Greenpeace Indonesia, Selasa (15/3), di Jakarta, meluncurkan peta digital yang bisa diakses masyarakat untuk mengetahui kondisi hutan, khususnya terkait kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi. Peta itu dilengkapi berbagai konsesi perizinan perusahaan sehingga masyarakat mengetahui lokasi titik-titik api.
Keterbukaan informasi itu diharapkan membuka rasa ingin tahu masyarakat. Di sisi lain, Greenpeace mendorong pemerintah segera merealisasikan program Satu Peta dan membuka peta konsesi yang bisa diakses publik.
“Peta ini kami susun efektif enam bulan. Ini menunjukkan sebenarnya tak susah menyusun peta jika ada kemauan politik dan data tersedia,” kata Teguh Surya, pengampanye hutan Greenpeace Indonesia, kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peta menggunakan platform peta digital daring dari Global Forest Watch yang dikelola World Resources Institute (WRI). “Perbedaan hanya pada data set. Data kami dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Greenpeace melengkapi dengan data lain,” kata Andika Putraditama dari WRI.
Menurut Teguh, peta yang dinamakan Peta Kepo Hutan itu berasal dari data konsesi logging dan hutan tanaman industri resmi dari KLHK serta data resmi konsesi perkebunan, pertambangan, dan batubara dari daerah. Data itu lalu dikompilasi dan didigitasi.
Peta itu, menurut Teguh, dilengkapi data titik panas sejak 2013 hingga kini menggunakan sensor Modis dari Satelit Terra Aqua. “Selama ini masyarakat bingung titik api ada di lahan atau hutan yang dikelola siapa. Dalam peta kami jelas kelihatan titik api ada di lahan atau konsesi siapa”.
Greenpeace pun membuka diri terhadap koreksi pemerintah atau perusahaan yang menilai digitasi dalam peta tidak benar. “Justru kami menyambut gembira kalau ada perusahaan keberatan, kita bisa saling tunjukkan datanya,” ujarnya.
Akses publik
Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid Dipopramono mengatakan, semua kebijakan publik, termasuk pemberian izin dan konsesi, boleh diakses publik. “Siapa yang melakukan pembakaran harus dibuka,” katanya.
Teknologi citra satelit saat ini, menurut dia, tak bisa lagi menutup-nutupi konsesi dan potensi sumber daya alam. Ia berharap jika masyarakat kesulitan mendapatkan akses informasi publik di pemerintah agar mengajukan sengketa kepada Komisi Informasi Pusat atau Komisi Informasi Daerah.
Sementara itu, Bambang Widjojanto, penasihat hukum kebijakan publik dan mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan, transparansi seperti dalam peta itu dibutuhkan untuk memberantas korupsi. “Jika semua orang mendapat akses informasi untuk melihat dari siapa saja hak atas hutan diberikan dan dialihkan, peta-peta ini akan mampu mencegah kerugian sumber daya negara yang timbul dari korupsi dalam hal konsesi dan meningkatkan kepatuhan dalam tata kelola hutan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, pihaknya sudah terbuka dengan membuka akses peta sistem informasi geografis (GIS) bagi masyarakat. Masyarakat atau organisasi masyarakat bisa menggunakannya sejak 2010.
“Komitmen kami jelas, informasi ini terbuka untuk publik secara parsial bagi yang memerlukan, seperti perguruan tinggi,” ucapnya. Ia juga berharap permintaan data penajaman tidak dalam bentuk “gelondongan”.(ICH)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Greenpeace Luncurkan Peta Konsesi Tandingan”.