Belajar dari longsor Banjarnegara, Jawa Tengah, pemerintah mengubah kebijakan penanganan bencana ini dengan lebih menekankan pembangunan peringatan dini. Sejumlah kawasan rentan longsor dipasangi sistem peringatan dini. Namun, dalam jangka panjang, yang lebih dibutuhkan adalah penataan ruang.
Sepanjang tahun 2014, tanah longsor merupakan bencana paling mematikan di Indonesia ditinjau dari jumlah kejadian dan jumlah korban. ”Upaya mitigasi bencana longsor dapat dilakukan secara struktural dengan menata geometri lereng, perbaikan sistem drainase, perkuatan dan perlindungan lereng, serta relokasi masyarakat ke daerah lebih aman bila tingkat risikonya sangat tinggi,” papar Faisal Fathani, ahli longsor dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (30/12).
Mitigasi struktural butuh waktu dan mahal. Merelokasi warga biasanya ditentang warga. ”Upaya pengurangan risiko bencana yang efektif pada kondisi ini adalah mitigasi nonstruktural, yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan penerapan sistem peringatan dini,” kata Faisal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, UGM dan Badan Geologi ditugasi pemerintah memasang alat deteksi dini longsor. Desember 2014 sampai Januari 2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana akan mendukung pembangunan sistem peringatan dini bencana longsor di 20 wilayah rawan bencana di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Setiap sistem peringatan dini yang dipasang, kata Faisal, terdiri atas 2 unit ekstensometer, 1 unit tiltmeter, penakar hujan (1), repeater (1), sistem sirine/lampu peringatan (1), satu set server lokal dengan monitor, komputer, dan menara antena penerima. ”Seluruh sensor dan repeater dilengkapi sel surya, kotak panel dengan baterai kering dan kontrol dengan sistem telemetri menggunakan frekuensi radio yang dapat dipantau melalui internet dan tidak memerlukan biaya bulanan,” tuturnya.
Sejauh ini, UGM sudah memasang alat di Kecamatan Kalibening dan Kecamatan Punggelan, Kabupaten Banjarnegara. Selanjutnya akan dipasang di tiga kecamatan di Banjarnegara, Magelang (1), Pekalongan (1), Banyumas (1), Kulonprogo (1), dan Bandung Barat (1).
Tata ruang
Secara terpisah, Kepala Badan Geologi Surono mengatakan, lembaganya sudah memasang empat stasiun deteksi dini longsor, masing-masing terdiri atas sensor ekstensometer dan curah hujan, yaitu di Dusun Garungcangak, Desa Garunglor, dan di Dusun Palus, Desa Palus. Keduanya di Sukoharjo, Kabupaten Wonosobo. Alat juga dipasang di Dusun Ciraliwung, Kecamatan Padalarang, Bandung Barat, serta Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur.
Menurut Surono, sekalipun ada alat deteksi dini longsor, itu bukan solusi jangka panjang. ”Secara teori, yang rawan longsor itu zona, tetapi yang longsor titik atau zona sempit. Pilihan terbaik jika retak-retak di bukit, di bawah banyak hunian atau aktivitas penduduk, pindahkan penduduk daripada pasang alat,” katanya.
Untuk mitigasi bencana gerakan tanah, ujarnya, secara jangka panjang lebih baik menata ruang daripada peringatan dini longsor. ”Kecuali di kawasan tambang dan di zona dengan gerakan tanah lambat.”
Faisal mengatakan, alat deteksi longsor hanya bagian dari sistem peringatan dini. Lebih penting dan utama terbangun kesadaran, kesiapsiagaan, dan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. (AIK)
Sumber: Kompas, 31 Desember 2014