Peneliti Indonesia yang sedang studi di Jerman menemukan satu genus baru dan dua spesies baru di Pulau Sumatera. Temuan itu semakin menguatkan perlunya perlindungan hutan-hutan terakhir Sumatera dari ancaman deforestasi berupa kebakaran maupun pembalakan.
Temuan itu muncul dalam jurnal Zoosystematics and Evolution pada 9 Maret 2018 berjudul Molecular phylogenetic analysis of a taxonomically unstable ranid from Sumatra, Indonesia, reveals a new genus with gastromyzophorous tadpoles and two new species. Penelitinya Umilaela Arifin dan Djoko T Iskandar dari Indonesia serta empat peneliti lain dari Amphibian and Reptile Diversity Research Center Department of Biology University of Texas at Arlington, Amerika Serikat dan Naturhistorisches Museum der Burgergemeinde Bern,Swiss.
Umilaela menemukan genus baru Sumaterana, memindahkan Chalcorana crassiovis atau C kampeni ke dalam genus Sumaterana, serta menemukan spesies baru Sumaterana montana dan S dabulescens.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ISTIMEWA/UMILAELA ARIFIN–Katak genus baru bernama Sumaterana crassiovis ini sebelumnya bernama Chalcorana crassiovis atau C kampeni yang distribusi populasinya tersebar di seluruh Sumatera.
“Dengan bukti-bukti yang ada (genetika, morfologi, kisaran distribusi) kami membentuk genus baru untuk mengakomodir ketiga jenis ini, yang bernama Sumaterana,” kata Umilaela Arifin yang sedang mengerjakan desertasi di Centrum für Naturkunde – Zoologisches Museum, Universität Hamburg, Jerman, Minggu (11/3).
Dalam penelitian yang dilakukan sejak 2013-2016 di belantara Aceh hingga Lampung ini tim peneliti mengonfirmasi identitas jenis katak Chalcorana crassiovis atu C kampeni. Katak jenis ini sebelumnya tidak pernah jelas posisinya karena tidak ada studi molekulernya.
“Studi saya adalah studi molekuler yang pertama untuk jenis tersebut dan terbukti bahwa jenis tersebut lebih berkerabat dekat dengan genus Clinotarsus, Huia, dan Meristogenys, bukan dengan Chalcorana,” kata Umilaela.
Kecebong unik
Lebih lanjut, melalui DNA barcoding, ia juga membuktikan katak ini memiliki kecebong unik yaitu di bagian perutnya terspesialisasi menjadi seperti alat penghisap sebagai adaptasi pada kondisi habitat sungai berarus deras dimana dia tinggal. Tipe kecebong ini disebut gastromyzophorous, dan sangat jarang, hanya ada pada beberapa jenis kodok di Amerika dan katak di Asia.
ISTIMEWA/UMILAELA ARIFIN–Kecebong ini memiliki semacam alat penghisap di bagian perut. Fungsinya untuk melekatkan diri agar tak terbawa arus air.
Selain itu, hasil analisisnya juga menunjukkan terdapat dua jenis katak lain yang berkerabat dengan katak jenis ini. Berbekal bukti genetika, morfologi, dan kisaran distribusi dibentuklah genus baru Sumaterana.
Jadi ketiga jenis katak dalam genus Sumaterana ini adalah Sumaterana crassiovis (yang sebelumnya dikenal dengan nama Chalcorana crassiovis/C kaampeni) serta jenis baru Sumaterana montana dan Sumaterana dabulescens.
ISTIMEWA/UMILAELA ARIFIN–Katak Sumaterana montana ini ditemukan di dataran tinggi atau lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut di Sumatera.
Temuan genus baru ini sangat menggembirakan karena makin mengokohkan Indonesia sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia yang masih menyimpan berbagai jenis/genus baru. Namun di sisi sebaliknya, kata Umilaela, fakta deforestasi yang masih terus terjadi di Sumatera mengkhawatirkan keberadaan fauna-fauna baru yang belum terindentifikasi.
“Jumlah hutan di Indonesia makin berkurang dari waktu ke waktu. Artinya banyak habitat tempat tinggal dari spesies-spesies yang ada di Indonesia menjadi hilang karenanya. Akibatnya, sangat mungkin sekali banyak spesies di Indonesia yang sudah punah terlebih dahulu di alam sebelum ditemukan oleh para peneliti,” kata dia.
ISTIMEWA/UMILAELA ARIFIN–Katak Sumaterana dabulescens ini kini hanya ditemukan di Aceh.
Data terbaru yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan angka deforestasi di Sumatera mencapai 127.000 ha dan secara nasional 479.000 ha. Angka deforestasi dalam kawasan hutan pada tahun 2017 sebesar 64,3 persen berarti terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 73,6 persen.
“Saya kira cukup wajar kekhawatiran itu,” kata Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ditjennya mengelola 27,148 juta hektar kawasan konservasi yang dikelilingi 6.381 desa.
Wiratno mengatakan, pengalaman menunjukkan restorasi hutan secara alami berlangsung cepat bila area terlindungi. Ia mencontohkan restorasi di daerah Cinta Raja, Leuser Aceh. Selama tiga tahun area bekas kebun sawit ini dipulihkan, kondisinya sudah mencapai 50 persen dan dikunjungi berbagai jenis satwa liar.
Untuk mendukung hal ini, kata dia, ia memiliki strategi kemitraan konservasi bersama masyarakat sekitar hutan. “Masyarakat terlibat langsung dalam restorasi sehingga mempunyai rasa memiliki dan melindungi,” kata Wiratno.
Ia mengatakan, dari 1,6 juta ha usulan hutan adat di kawasan konservasi seluas 1,1 juta ha berada di taman nasional. Dari jumlah itu, lanjutnya 67 persen utan masih bagus.
” Ini menunjukkan masyarakat tergantung pada hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan dari hutan,” kata Wiratno.
Dari 1,6 juta ha ini sejumlah 22 persen sudah masuk dalam zona tradisional taman nasional. Dengan demikian, kawasan ini sudah siap memayungi hutan adat dengan zona tradisional.
Ini peralihan sebelum pemerintah daerah menetapkan perda terkait masyarakat dan wilayah adatnya sebagai syarat penetapan hutan adat.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Maret 2018