Partai Gerindra dan Demokrat mempertanyakan kinerja lembaga yang melakukan survei menjelang Pilkada 2018. Berbedanya hasil survei dengan hasil hitung cepat setelah pemungutan suara membuat parpol meragukan kinerja lembaga survei.
Baik Gerindra dan Demokrat sempat terkejut dengan hasil survei sebelum Pilkada maupun hitung cepat hasil Pilkada, terkait elektabilitas calon kepala daerah yang mereka usung, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sebelumnya, ada ketimpangan antara hasil survei dengan hasil hitung cepat di pilgub Jabar dan Jateng. Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga sebelum pilkada, elektabilitas pasangan Sudrajat- Ahmad Syaikhu yang diusung Gerindra berada di posisi ketiga, di bawah pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang diusung Demokrat dan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum. Namun, setelah hasil hitung cepat, perolehan suara pasangan Sudrajat-Syaikhu melonjak drastis melewati posisi Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, di Jawa Tengah, berdasarkan hasil survei menjelang pilkada, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang didukung Gerindra hanya memiliki elektabilitas sekitar 15 persen dan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin sekitar 75 persen. Sedangkan, berdasarkan hasil hitung cepat, ada lonjakan suara terhadap pasangan Sudirman Said-Ida Fuziyah menjadi sekitar 41 persen.
Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Didi Irawadi mengatakan, perlu ada pertanggung jawaban dari hasil sejumlah lembaga survei yang meleset ini. Menurutnya, perlu ada evaluasi karena pada pemilu 2019 akan lebih marak lagi lembaga yang melakukan survei terkait elektabilitas partai, capres, dan cawapres.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA–Suasana Pusat Kendali Hitung Cepat Kompas di Jakarta, Rabu (27/6/2018). Litbang Kompas mengadakan hitung cepat hasil Pilkada 2018 di 3 provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Perlu ada penjelasan dari tiap lembaga, karena belakangan ini, publik cukup dipengaruhi oleh lembaga survei dalam hal menentukan pilihannya. Kredibilitas lembaga survei ini dipertaruhkan dalam Pemilu 2019,” katanya dalam diskusi bertajuk ‘Pilkada, Kotak Kosong, dan Pilpres 2019’ di Jakarta, Sabtu (30/06/2018).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan, melesetnya hasil surei ini membuat Partai Gerindra lebih mempercayai hasil survei internal partai, dibandingkan dengan survei dari lembaga lain.
“Saya tidak tahu, apakah ada kesalahan metode yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei ini. Namun, menurut saya, sebaiknya lembaga ini bisa melakukan survei di waktu-waktu mendekati pemilihan suara, seperti sekitar dua minggu jelang pemilihan,” ujarnya.
Ferry menilai, masih banyak masyarakat yang belum mantap menentukan pilihannya jika survei dilakukan satu bulan sebelum Pilkada. Selain itu, menurut Ferry, pergerakan mesin partai dapat mendongkrak popularitas seorang calon dalam periode satu bulan sebelum pilkada.
“Khususnya sentimen 2019 Ganti Presiden yang terus diusung pasangan calon Sudrajat-Syaikhu menjelang pilkada, tentunya dapat merebut hati masyarakat yang mendukung Prabowo. Selain itu, hal ini membuktikan bahwa pendukung Prabowo masih banyak di daerah Jawa Barat,” katanya.
Namun menurut Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan, tidak ada kesalahan metode yang dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel. Menurutnya, jika hasil survei meleset, hal itu merupakan suatu kewajaran.
“Ada penjelasan rasional terkait melesetnya hasil survei ini, seperti masalah waktu survei dan pergerakan mesin partai menjelang pemilihan,” ujarnya.
Djayadi mengatakan, berdasarkan survei SMRC, sekitar 43 persen pemilih di Jabar memang baru memantapkan pilihannya menjelang tiga minggu sebelum pemungutan suara. Sedangkan, ada sekitar 10 persen pemilih yang baru memantapkan pilihannya pada hari pemungutan suara.
Analis Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menjelaskan ada empat faktor utama yang memengaruhi perbedaan hasil survei dengan hasil hitung cepat setelah pemungutan suara.
“Pertama adalah kecenderungan masyarakat yang melihat hasil survei tersebut sebagai rujukan. Masyarakat ini akan menentukan pilihannya kepada calon yang unggul dalam survei. Kemudian, faktor kedua yaitu atas dasar rasa kasihan, masyarakat jadi memilih calon yang kurang diunggulkan dalam survei,” ujarnya.
Kemudian, faktor ketiga adalah faktor pemecah suara jika dalam kontestasi ada lebih dari tiga calon kepala daerah. Masyarakat yang mendukung satu calon sengaja memecah suaranya dengan mendukung calon lain agar calon unggulannya bisa menang dalam proses pemilihan suara.
“Faktor terakhir yaitu spiral of silence, dimana pemilih cenderung diam dan baru menentukan pilihannya ketika pemungutan suara,” kata Hendri.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, asosiasi lembaga survei perlu melakukan pengawasan etik terkait kredibilitas lembaga survei. Terkait dengan potensi maraknya survei pada 2019 nanti, asosiasi ini perlu saling mengontrol kredibitas lembaga satu sama lain.
“Selain itu, beberapa lembaga survei tidak transparan terkait besaran dan sumber dana yang digunakan untuk melakukan survei. Sumber dana ini bisa menjadi acuan bagi masyarakat untuk menilai kredibilitas lembaga survei,” ujarnya.
Arief mengatakan, masyarakat juga perlu membandingkan hasil-hasil hitung cepat yang dikeluarkan lembaga survei nanti dengan hasil rekapitulasi KPU. Jika selisihnya tipis, tentu saja lembaga survei ini masih kredibel untuk dipercaya masyarakat.–DHANANG DAVID ARITONANG
Sumber: Kompas, 30 Juni 2018