Astronom amatir dan profesional di seluruh Indonesia mulai bersiap menyambut gerhana bulan total 28 Juli 2018. Gerhana bulan kedua tahun 2018 ini juga menjadi kesempatan lain untuk masyarakat atau astronom yang tidak bisa menyaksikan gerhana bulan 31 Januari lalu karena langit yang mendung.
Gerhana bulan total 28 Juli terjadi di puncak musim kemarau sehingga peluang untuk bisa menyaksikannya lebih besar dibanding gerhana bulan total 31 Januari lalu yang terjadi di puncak musim hujan. Namun, jika gerhana yang lalu terjadi pada awal malam hingga jelang tengah malam, gerhana kali ini terjadi selepas tengah malam hingga ketika Matahari terbit.
”Meski terjadi dini hari hingga pagi, minat masyarakat untuk mengamati diprediksi tetap tinggi,” kata Koordinator Kegiatan Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) Muhammad Rayhan di Jakarta, Minggu (22/7/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk gerhana bulan total 28 Juli, HAAJ akan mengadakan pengamatan untuk publik di Plaza Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Pengamatan akan mulai dilakukan mulai Jumat (27/7/2018) pukul 23.00 WIB hingga Sabtu (28/7/2018) pukul 06.00 WIB.
HAAJ bersama Planetarium dan Observatorium Jakarta berencana menggunakan 15 teleskop yang sebagian besar dipersiapkan untuk bisa digunakan masyarakat umum. Untuk setiap teleskop, HAAJ serta Planetarium dan Observatorium Jakarta beserta Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki telah menyediakan pemandu yang akan membantu pengunjung melihat gerhana bulan dan menjawab pertanyaan masyarakat.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Ratusan warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (31/1/2018) malam, untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan dalam satu waktu bersamaan. Antusiasme mereka diwadahi pula oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta yang memasang 11 teleskop refraktor dan reflektor yang masing-masing berukur 900 mm agar warga bisa lebih jelas menyaksikan fenomena yang hanya terjadi 152 tahun sekali itu.
Sebanyak tiga teleskop difokuskan untuk pemotretan gerhana dan satu teleskop akan disambungkan dengan kamera video untuk disiarkan langsung melalui layar lebar hingga bisa disaksikan masyarakat yang antre mengamati gerhana melalui teleskop. Satu teleskop lagi akan dimanfaatkan untuk mengambil spektrum gerhana bulan sebelum, saat, dan sesudah gerhana bulan berlangsung.
Jumlah masyarakat yang datang untuk mengamati gerhana bulan bersama HAAJ kali ini diprediksi sama seperti gerhana bulan 31 Januari lalu, yaitu 4.500-5.000 orang. Meski terjadi selepas dini hari sampai pagi, esok hari adalah hari libur sehingga minat masyarakat mengamati gerhana bulan diyakini tetap tinggi.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA–Warga coba melihat gerhana bulan total menggunakan teleskop bintang di atap Gedung Sasana Budaya Ganesha, Kota Bandung, Rabu (31/1/2018). Saat itu, gerhana bulan tidak terlihat karena tertutup awan cuaca mendung.
Gerhana bulan 28 Juli adalah kondisi yang berkebalikan terhadap gerhana bulan 31 Januari. Jika gerhana lalu disebut super blue blood moon atau bulan super darah biru karena Bulan sedang di titik terdekatnya dari Bumi (perigee), gerhana kali ini dinamai mini red blood moon atau bulan mini merah darah karena Bulan sedang di titik terjauhnya dari Bumi (apogee).
Gerhana 28 Juli juga akan menjadi yang terlama di abad ke-21. Gerhana terlama berikutnya pada abad ke-22 akan terjadi 9 Juni 2123.
Di samping itu, selain gerhana bulan total, pada saat bersamaan juga terjadi oposisi Mars (kesegarisan Matahari, Bumi, dan Mars) dan empat hari jelang Mars berada di titik terdekatnya dari Bumi. Pada saat puncak gerhana, Mars akan terlihat merah cerah di dekat Bulan yang juga memerah.
STELLARIUM–Ilustrasi posisi Mars saat puncak gerhana bulan total 28 Juli 2018.
Selain itu, 28 Juli adalah puncak hujan meteor Delta Aquariid. Meski meteor sulit diamati di perkotaan akibat polusi cahaya yang kuat, hujan meteor berpeluang terlihat saat Bulan sedang mengalami gerhana total.
Pengamatan gerhana bulan untuk publik juga akan dilakukan staf dan mahasiswa Program Studi Sains Atmosfer dan Keplanetan Institut Teknologi Sumatera (Itera), Lampung, bersama Komunitas Astronomi Lampung (Kala). Lokasi pengamatan berada di Kampus Itera Way Hui, Lampung Selatan. Lokasi kampus yang relatif jauh dari pusat kota membuat langit malam di daerah tersebut masih relatif bagus untuk observasi umum.
Di Jawa Timur, Surabaya Astronomi Club (SAC) bersama sejumlah kelompok astronom amatir akan mengadakan Lunar Eclipse Camp di Balai Pengamatan Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Watukosek, Pasuruan, pada 27-28 Juli.
”Sekitar 300 peserta, baik dari astronom amatir maupun masyarakat umum, ditargetkan hadir untuk bersama-sama menyaksikan gerhana bulan total,” kata Sekretaris Jenderal SAC Muchammad Thoyib Achmad Salim.
Riset
Gerhana bulan total 28 Juli juga jadi kesempatan bagi astronom dan mahasiswa astronomi untuk melakukan sejumlah riset. Pada gerhana 31 Januari lalu, gerhana tidak bisa disaksikan di Observatorium Bosscha, Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembang, karena langit mendung.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY–Gerhana bulan super darah biru sebagaimana difoto pada Rabu (31/1/2018) pukul 22.29 WIB. Foto diambil dari Kantor Harian Kompas, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta.
Dosen Program Studi Astronomi ITB yang juga pembimbing Tim Instruktur Tim Pembina Olimpiade Astronomi (TPOA) Indonesia, Hakim L Malasan, mengatakan, riset utama yang umumnya dilakukan saat gerhana adalah mengecek waktu terjadinya fase-fase gerhana berdasar perhitungan dengan kondisi riil sesuai waktu lokalnya.
”Pengamatan waktu terjadinya fase-fase gerhana itu akan dilakukan secara berjaringan antara Observatorium Bosscha dan Itera Lampung,” katanya.
Di Observatorium Bosscha ITB, pengamatan Bulan direncanakan hanya untuk penelitian dan tidak dibuka untuk umum mengingat gerhana terjadi menjelang pagi.
Dengan mengetahui ketepatan waktu terjadinya fase-fase gerhana bulan, astronom bisa melakukan perbaikan sistem orbit Bumi, Bulan, dan Matahari. Meski periode ketiga benda itu sudah diketahui, perbaikan untuk meningkatkan akurasinya perlu terus dilakukan.
Dengan mengetahui ketepatan waktu terjadinya fase-fase gerhana bulan, astronom bisa melakukan perbaikan sistem orbit Bumi, Bulan, dan Matahari.
Selain itu, Tim Instruktur TPOA juga akan mengambil spektrum cahaya Bulan. Saat gerhana bulan total, Bulan yang seharusnya gelap karena tidak mendapat sinar Matahari nyatanya masih berwarna merah. Warna merah Bulan itu terjadi akibat pembiasan cahaya Matahari oleh atmosfer bagian atas Bumi.
”Dengan mengamati spektrum Bulan saat fase gerhana total dan saat tidak sedang gerhana, astronom bisa mengukur kualitas atmosfer bagian atas Bumi dan mempelajari evolusinya,” tambahnya.
Seiring dengan waktu, atmosfer bagian atas Bumi akan mengalami pengeruhan akibat dibombardir meteor setiap hari. Saat memasuki atmosfer Bumi, batuan meteoroid akan bergesekan dengan atmosfer dan terbakar. Hasil pembakaran itulah yang akan mengotori atmosfer bagian atas. Dengan mengetahui tingkat kekeruhan atmosfer, keselamatan satelit khususnya satelit orbit rendah bisa ditingkatkan.
Dengan mengetahui kualitas atmosfer, ilmuwan juga bisa mempelajari evolusi atmosfer Bumi. ”Ini untuk menjawab pertanyaan dasar tentang kondisi atmosfer Planet Mars, apakah atmosfer Mars dulunya seperti Bumi atau justru sebaliknya, kondisi atmosfer sekarang menuju kondisi seperti atmosfer Bumi,” katanya.
Riset lain yang akan dilakukan antara lain pengambilan citra fase-fase gerhana bulan dan mengukur skala Danjon atau skala kegelapan piringan Bulan selama fase gerhana bulan total berlangsung. Selain menguji teori, riset-riset itu juga dilakukan sebagai pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan astronom-astronom muda di Indonesia.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Ratusan warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (31/1/2018) malam, untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan dalam satu waktu bersamaan.
M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 23 Juli 2018