Saat piringan Bulan beringsut menutupi Matahari, sinar surya yang gagah perlahan meredup. Langit biru memudar, berganti remang cahaya abu-abu hingga kegelapan penuh, bak malam pekat mahaluas. Turunnya temperatur udara mendadak di siang bolong itu menambah syahdu suasana, saat gerhana matahari total tiba.
Alam pun bereaksi. Datangnya kegelapan akibat hilangnya sinar matahari, untuk sesaat memunculkan kembali kerlip bintang di langit. Di ufuk, cahaya kemerahan terbentang di sepanjang horizon bak fajar maupun senja yang terjadi bersamaan.
Hewan-hewan siang atau diurnal yang semula riuh mencari makan terkejut. Waktu makan dipangkas tiba-tiba. Mereka harus balik ke sarang untuk beristirahat meski perut belum kenyang, kantuk belum datang, sedangkan jam biologis tubuh mengisyaratkan belum waktunya tidur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun binatang malam (nokturnal) yang lelap tertidur mendadak dibangunkan “alarm” yang menandakan waktu kerja telah tiba. “Gerhana matahari total mengubah perilaku binatang,” kata ahli ekologi dan taksonomi mamalia yang juga profesor riset pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ibnu Maryanto, Senin (15/2).
Meski demikian, Stephan G Reebs dari Universitas de Moncton, Kanada, dalam “How do Fishes React to Total Solar Eclipse?” di www.howfishbehave.ca-yang mengutip sejumlah penelitian-menunjukkan sejumlah mamalia seperti zebra, singa, tupai, dan binatang ternak tetap beraktivitas normal meski suasana lingkungan mendorongnya tidur.
Beberapa binatang lain, seperti simpanse dan kuda, memang menunjukkan tanda-tanda resah atau khawatir saat gerhana, tetapi tidak bersiap-siap tidur. Kondisi itu menunjukkan jam biologis tubuh hewan memiliki peran lebih dominan dalam menentukan waktu tidur.
Perilaku berbeda ditunjukkan burung. Saat gerhana, umumnya burung ribut sesaat, lalu tenang kembali. Beberapa jenis burung bahkan kembali ke sarang, bersiap tidur. Adapun burung hantu yang adalah binatang malam akan mulai berdendang.
Sementara itu, penelitian Reebs menunjukkan, ikan akan berenang di dekat permukaan air saat gerhana terjadi, seperti biasa dilakukan menjelang senja. Adapun sejumlah ikan yang gemar melompat ke udara menunjukkan perilaku saat malam hari, yaitu memilih berhenti melompat. Diam di dasar perairan.
Walau perilaku hewan saat gerhana bervariasi, terlihat jelas perilaku itu dibentuk energi matahari. Saat sumber energi itu tiba-tiba hilang, kata Ibnu, aktivitas satwa-satwa juga dipaksa berubah, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Namun, kondisi itu tak akan sampai memengaruhi organ ataupun proses reproduksi binatang karena perubahan singkat dan tidak terus-menerus.
Hal itu sejalan dengan penelitian Daryanto dalam “Pengaruh Gangguan Circadian terhadap Struktur Histologik Testis dan Ovarium Tikus Putih” di Berkala Ilmu Kedokteran Jilid XX, September 1988. Gangguan pola waktu 24 jam atau sirkadian selama beberapa menit saat gerhana matahari total yang menimbulkan pola gelap-terang tidak berpengaruh pada organ reproduksi tikus putih.
Dampak tumbuhan
Perubahan perilaku juga ditunjukkan tumbuhan. Saat gelap, kumis kucing Orthosiphon aristatus dan trembesi Albizia saman akan menutup daunnya. Ketika gerhana, kondisi yang sama akan terjadi pada kedua tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan cahaya itu.
Matahari yang tiba-tiba tertutup akan membuat proses fotosintesis atau pembuatan makanan pada tumbuhan hijau terganggu. Turunnya suhu udara-hingga memicu peningkatan kelembaban udara-juga memengaruhi daya fotosintesis tumbuhan.
“Terganggunya fotosintesis itu tidak akan sampai memengaruhi produksi sayur maupun padi karena gangguan yang terjadi tidak terlalu berarti,” kata ahli pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang juga Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Witjaksono. Gangguan proses fotosintesis itu lebih bermakna saat mendung berkepanjangan atau selama musim hujan.
Perubahan pencahayaan dari matahari itu juga akan mengganggu fotofisiologi tumbuhan atau sistem kerja tumbuhan sebagai respons terhadap cahaya. Pada sejumlah tanaman, khususnya di kawasan subtropika, pendeknya hari atau lama matahari bersinar sangat memengaruhi tinggi dan kecepatannya berbunga. Karena itu, saat gerhana, bisa memengaruhi pertumbuhan tumbuhan itu meski tidak signifikan karena terjadi singkat.
“Matahari adalah energi utama bagi semua makhluk hidup, bukan hanya tumbuhan,” kata Witjaksono.
Tumbuhan mengonversi energi matahari menjadi makanan yang menjadi sumber energi bagi makhluk lain. Proses saling memakan itulah yang akhirnya membentuk rantai makanan ataupun jaring makanan. Proses itu membuat energi matahari mengalir hingga menjangkau makhluk hidup di puncak piramida makanan dan menjaga keberlangsungan hidup semua makhluk di Bumi.
Tak hanya menjadi sumber energi bagi makhluk Bumi, Matahari pula yang membuat Bumi berevolusi menjadi planet layak huni seperti sekarang. Tanpa panas dan sinar matahari, Bumi hanyalah sebongkah batu berselimut es. Matahari yang menghangatkan laut Bumi hingga membentuk atmosfer seperti sekarang.
Jauh pada awal pembentukan Bumi 4,5 miliar tahun silam hingga beberapa miliar tahun berikutnya, atmosfer Bumi didominasi karbondioksida yang dihasilkan melalui aktivitas vulkanik Bumi. Uap air, amonia, dan metana ada dalam jumlah sedikit. “Atmosfer Bumi primitif mirip atmosfer Venus dan Mars saat ini,” kata Guru Besar Astronomi Institut Teknologi Bandung, Taufiq Hidayat.
“Tanpa Matahari, Bumi tidak akan dapat dihuni,” katanya. (MZW)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Kegalauan Makhluk di Bawah Matahari”.
————-
Gerhana Matahari Total 2016
Sukacita Pesta Bersama Mitos
Tiga minggu menjelang gerhana matahari total, 9 Maret 2016, masih banyak masyarakat di jalur totalitas gerhana yang tak tahu akan ada fenomena alam langka itu. Jangankan gegap gempita menanti, masih ada masyarakat yang khawatir buta. Mitos lama yang terpelihara.
”Saya belum tahu akan ada gerhana matahari,” kata Sumiyati (52), warga Pahandut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (10/2). Kenangannya tentang gerhana sangat kurang. Ia hanya ingat, saat kecil, ibu hamil harus bersembunyi. Entah kenapa.
Kenangan agar berdiam diri di rumah saat gerhana matahari terpatri di ingatan publik. Pada gerhana matahari total (GMT) 11 Juni 1983, Palangkaraya mengalami gerhana matahari sebagian (GMS) dengan hampir 90 persen piringan Matahari tertutupi piringan Bulan.
”Saya pikir gerhana sekarang masih seperti dulu, semua orang harus di dalam rumah, bersembunyi di kolong meja atau tempat tidur, dan menutup jendela serta celah-celah di rumah agar mata tidak buta,” kata Ansyar (43), warga Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Sama seperti Palangkaraya, pada GMT 1983, Palu juga mengalami GMS.
Ketidaktahuan pada GMT itu bukan hanya dialami masyarakat umum, melainkan juga pendidik dan pelajar. ”Guru-guru belum memberi tahu ada GMT,” ujar Silfanus Yoga (15), siswa kelas X SMA Negeri 1 Palangkaraya. Palangkaraya satu dari puluhan kota di 12 provinsi yang akan dilintasi GMT. Bahkan, sejak berbulan-bulan lalu, sejumlah turis dan peneliti Jepang siap datang ke sana.
Ketidaktahuan siswa itu diakui guru Fisika SMAN 1 Palangkaraya Sugini (50). Menurut dia, belum ada sosialisasi khusus. Ia menilai cara pengamatan GMT yang benar sangat dibutuhkan siswa—juga guru—agar bisa menyaksikan fenomena itu.
Kekurangpahaman para pendidik itu juga terjadi di Sulteng. Kepala SD Negeri 2 Dolo, Kabupaten Sigi, Hamidah mengatakan belum mendapat info tentang pengamatan gerhana meski Lapangan Sepak Bola Kotapulu yang berada di samping sekolahnya sudah beberapa kali disurvei sebagai salah satu lokasi pengamatan gerhana.
”Saya tidak tahu, apalagi murid-murid sekolah ini,” ujarnya.
Pantauan Kompas hingga pekan lalu, hanya ada satu baliho di Palu yang menginformasikan rangkaian acara menyambut GMT, bukan informasi yang bisa dijadikan panduan bagi publik untuk bisa memahami dan menyaksikan gerhana. Pada 9 Maret 2016, totalitas gerhana di Palu berlangsung 2 menit 6 detik dan mencapai puncaknya pada pukul 08.39 Wita.
Meski demikian, kondisi itu jauh lebih baik dibanding di Maba, Halmahera Timur, kota dengan lama totalitas gerhana terlama di Indonesia, 3 menit 20 detik. Di sejumlah lokasi strategis di daerah itu, mulai dari Bandar Udara Buli hingga perkampungan masyarakat di Buli dan Maba yang merupakan ibu kota kabupaten, tidak ada baliho, spanduk, ataupun informasi lain soal GMT.
”Tanpa sosialisasi gerhana, warga pasti akan memilih cara aman bersembunyi di rumah,” kata Mahibur Mandar (34), warga Maba. Sembari bersembunyi, mereka akan memukuli benda agar gerhana segera berlalu.
Di sisi lain, turis dan peneliti dari sejumlah negara, termasuk Perancis serta peneliti Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, menuju ke sana. Maba daratan paling lama di dunia yang bisa melihat GMT.
Ironisnya, birokrat di Maba juga jarang yang tahu GMT. Para pegawai di kantor pemerintah Halmahera Timur, termasuk dinas kebudayaan dan pariwisata—ujung tombak kampanye GMT—tak tahu bakal ada GMT!
Ketidaktahuan itu juga dialami masyarakat di sejumlah kota besar, seperti Palembang, Sumatera Selatan. ”Jangankan sosialisasi, spanduk GMT pun tak ada,” kata Murni (45), pedagang di Jakabaring Sport City, salah satu lokasi yang akan dijadikan tempat mengamati gerhana.
Kondisi itu memprihatinkan karena ribuan turis asing dan Indonesia siap mendatangi sejumlah kota yang dilintasi jalur gerhana. Gerhana yang seharusnya menjadi sarana berpesta, merayakan fenomena alam langka, sekaligus upaya membangun pola pikir ilmiah, justru hanya dinikmati turis asing.
Antusias
Di tengah minimnya upaya pemerintah dan pemda mengampanyekan gerhana, sebagian masyarakat yang melek informasi dan punya pengalaman positif dengan gerhana sebelumnya antusias menyambut GMT.
”Saat saya duduk di bangku SD, di Lahat, saya menyaksikan GMT. Saat itu, langit gelap,” kata Marlensi (42), ibu rumah tangga di Palembang. Pada 18 Maret 1988, GMT hadir di Sumsel. Meski diimbau agar tidak menyaksikan gerhana langsung karena bisa menimbulkan kebutaan, ia tetap mencuri pandang. Dan, hingga kini ia tidak buta.
Kegairahan menyaksikan gerhana juga ditunjukkan Widyo Baskoro (37), warga Sungai Nangka, Balikpapan, Kalimantan Timur. Teknisi bengkel alat berat itu akan mengajak keluarganya menyaksikan gerhana dari Pantai Manggar.
Pengalaman pahit dilarang menyaksikan GMT 1983 membuat Baskoro kecil yang kala itu baru berumur 5 tahun dan tinggal di Yogyakarta hanya bisa melihat GMT dari televisi. Kini, dari internet, ia tahu cara aman menyaksikan gerhana: memakai kacamata khusus. Ia berencana memakai kacamata las.
Semangat menyambut gerhana juga ditunjukkan warga Kabupaten Bangka, Andri Mara. Ia akan menginap di Bangka Tengah sehari sebelum GMT agar tidak terjebak kemacetan di jalan. Ia tidak ingin kegagalan mengamati GMT 1988 terulang.
”Sosialisasi gerhana penting karena Bangka punya pengalaman tak menyenangkan saat GMT 1988. Warga bersembunyi dalam rumah. Hanya wisatawan yang menikmati,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bangka Belitung KA Tajuddin. Satu lokasi bila menonton GMT di bukit granit di Kecamatan Sijuk Belitung.
Dari sejumlah kota besar yang dilintasi jalur gerhana, Palembang dinilai paling siap menyambut ribuan wisatawan dari dalam dan luar negeri. Akomodasinya dianggap paling siap.
”Palembang sering menggelar kegiatan akbar, baik tingkat nasional maupun internasional,” kata Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Kementerian Pariwisata Esthy Reko Astuti.
Hingga tiga minggu menjelang GMT, permintaan paket wisata menuju 12 provinsi yang dilintasi jalur gerhana melonjak. Paket wisata yang paling diminati adalah tiga hari dua malam, yaitu menyaksikan GMT dan mengunjungi sejumlah obyek wisata lain di daerah tujuan.
Biarkan alam menyatukan manusia dalam sukacita gerhana.(DKA/VDL/FRN/RAM/PRA/RAZ/ARN)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul “Sukacita Pesta Bersama Mitos”.
—————–
Gerhana Matahari Total 2016
Dorong Daya Pikir Rasional
Gerhana matahari total 9 Maret 2016 akan jadi peristiwa alam langka. Peristiwa yang rata-rata terulang di satu titik di muka Bumi setiap 375 tahun sekali itu akan menjadi momentum besar bangsa Indonesia untuk mengasah pengetahuan dan daya pikir rasional.
Jajak pendapat Kompas tentang gerhana matahari total (GMT) 2016 mengungkap, sebagian besar responden tahu fenomena gerhana matahari. Anggapan utamanya, gerhana adalah fenomena alam saat sebagian permukaan Bumi akan gelap beberapa saat.
Pemahaman responden tentang gerhana umumnya sebatas menerangkan pengalaman mereka terkait gerhana, baik gerhana matahari atau bulan. .
Kekurangpahaman acap kali membuat sebagian masyarakat mudah memercayai mitos, seperti Batara Kala menelan Matahari. Selain mitos yang bersumber dari kepercayaan masyarakat, pemahaman tentang gerhana juga banyak dipengaruhi penalaran secara agama: gerhana dikaitkan peristiwa yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Gerhana kerap dimaknai datangnya keberkahan seiring terbitnya cahaya terang usai gerhana. Kuatnya pengaruh mitos dan agama yang membentuk cara berpikir masyarakat membuat pemahaman tentang gerhana hanya sebatas penanda alam, entah itu bencana atau berkah alam.
Namun, terlepas dari polemik peristiwa gerhana, publik responden mengakui peristiwa ini sangat langka. Untuk itu, jadi momen menarik dilihat.
Sosialisasi
Publik mengakui, penjelasan gerhana matahari selama ini relatif terbatas. Dua dari tiga responden mengaku, hingga sekarang belum ada sosialisasi memadai tentang GMT 2016 dari pemerintah.
Publik ingin adanya sosialisasi agar masyarakat tak hanya sekadar tahu peristiwanya, tetapi juga mengetahui penyebab secara ilmiah.
Minimnya sosialisasi memunculkan keresahan dari asumsi-asumsi masyarakat. Salah satu keresahan publik yang terekam dalam jajak pendapat Kompas adalah efek melihat gerhana bisa mengakibatkan kebutaan. Sebagian besar (60,1 persen) responden percaya melihat GMT secara langsung bisa merusak mata.
Di sisi lain, pemerintah belum menyebarkan informasi proses gerhana matahari dan cara-cara aman melihatnya. Padahal, akses terhadap media komunikasi dan teknologi informasi sudah menjangkau hampir semua wilayah.
Kepercayaan responden bahwa melihat GMT bisa berakibat kebutaan mencerminkan cara pikir tentang gerhana matahari 2016 masih sama dengan GMT 1983.
Bahkan, dua dari tiga responden akan patuh jika pemerintah melarang melihat GMT 2016.
Konsekuensi dari kepatuhan itu, 45,5 persen responden mengaku tidak akan berbuat apa-apa selain berkumpul dengan keluarga di rumah pada 9 Maret 2016. Adapun 3 dari 10 responden (29,6 persen) akan beribadah dan berdoa bersama di rumah ibadah.
Berpikir kritis
GMT merupakan fenomena alam biasa yang tak mengancam kehidupan umat manusia. Melihat matahari secara langsung, baik saat gerhana atau tidak, merupakan tindakan berbahaya bagi mata.
Namun, anggapan melihat matahari langsung saat GMT bisa mengakibatkan kebutaan merupakan pandangan keliru. Ancaman kebutaan bisa diakali dengan menggunakan kacamata khusus gerhana.
Selain cara pandang konservatif, 27,3 persen responden akan bersikap kritis jika pemerintah melarang masyarakat melihat GMT. Keberatan utama, pelarangan itu pembodohan publik.
GMT 2016 momen nyata bagi pemerintah menyampaikan gagasan ilmiah secara jernih dan mengesankan. Manfaatkan momentum itu untuk mengasah kemampuan bernalar masyarakat.
(LITBANG KOMPAS/SULTANI)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Dorong Daya Pikir Rasional”.