Indonesia belum sepenuhnya melewati gelombang pertama pandemi Covid-19. Pembukaan kembali aktivitas dan pelonggaran mobilitas lebih didasari motif ekonomi sehingga bisa mempercepat laju penyebaran penyakit itu.
Terus bertambahnya kasus positif harian Covid-19 di Indonesia menunjukkan kita belum melewati gelombang pertama pandemi penyakit yang disebabkan virus korona (coronavirus) tipe baru itu. Pembukaan kembali aktivitas dan pelonggaran mobilitas lebih didasari motif ekonomi, bukan epidemiologi, dan ini akan mempercepat laju penyebaran wabah.
”Masyarakat jangan salah memahami, narasi berdamai dengan korona sebenarnya bukan karena kita sudah aman, tetapi ini lebih karena dorongan ekonomi. Kapasitas rumah sakit juga masih penuh dan pasien harus antre, seperti di rumah sakit kami,” kata Corona Rintawan, dokter spesialis emergensi yang juga mantan Ketua Tim Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Kamis (11/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rintawan, yang sebelumnya menjadi staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk penanganan Covid-19 dan berhenti bertugas sejak akhir Mei 2020, mengatakan, ”Selama saya membantu BNPB, narasi normal baru ini tidak lahir di BNPB atau Gugus Tugas. Konsep ini baru diketahui tim ahli BNPB setelah pemerintah pusat melontarkan hal ini.”
Menurut Rintawan, kebijakan normal baru ini sangat berisiko karena data epidemiologi belum menunjukkan hal itu. Selain itu, hal ini juga tidak didasari kesiapan masyarakat memahami risikonya. ”Protokol kesehatan dan keselamatan memang dibuat, tetapi apakah masyarakat memahaminya? Ada yang sudah pakai masker, tetapi banyak yang tidak,” ujarnya.
Saat ini, euforia normal baru membuat masyarakat mengira situasi sudah normal. ”Setelah penerbangan dan angkutan dilonggarkan, mal dibuka, sekarang banyak yang menuntut masjid juga harus dibuka. Padahal, kita tahu, ribuan masjid belum bisa melaksanakan protokol keamanan. Ini berbahaya,” katanya.
Rintawan, yang menjadi Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, mengatakan, jumlah pasien terus bertambah. ”Kami memilki 200 bed (tempat tidur) dan 15 persennya khusus untuk Covid-19. Ini sekarang penuh. Masih ada dua pasien antre di UGD belum mendapat bed, terpaksa kami menolak pasien. Saya kira ini juga terjadi di rumah sakit lain di Jawa Timur,” tuturnya.
Berisiko tinggi
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede S Dharmawan mengatakan, dari tren penambahan kasus harian yang meningkat, Indonesia belum melalui gelombang pertama pandemi Covid-19. ”Bagaimana mau gelombang kedua, gelombang pertama saja belum tuntas. Gelombang kedua itu kalau kasus kita sudah turun, bahkan sampai nol kasus, lalu aktivitas dibuka dan terjadi lagi kasus baru. Itu yang disebut gelombang kedua,” ujarnya.
Laporan Gugus Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat, pada Kamis telah terjadi penambahan kasus 979 orang sehingga total kasus di Indonesia menjadi 35.295. Adapun jumlah orang yang meninggal bertambah 41 jiwa sehingga totalnya menjadi 2.000 orang.
Jumlah orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 43.414 orang, sedangkan pasien dalam pengawasan (PDP) mencapai 14.052 orang. Jumlah kasus ini berasal dari 424 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Angka kasus positif Covid-19 di Indonesia, menurut Ede, kemungkinan jauh lebih besar karena hingga kini jumlah tes masih amat kecil dan jangkauannya juga terbatas. ”Kalau pemeriksaannya diperbanyak, pasti kasus yang ditemukan bakal lebih banyak. Tes ini menjadi kunci, tetapi kita belum bisa maksimal walaupun sudah ada peningkatan,” katanya.
Kebijakan pemerintah dinilai belum didasari data dan indikator epidemiologi. Sebaran daerah aman dengan indikator kasus rendah juga tidak diikuti dengan data jumlah tes di daerah itu. ”Keliru jika yang didorong normal baru, seharusnya norma baru hidup sehat,” kata Ede.
Bahkan, Kamis (11/6/2020), angka jumlah orang yang dites tidak dilampirkan dalam laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sehingga sulit diketahui jangkauan tes. Direktur Pengembangan Strategi BNPB Agus Wibowo mengatakan, data itu tidak tersedia karena Kementerian Kesehatan tak membukanya.
Ahli epidemiologi yang juga pengajar University of South Australia itu mengatakan, keputusan membuka kembali akivitas di Indonesia di tengah wabah yang belum terkendali justru bakal membuat penanganannya berlarut-larut dan bisa merugikan ekonomi. Sebagai perbandingan, pembukaan kembali aktivitas di Australia dilakukan bertahap melalui pertimbangan epidemiologi yang ketat.
”Di South Australia ini mulai nol kasus harian sejak 12 April 2020. Namun, pembukaan tahap pertama baru mulai dilakukan pada 11 Mei 2020 dengan batasan orang berkumpul dalam ruangan 10 orang. Yang dibuka juga terbatas. Berikutnya setelah konsisten tidak ada kasus dilakukan pembukaan tahap kedua pada 5 Juni,” tuturnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 11 Juni 2020