Berada di Gedung Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, laksana memasuki lorong waktu perkembangan ilmu biologi molekuler. Selasar berlangit-langit dan dinding atas melengkung bak mengajak kembali ke era kolonial Batavia. Di kanan-kiri selasar tampak ruang-ruang laboratorium penyakit tropis kelas dunia.
Selasar itu adalah bagian dari bangunan depan Lembaga Eijkman, menghubungkan dunia luar dengan taman sekaligus area parkir di tengah kompleks. Gedung seluas sekitar 5.500 meter persegi ini mengelilingi ruang terbuka.
Pola lengkung mendominasi rancangan gedung, seperti tampak dari langit-langit selasar, daun-daun pintu, dan lubang angin. Pemandangan yang dipertahankan sejak 100 tahun lalu itu membuat Gedung Lembaga Eijkman mencolok jadi tontonan di antara gedung-gedung modern di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beruntung para tokoh yang menghidupkan kembali Eijkman-setelah “mati” tahun 1965-1992-punya pendirian, arsitektur gedung dipertahankan.
Prof Sangkot Marzuki, saat ini merupakan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pakar terkemuka bidang biologi molekul dan genetika manusia, memimpin pembenahan gedung dengan konsep restorasi, bukan pembongkaran. Salah satu yang berperan dalam pembenahan gedung adalah Prof Herawati Sudoyo yang kini Deputi Direktur Lembaga Eijkman.
Pada Rabu (24/5), Herawati mengajak berkeliling kompleks Lembaga Eijkman. Kami mengamati bagian bangunan orisinal ataupun yang sudah diganti baru. Namun, semuanya tidak meninggalkan keaslian rancangan.
Ia mencontohkan, marmer di lantai dasar bangunan sisi depan sudah tidak asli. Tim pun mencarikan marmer semirip mungkin, merujuk marmer di anak tangga gedung depan. “Semuanya dibangun kembali dengan kasih sayang,” ucap Herawati.
Seperti lumrahnya bangunan zaman kolonial, langit-langit gedung ini tinggi. Langit-langit di lantai satu 5,40 meter dari dasar, di lantai dua 4,50 meter. Jendela-jendela dan pintu-pintu masih asli, dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan lebar 1 meter lebih. Ubin di sejumlah laboratorium juga asli, 15 x 15 sentimeter dan tahan asam.
Pada dinding tangga di gedung bagian depan tersisa dua kaca patri asli berbentuk persegi. Ornamen pada kaca patri berupa ular lambang kedokteran serta struktur berpilin. Menariknya, menurut Herawati, struktur berpilin itu mirip rantai heliks ganda asam deoksiribonukleat (DNA). Padahal, DNA baru ditemukan pada 1950-an.
Jika tidak cermat, kita tidak bakal menyadari ada bangunan-bangunan baru. Padahal, selama kurun 2006-2007, Lembaga Eijkman mendirikan empat bangunan, yaitu laboratorium dengan keselamatan hayati tingkat 3 (BSL 3), mushala, menara air, dan tempat istirahat pengemudi. Semuanya dibuat semirip mungkin dengan rancangan bangunan asli, antara lain pada pola lengkung, ornamen tiang, dan variasi lubang ventilasi.
Orde Baru
Restorasi gedung Lembaga Eijkman bermula dari kesadaran pemerintah Orde Baru pada awal 1990-an. Saat itu, disadari dibutuhkannya suatu lembaga penelitian biomedis yang mampu mendayagunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang biologi molekul sel. Bioteknologi kala itu jadi salah satu prioritas kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Presiden ketiga RI yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi, BJ Habibie, menyeleksi orang yang akan membidani pendirian lembaga biologi molekuler tersebut. Didapatkanlah nama Sangkot Marzuki. Pemerintah lalu berpikir di mana lembaga itu bakal didirikan.
“Sempat terpikir mendirikan di Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Banten), pusat dari segala teknologi” ujar Herawati. Namun, Sangkot dan tim menyodorkan gedung yang pernah ditempati Lembaga Eijkman.
Gedung ini saksi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dunia bidang kedokteran. Nama ilmuwan perintis yang menonjol adalah Christiaan Eijkman, peraih Nobel tahun 1929. Ia meraih anugerah bergengsi dunia itu karena risetnya di Batavia menunjukkan, penyakit beri-beri bukan akibat mikroba, melainkan kekurangan vitamin B1. “Jadi, beliau (Habibie) bilang oke,” kata Herawati.
Sangkot jadi direktur pertama Lembaga Eijkman setelah lembaga itu dihidupkan kembali.
Lembaga Eijkman berdiri pada 1888. Awalnya bernama Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie (laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi) dan berlokasi di rumah sakit militer yang sekarang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Eijkman adalah direktur pertama laboratorium itu.
Laboratorium itu berkembang pesat menjadi pusat penelitian terkemuka, termasuk setelah ditinggalkan Eijkman yang pulang kampung dan kemudian lembaga itu dipimpin para penerusnya. Namanya berubah menjadi Laboratorium Kedokteran dan pada 1916 pindah ke gedung baru di Salemba.
Von Essen
Gedung tersebut dibangun pada 1911 dan selesai tahun 1914 berdasarkan rancangan arsitek Hein von Essen. Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia Nadia Purwestri mengatakan, Von Essen kala itu bekerja di Departement van Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) sebagai arsitek bangunan negara.
Von Essen adalah bagian dari arsitek-arsitek profesional yang mendapatkan pendidikan arsitektur formal di Belanda. Mereka mulai berdatangan ke Hindia Belanda memasuki abad ke-20. Mereka membawa ide seni dan arsitektur baru dari Eropa, yang terlihat pada gedung Lembaga Eijkman.
Mengutip rekan Nadia, dosen Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, M Nanda Widyarta, gedung Lembaga Eijkman berlanggam Nieuwkunst, gaya arsitektur yang berkembang pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Nieuwkunst berkembang di Belanda bersamaan dengan langgam Art Noveau di Perancis dan Jugendstil di Jerman. Ketiganya merupakan eksperimen untuk mempertahankan kekhasan karya seni tanpa menafikan kondisi yang sudah terbentuk di Eropa Barat setelah dimulainya industrialisasi.
Von Essen juga merancang gedung School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Laboratorium dan gedung STOVIA yang dirancang Von Essen bersama bangunan rumah sakit membentuk sebuah kompleks kesehatan yang sangat luas di Weltevreden,” ujar Nadia.
Rumah sakit yang dimaksud adalah Centrale Burgerlijke Ziekenhuis yang berdiri tahun 1919 dan sekarang beroperasi dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat Dr Cipto Mangunkusumo. Adapun Weltevreden merujuk pada area di Jakarta Pusat yang antara lain mencakup Lapangan Banteng, Monas, Menteng, dan Cikini.
Berbagai penelitian berharga bagi ilmu pengetahuan sekaligus bagi dunia kesehatan terus dihasilkan, peneliti Laboratorium Kedokteran. SL Brug yang menjadi direktur lembaga itu kurun 1924-1932, misalnya, memberi sumbangan keilmuan lewat pengembangan pengontrolan spesies nyamuk guna memerangi malaria. Ia, pada 1927, menemukan Brugia malayi, cacing gilig yang juga salah satu penyebab filariasis limfatik (kaki gajah).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Menara yang merupakan bangunan tambahan di Gedung Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, Rabu (24/5). Arsitektur bangunan tambahan disesuaikan dengan gaya bangunan aslinya.
Contoh sumbangan lainnya, peneliti Eijkman, WK Mertens (tahun 1935 jadi direktur) dan AG van Veen, menemukan kaitan antara keracunan bongkrek di Banyumas, Jawa Tengah, dan mikroba Burkholderia cocovenenans. Tujuh tahun setelah wafatnya Eijkman, bertepatan dengan ulang tahun ke-50 Laboratorium Kedokteran Batavia, 15 Januari 1938, lembaga itu berganti nama menjadi Eijkman Instituut (Institut Eijkman).
Lembaga Eijkman masih bertahan saat Penjajahan Jepang tahun 1942-1945, tetapi mendapat pelemahan dari penjajah. Salah satunya, Jepang menghukum penggal orang Indonesia pertama yang jadi direktur Lembaga Eijkman, Achmad Mochtar, pada 3 Juli 1945 karena meyakini dia bertanggung jawab atas kematian 900 romusha dengan tanda-tanda tetanus setelah diberi vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) di Klender, Jakarta. Tuduhan yang tidak pernah terbukti.
Lembaga Eijkman terus terpukul seiring berlangsungnya Perang Kemerdekaan hingga akhirnya dengan memburuknya situasi politik dan ekonomi RI pasca merdeka, lembaga itu ditutup tahun 1965.
Tradisi riset modern
Setelah ditutup, gedung diambil alih Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk keperluan beberapa unit pelayanannya. Ketika Eijkman direstorasi dan dikembalikan ke fungsi awal, harus dilakukan bertahap sebab tiga gedung pengganti bagi RSCM juga harus tersedia terlebih dulu. Lembaga Eijkman akhirnya bisa memanfaatkan seluruh gedung seperti saat ini mulai awal tahun 2000.
Kini, arsitektur lawas Eijkman berpadu dengan peralatan laboratorium biologi molekuler nan canggih. Pemandangan para peneliti dengan jas labnya, yang berkutat dengan tabung mikro dan dikelilingi alat mutakhir untuk memperbanyak DNA serta merunut urutan basa di DNA, terasa pas-pas saja di dalam ruang-ruang beraksen kolonial.
Mempertahankan simbol sejarah perkembangan riset kedokteran bukan berarti membuat penelitian di Eijkman ketinggalan zaman. Keterlibatan dalam identifikasi pelaku bom bunuh diri dan terorisme serta diagnosis penyakit infeksi yang timbul kembali, semacam flu burung, membuktikan para peneliti Eijkman kompetitif dengan peneliti di negara lain. Melestarikan gedung Lembaga Eijkman sebagai simbol sejarah ilmu pengetahuan adalah untuk menghidupkan kembali tradisi riset yang dibangun sang peraih Nobel tersebut.
Hari itu, seusai puas menyusuri lorong waktu, kami kembali ke hiruk-pikuk Jalan Diponegoro. Polusi, debu, dan kemacetan jalan bak menenggelamkan nama Eijkman. (WINDORO ADI)–J GALUH BIMANTARA
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Mei 2017, di halaman 26 dengan judul “Lorong Waktu Biologi Molekuler”.