Pengendalian ledakan populasi ulat bulu lebih baik bila memanfaatkan musuh alaminya. Penggunaan pestisida dan insektisida adalah alternatif terakhir karena akan mematikan musuh-musuh alami ulat yang berujung pada gangguan keseimbangan ekosistem.
”Membiarkan musuh alami ulat tetap hidup berarti kita turut menekan ledakan populasi ulat bulu,” kata pakar entomologi (ilmu tentang serangga) UGM, Suputa di Yogyakarta, Kamis (14/4). Cara mudah adalah warga tak membunuh burung pemakan ngengat (induk ulat bulu) atau mengusir semut rangrang pemakan telur ngengat.
Hal sama ditegaskan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, di Yogyakarta, kemarin. ”Pendekatan hayati memanfaatkan parasit. Parasit akan dikelola sehingga pengendalian ulat lebih cepat. Kami akan mengerahkan mahasiswa untuk mengendalikan ledakan populasi ulat,” ujarnya. Dengan pemanfaatan parasit dan musuh alami, dalam 3-4 minggu siklus hidup ulat bulu diperkirakan akan berakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cara lain yang disarankan adalah mengumpulkan kepompong (pupa), lalu memasukkannya ke dalam wadah plastik tertutup. Kepompong yang bermetamorfosis menjadi ngengat bisa dimusnahkan. ”Yang menjadi parasitoid (lebah kecil) lepaskan ke alam,” kata Guru Besar Hama Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) Aunu Rauf.
Meskipun penyemprotan pestisida dan insektisida disarankan sebagai alternatif terakhir, sejumlah daerah menjadikannya pilihan utama, seperti Medan, Jakarta, Magelang, Probolinggo, dan Banyuwangi. Alasannya faktor kecepatan pemusnahan.
Tidak mematikan
Merebaknya ulat bulu famili Lymantriidae tidak mematikan tumbuhan inang.
”Ulat bulu yang menghabiskan daun pohon inang akan berdampak bagus bagi tanaman menjelang persiapan berbunga,” kata peneliti Hari Sutrisno dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Diakui, keberadaan ulat bulu, apalagi dalam jumlah besar, menakutkan, bahkan bisa menimbulkan alergi dan trauma.
Satu atau lebih ulat bulu akan didapati mati karena terserang bakteri patogen. ”Ulat bulu yang mati bisa digerus, lalu dilarutkan ke dalam air. Semprotkan air ke ulat bulu lainnya,” kata Hari.
Dihubungi dari Jakarta, kemarin, Hari dan sejumlah peneliti berada di Tegal, Jawa Tengah, untuk mengumpulkan seluruh spesies Lymantriidae dan data berbagai jenis pohon inangnya di Pulau Jawa.
Jumat pagi tim Fakultas Pertanian UGM ke Probolinggo. Mereka berupaya mengembangkan musuh alami ulat bulu menggunakan tabung untuk menangkap ngengat ulat bulu (dengan tetap melepaskan musuh alaminya), menangkap ngengat aktif dengan lampu ultraviolet, serta menyemprot pupa dan larva ulat bulu menggunakan jamur, seperti Paecilomyces.
Lebih besar
Di Probolinggo, warga mengkhawatirkan kemunculan jenis ulat bulu yang lebih besar dan gatal. Alwiyanto, warga Dusun Bringin, Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, mengatakan, jika ulat bulu sebelumnya panjang 3 sentimeter, ulat bulu kali ini lebih dari 5 sentimeter. ”Kalau yang lama tak bikin gatal, yang baru bikin gatal,” ujarnya.
Di Medan, awalnya ribuan ulat bulu berkembang di pohon mahoni dan akasia di sekitar kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro, perumahan dinas Panglima Kodam I/Bukit Barisan, Wali Kota Medan, dan Kepala Kepolisian Daerah Sumut. Hari Kamis ulat itu muncul di beberapa pohon di Jalan Letjen Suprapto. ”Sekarang harus hati-hati kalau menyapu jalan dan trotoar. Khawatir gatal-gatal,” kata Suryani, petugas Dinas Kebersihan Kota Medan di Jalan Letjen Suprapto.
Sejumlah daerah kini siaga ledakan populasi ulat bulu, di antaranya Subang dan Ciamis, Jawa Barat. Kabupaten Subang dikenal sebagai ”lumbung” rambutan.
Selama 2010, produksi rambutan Subang hanya 21.000 ton dari rata-rata produksi tahunan 180.000 ton. Selain cuaca ekstrem, penurunan produksi juga dipicu serangan ulat.(ABK/NAW/MHF/MDN/MKN/ WHO/EGI/ARA/NIK/ETA)
Sumber: Kompas, 15 April 2011