran sampah bisa ditekan hingga batas aman bagi manusia. Salah satunya dengan teknologi flue gas treatment untuk menghilangkan polutan.
Menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tuti Hendrawati Mintarsih, teknologi pembakaran yang dimaksud peraturan presiden terkait percepatan penanganan sampah, bisa pirolisis, gasifikasi, dan insinerator. “Tergantung studi kelayakan di setiap kota,” katanya. Pirolisis mengubah polimer plastik menjadi bahan bakar cair solar. Gasifikasi memerangkap sampah organik lalu gas metana dipanen sebagai sumber bahan bakar. (ICH/JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “BPPT: Insinerator Pilihan Akhir”.