Perlu Edukasi untuk Capai Target Terapi Diabetes
Satu dari tiga pasien diabetes melitus gagal mengontrol gula darahnya sehingga berujung pada komplikasi penyakit. Untuk itu, edukasi tentang diabetes melitus perlu terus dilakukan bagi dokter dan pasien agar dapat mencapai target terapi yang diharapkan.
Guru Besar Endokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pradana Soewondo mengungkapkan hal itu, Jumat (14/10), di Jakarta.
Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) melakukan penelitian tahun 2012 terhadap 1.967 pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat di 16 fasilitas layanan kesehatan primer, 17 fasilitas kesehatan rujukan sekunder, dan 18 fasilitas rujukan tersier. Hasilnya, hanya 32,1 persen di antara pasien diabetes melitus yang mencapai target HbA1c di bawah 7 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi Indonesia itu masih lebih baik dibandingkan Malaysia (22 persen) dan Filipina (15 persen), serta tak jauh berbeda dengan Singapura (33 persen) dan Thailand (30,2 persen). Namun, kondisi Indonesia itu jauh di bawah capaian Hongkong (39,7 persen), Tiongkok (41,1 persen), dan Korea Selatan (43,5 persen).
Pradana memaparkan, HbA1c adalah indikator jumlah rata-rata gula dalam darah selama tiga bulan terakhir. HbA1c bisa jadi tolok ukur keberhasilan manajemen pengendalian gula darah pasien diabetes melitus. Bagi orang normal, kondisi normal HbA1c 4-5,7 persen, sedangkan bagi pasien diabetes melitus, HbA1c yang baik di bawah 7 persen.
Instrumen yang tepat untuk mendeteksi gula darah adalah pemantauan kadar HbA1c dan pemeriksaan gula darah puasa (fasting blood glucose). Gabungan keduanya memiliki manfaat signifikan bagi perawatan dan pencegahan diabetes melitus. “Itu juga menjadi instrumen yang tepat untuk memantau hasil manajemen gula darah pasien diabetes melitus,” ujarnya.
Jika tak mencapai target terapi HbA1c di bawah 7 persen, pasien diabetes melitus bisa mengalami komplikasi penyakit. Sejauh ini, komplikasi paling kerap terjadi ialah neuropati (59,1 persen), disusul disfungsi efeksi (32,4 persen), gangguan mata (29,1 persen), dan kardiovaskular (22,8 persen). Retinopati yang merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus menjadi penyebab utama kebutaan dan gangguan mata.
Berobat tak teratur
Menurut Pradana, tak tercapainya target terapi HbA1c di bawah 7 persen disebabkan banyak faktor. Faktor itu antara lain pasien tidak rutin berobat dan mengonsumsi obat, pasien tidak memahami diabetes melitus, dan dokter kurang memberikan edukasi kepada pasien tentang cara mengelola diabetes melitus.
Sementara itu, Ketua Perkeni Prof Achmad Rudijanto, beberapa waktu lalu, memaparkan, rendahnya HbA1c pasien diabetes melitus yang berobat di fasilitas kesehatan menunjukkan manajemen gula darah pasien belum optimal. Penyebab utamanya, waktu kontak dokter-pasien kurang sehingga edukasi yang diberikan dokter ke pasien kurang.
“Edukasi adalah yang terpenting. Bagaimana mau mengedukasi pasien kalau waktu yang tersedia dengan pasien singkat karena banyak pasien antre,” ujarnya.
Selain itu, pasien masih menganggap keberhasilan mengontrol gula darah karena faktor obat. Padahal, hal paling utama adalah edukasi, diet yang sehat, olahraga, baru kemudian obat.
Pradana menekankan, dalam manajemen diabetes melitus, perubahan sikap pasien dan pengetahuan dokter menjadi aspek penting. Dengan demikian, pasien diabetes melitus harus sadar, dialah yang paling berperan dalam manajemen penyakit diabetes melitus, mulai dari memutuskan kapan kontrol, kapan berobat, cara mengatur makan, dan bagaimana memilih gaya hidup sehari-hari.
Untuk menguatkan kapasitas tenaga kesehatan di Indonesia terkait tata laksana pengobatan diabetes, program Kemitraan untuk Pengendalian Diabetes di Indonesia (Partnership for Diabetes Control in Indonesia/PDCI) diluncurkan. Itu adalah kemitraan Kementerian Kesehatan, Asosiasi Diabetes Amerika, Perkeni, dan Sanofi Indonesia. Targetnya, kapasitas 5.000 dokter umum dan 500 dokter spesialis penyakit dalam untuk mengendalikan diabetes melitus bisa meningkat.
Pradana berharap, setelah pengetahuan meningkat, sikap dokter umum dalam menangani pasien diabetes melitus berubah. “Yang semula misalnya tidak memeriksa mata, kolesterol, dan melaksanakan pemeriksaan jantung melalui elektrokardiografi (EKG) ketika memeriksa pasien diabetes melitus, kini mulai melakukan itu,” ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, secara global, ada 422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes melitus tahun 2014. Kenaikan angka kasus diabetes melitus akan terjadi di negara-negara berkembang, dengan populasi penduduk tumbuh, menua, diet tak sehat, dan obesitas. (ADH)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul “Gula Darah Tinggi Picu Komplikasi”.