Gemuruh tepukan tangan dari 150 hadirin seketika menggema saat tujuh nama penerima penghargaan BJ Habibie Technology Award ke-9 tahun 2016 dipanggil. Mereka adalah tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yakni Imam Paryanto, Bambang Srijanto, Eriawan Rismana, Tarwadi, Purwa Tri Cahyana, Arie Fachruddin, dan Wahono Sumaryono.
Tujuh peneliti tersebut berhasil menciptakan inovasi teknologi pembuatan garam farmasi yang selama ini sangat sulit dibuat di dalam negeri. Imbasnya, garam yang menjadi bahan baku utama obat ini harus diimpor dari luar negeri dengan harga yang mencapai Rp 50 ribu per kilogram.
“Teknologi yang mereka rancang tidak sebatas jurnal, tapi sangat bermanfaat bagi masyarakat,” kata Kepala BPPT Unggul Priyanto dalam serah-terima penghargaan yang digelar di kediaman Presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghargaan ini digelar BPPT dengan maksud memberikan penghargaan tertinggi secara berkelanjutan kepada seluruh pelaku teknologi yang berprestasi dalam inovasi teknologi. Nama penghargaan ini di ambil dari pemimpin pertama sekaligus pendiri BPPT, yaitu B.J. Habibie.Tahun lalu, penghargaan ini jatuh kepada Warsito Purwo Taruno, inovator teknologi electrical capacitance volume tomography (ECVT) atau sistem pemindai berbasis medan listrik sta tis, yang sudah banyak dipakai di dunia medis in ternasional.
Garam farmasi sangat berguna untuk bahan baku dasar obat-obatan, seperti cairan infus, tablet, pelarut vaksin, dan cairan pencuci darah. “Garam farmasi atau juga disebut garam proanalisis memiliki kandungan natrium klorida (NaCl) yang cukup tinggi, sekitar 99,5 persen,” kata Imam, anggota tim. Sedangkan kadar NaCl garam konsumsi sekitar 94 persen.
Namun yang sulit, kata Tarwadi, anggota tim, ialah mengekstraksi garam biasa menjadi garam farmasi. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan beberapa cara, tergantung kadar NaCL-nya. Beberapa cara sederhana pembuatan garam ialah menguapkan air laut dengan bantuan sinar matahari (solar evaporation) dan mendidihkan air yang mengandung garam.
Setelah itu, garam dikristalisasi untuk memperoleh kualitas garam yang lebih baik dengan kandungan NaCl tinggi. Proses ini bisa dengan cara kristalisasi bertingkat maupun dengan pengikat-pengotor dengan menambahkan bahan kimia lain.
Dalam hal ini, tim ini berhasil menciptakan teknologi sekaligus patennya. “Inovasi ini diharapkan dapat menciptakan kemandirian industri farmasi nasional agar tidak terus bergantung pada produk impor.”
Riset garam farmasi mereka lakukan sepanjang 1991-1999. Setelah berhasil diuji dalam skala laboratorium dan industri Imam, Tarwadi dan tim mengajukan paten setahun setelahnya. Namun lisensi paten baru turun 10 tahun kemudian pada 2010.
Beruntung, pada 2013, PT Kimia Farma (Persero) Tbk, salah satu perusahaan farmasi negara, berminat memproduksi dalam skala 2.000 ton. Harga garam farmasi impor, Imam menjelaskan, bisa mencapai Rp 50 ribu per kilogram. Kebutuhan nasional atas bahan baku garam farmasi mencapai 100 persen atau sekitar 6.000 ton.
“Artinya, dapat mengurangi ketergantungan impor sebesar 30 persen dan otomatis harga garam farmasi bisa ditekan jauh lebih rendah ketimbang harga impor,” ujar Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Mohamad Nasir, di tempat yang sama.
Selain mengurangi ketergantungan pada impor, menurut Nasir, keberadaan garam farmasi mendorong upaya kemandirian bahan baku nasional. “Memberdayakan teknologi dan peralatan dalam negeri,” tuturnya.
Amri Mahbub (amri.fathon@tempo.co.id)
Sumber: KORAN TEMPO, SENIN, 22 AGUSTUS 2016