Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016
Gerhana matahari total adalah fenomena alam biasa. Menjadi langka dan istimewa karena tidak semua wilayah Bumi dapat menyaksikannya. Rata-rata, gerhana matahari total bisa disaksikan sekali dalam 375 tahun di titik yang sama di muka Bumi.
Lamanya rata-rata perulangan waktu terjadinya gerhana matahari total (GMT) membuat banyak orang berburu gerhana. Perburuan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak biasa, mulai dari mendatangi lokasi-lokasi terpencil di berbagai belahan Bumi hingga mengamati gerhana dari ketinggian stratosfer Bumi.
Alasan berburu gerhana pun beragam, mulai dari hanya ingin menyaksikan dan merasakan sensasi perubahan suasana saat piringan Matahari tertutup sepenuhnya oleh piringan Bulan, melakukan berbagai penelitian ilmiah atau membuktikan teori baru, hingga melepaskan hasrat berkelana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya ingin seperti Tintin (tokoh komik Petualangan Tintin), bertualang sekaligus menyalurkan minat pada ilmu luar angkasa,” kata Wicak Soegijoko (49), pekerja bidang telekomunikasi, Selasa (2/2), di Jakarta.
Hasrat itu dimiliki Wicak sejak kecil. Minat itu membawa Wicak menyaksikan GMT pada 11 Juni 1983 di Cilacap, Jawa Tengah, saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia juga bisa menyaksikan GMT pada 18 Maret 1988 di atas feri yang membawanya dari Palembang, Sumatera Selatan, menuju Pulau Bangka, dan gerhana matahari cincin pada 26 Januari 2009 dari Tanjung Lesung, Banten.
“Sukar dijelaskan bagaimana rasanya melihat gerhana matahari,” ujarnya. Ada rasa puas dan beruntung karena bisa menyaksikan fenomena alam yang langka, sekaligus rasa penasaran karena seharusnya bisa mempersiapkan diri mengamati gerhana lebih baik.
Namun, hal pasti yang dirasakan Wicak adalah rasa diri sebagai manusia yang kecil di alam semesta nan mega luas. “Jadi, kenapa masalah-masalah manusia yang kecil dan tidak berarti harus dijadikan masalah besar?” katanya.
Rasa takjub itu juga dialami Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin saat mengamati GMT pada 18 Maret 1988 di Pantai Penyak, Bangka Tengah, Bangka Belitung. Ketika itu, ia baru 1,5 tahun menjadi peneliti Lapan dan bertugas memotret proses gerhana menggunakan teleskop.
Pemotretan di awal proses gerhana, saat masih berlangsung gerhana matahari sebagian, berjalan lancar. Saat fase totalitas gerhana berlangsung, pemotretan seharusnya dilakukan dengan melepas filter pengurang intensitas cahaya Matahari yang ada di ujung teleskop.
“Saat totalitas gerhana matahari berlangsung, suasana berubah gelap, korona Matahari pun terlihat indah berkilauan,” ujarnya.
Ketakjuban itu membuat Thomas lengah dan lupa sesaat dengan tugasnya. Ia baru sadar saat fase totalitas gerhana hampir berakhir. Beruntung, atasannya yang sudah berpengalaman berhasil memotret fase total gerhana itu dengan menggunakan teleskop lain.
Perasaan beruntung bisa menikmati gerhana matahari juga diungkapkan Jefferson Teng (35), wiraswasta sekaligus astronom amatir asal Lampung. Secara kebetulan, ia bisa menyaksikan dua gerhana matahari yang terjadi selama 2009, yaitu gerhana matahari cincin pada 26 Januari dari kota kelahirannya, Bandar Lampung, dan GMT pada 22 Juli dari Shanghai, Tiongkok, kota tempatnya menempuh pendidikan.
Pengamatan GMT di Shanghai memberi pengalaman berbeda bagi Jefferson yang sejak kecil juga menyukai astronomi. Meski pengamatan gagal total karena mendung dan hujan tiba-tiba datang menjelang puncak gerhana, perubahan suasana selama totalitas gerhana tetap terasa.
“Suasana tiba-tiba jadi gelap. Lampu-lampu kota pun otomatis menyala. Saat bersamaan, suhu udara berubah jadi lebih dingin,” kenangnya.
Menurut rencana, memotret sisa-sisa cahaya Matahari yang membentuk cincin berlian (diamond ring) sebelum gerhana matahari mencapai fase total pun tidak terlaksana. Namun, hal-hal unik yang terjadi bersamaan dengan totalitas gerhana tetap memberi kesan mendalam bagi Jefferson.
Kekurangsempurnaan mengamati gerhana juga pernah dialami Wicak. Pada GMT 1988, ia seharusnya mengamati di Pulau Bangka. Namun, karena feri yang ia tumpangi terlambat tiba di Bangka, ia pun hanya bisa memotret gerhana di atas kapal yang terus bergoyang.
“Gambar hasil pemotretan jelek semua, tetapi gerhana yang terekam mata tetap tersimpan di kepala dan hati,” lanjutnya.
Langka
Sebagian wilayah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung cukup beruntung bisa menyaksikan GMT dalam waktu yang tidak terlalu lama. Setelah GMT 1988, GMT akan kembali terjadi di sebagian wilayah itu pada 9 Maret 2016.
“Bedanya, jalur lintasan GMT 9 Maret mendatang agak lebih ke selatan dibandingkan jalur GMT 1988,” kata Thomas.
Kesempatan itu tak akan dirasakan masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Setelah GMT 1983, Jawa tidak akan dilintasi jalur totalitas gerhana hingga abad ke-21 berakhir.
Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, mengatakan, jumlah GMT yang melintasi Indonesia selama abad ke-21 bisa dihitung hanya dengan sebelah tangan.
Gerhana 9 Maret 2016 adalah GMT pertama yang melewati Indonesia pada abad ke-21. Gerhana ini akan melintasi 12 provinsi dan 53 kabupaten/kota, mulai dari Kepulauan Pagai di Sumatera Barat hingga Pulau Halmahera di Maluku Utara.
GMT berikutnya akan terjadi pada 20 April 2042 yang akan melewati Jambi, GMT 24 Agustus 2082 yang melalui Medan di Sumatera Utara, dan GMT 22 Mei 2096 yang melintasi Lampung dan Kalimantan.
Oleh karena itu, Moedji menilai, masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa harus pergi berburu gerhana ke pulau lain jika ingin menyaksikan keindahan GMT, minimal sekali sepanjang hidupnya.
“Kalau tidak aktif mengunjungi daerah yang dilintasi jalur GMT, orang yang tinggal di Jawa sekarang seumur hidup tidak akan pernah menyaksikan totalitas gerhana,” lanjutnya.
Berdatangan
Wilayah daratan luas yang dilalui jalur GMT 9 Maret 2016 mendatang hanya di wilayah Indonesia. Sebagian besar jalur gerhana akan melintasi wilayah perairan mulai dari Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik atau Lautan Teduh.
Kondisi itu diyakini akan membuat Indonesia didatangi para pemburu gerhana dari seluruh dunia, baik yang datang sebagai wisatawan maupun peneliti.
Selain memotret proses gerhana, menurut Thomas, banyak peneliti akan mengamati korona Matahari dan perubahan geomagnetik dan ionosfer atmosfer Bumi selama GMT berlangsung. Sejumlah peneliti ilmu hayati juga akan terlibat mengamati perubahan perilaku hewan dan tumbuhan selama gerhana berlangsung.
Salah satu lokasi yang diperkirakan akan menjadi tujuan banyak pemburu gerhana dari dalam dan luar negeri adalah Maba, ibu kota Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Kota itu menjadi incaran karena terletak di tengah lintasan gerhana dan berada di bagian paling timur wilayah daratan luas yang dilintasi jalur totalitas gerhana.
Lama totalitas gerhana matahari di Maba adalah 3 menit 20 detik. Itu adalah waktu totalitas gerhana terlama yang bisa diamati dari wilayah Indonesia. Totalitas gerhana terlama yang terjadi saat puncak gerhana, yaitu 4 menit 9 detik, terjadi di satu titik di tengah Samudra Pasifik.
Meskipun akses menuju Maba relatif sulit dan infrastruktur pendukung pariwisata di daerah itu sangat terbatas, banyak pemburu gerhana bertekad menaklukkan wilayah itu.
“Saya belum pernah ke Halmahera. Karena itu, perjalanan nanti akan jadi petualangan yang seru,” ungkap Wicak.—M ZAID WAHYUDI
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul “Berburu Kesempatan Langka Seumur Hidup”.