Gerhana Matahari Total 2016
Profesor Dr Iwan Pranoto, dosen Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Teknologi Bandung, pada Selasa (8/3/2016), berkicau di media sosial Twitter soal gerhana.
Begini kicauannya, “setelah tahu bahwa gerhana disebabkan fenomena geometri, ketakhayulan menjadi tak dibutuhkan”. Pernyataan Profesor Iwan Pranoto menjadi relevan karena di masa silam ada begitu banyak mitos terkait gerhana matahari.
Dalam budaya Jawa, para lelaki di desa akan sibuk membunyikan kentongan supaya matahari tidak lenyap disantap oleh Sang Batara Kala. Situasi di desa-desa di Jawa ketika itu dipastikan mencekam saat terjadinya gerhana matahari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jangankan di desa, ketika gerhana matahari terjadi di Pulau Jawa pada tanggal 11 Juni 1983, keluarga Presiden Soeharto, yang kala itu sangat berkuasa di republik ini, juga memilih berdiam di dalam rumah.
Menurut Siti Hediati Hariyadi atau Mbak Titiek Soeharto, dalam sebuah wawancara di Kompas.com, keluarga Presiden Soeharto mendapatkan informasi yang tidak tepat dari para pembantu Presiden. Dengan demikian, keluarga Soeharto dan warga Indonesia tidak menyambut gerhana matahari dengan semarak.
Handhika Ramadhan, pemilik akun @hramad, berkicau mengamini hadirnya mitos di masa lalu. “Nyokap (ibu) dulu cerita, ketika hamil tua gue, terjadi gerhana tahun 1983. Atas saran para sesepuh, (ibu) disuruh ngumpet di kolong meja,” kicau @hramad.
Kini, ilmu pengetahuan memang telah makin maju. Ilmuwan makin memahami fenomena gerhana matahari bahkan memprediksi lintasan dan waktunya dengan tepat.
Akan tetapi, budayawan Sujiwo Tejo dalam akun Twitter-nya, @sudjiwotedjo, membalas kicauan Profesor Iwan Pranoto dengan kata-kata, “tapi manusia perlu cerita, Prof”. Sujiwo Tejo menambahkan, “fenomena geometris Gerhana Matahari diterima tapi lakon Matahari dimakan Batara Kala tetap diperlukan sebagai bumbu @iwanpranoto”.
Meski ilmu pengetahuan sudah memberikan penjelasan tentang fenomena gerhana matahari, pernyataan @sudjiwotedjo bahwa manusia butuh cerita justru tergenapi oleh langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui PT Pos Indonesia yang meluncurkan seri prangko terbaru.
Diluncurkan pada Sabtu (27/2/2016) di Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, desain prangko tersebut justru menggambarkan Batara Kala yang tengah menelan matahari. Didominasi dengan perpaduan warga kuning dan hitam, desain prangko itu begitu menawan.
Hari ini, berapa banyak orang yang masih menggunakan prangko untuk mengirim surat? Namun, ternyata seri prangko edisi gerhana matahari total tetap ludes diserbu kolektor dan masyarakat karena manusia perlu dan butuh cerita.
Kolektor prangko kiranya butuh medium prangko untuk menceritakan kisah-kisah di masa lalu atau waktu-waktu bersejarah yang pernah dialaminya. Cerita-cerita itu kelak dapat disampaikan kepada anak cucunya atau kepada kolektor lain saat koleksi itu berpindah tangan. Manusia itu perlu cerita.
“Selfie” tiga menit
Kebutuhan manusia untuk bercerita, dan tentu saja mengekspresikan diri, terasa makin nyata saat mengetahui durasi gerhana matahari total di Indonesia pada Rabu besok hanya berkisar 1,5-3 menit.
Perkiraan waktu itu disampaikan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, sebagaimana dikutip dari harian Kompas, Jumat (15/1/2016).
Kata Thomas, di pusat jalur gerhana, gerhana total terpendek terjadi di Seai, Pulau Pagai Selatan, Sumatera Barat, selama 1 menit 54 detik, dan terpanjang di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, selama 3 menit 17 detik.
Namun, singkatnya durasi waktu gerhana matahari total tampaknya tidak menyurutkan niat ribuan orang penduduk negeri ini bahkan dari negeri “di seberang lautan” untuk terbang ke kawasan-kawasan pusat lintasan gerhana matahari total.
Aktivitas apa yang dilakukan? Supaya menjadi bagian dari “kekinian” tentu saja sebagian warga “pemburu” gerhana matahari berniat untuk mengambil foto diri sendiri alias selfie dengan latar belakang langit yang diimbuhi gerhana matahari. Di internet pun kini ada ratusan artikel yang memberikan petunjuk cara “selfie”dengan aman.
Akun @ArmSalim pun belum-belum sudah berkata, “berapa banyakkah selfie yang dihasilkan pada saat gerhana matahari besok?” Entah, dengan hadirnya telepon-telepon canggih, sulit diprediksi berapa banyak foto selfie akan diproduksi pada Rabu mendatang.
Bahkan, Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto, dikutip dari Kompas.com, Selasa (8/3/2016), justru mengajak warga Kota Makassar untuk “selfie” bersama menunjuk gerhana matahari total.
Menurut Wali Kota Makassar, tidak kurang dari 50.000 penduduk Makassar akan selfie bersama menunjuk gerhana matahari. Ternyata benar kata Sujiwo Tejo, manusia tetap perlu cerita. Setidaknya, cerita bahwa dia tetap eksis di tengah fenomena gerhana matahari total.
HARYO DAMARDONO
Sumber: Kompas Siang | 8 Maret 2016