Rencana pemerintah membuka lahan gambut untuk penyediaan pangan sebagai antisipasi dampak Covid-19 agar hati-hati. Sebelumnya royek pembukaan lahan gambut untuk pertanian justru memicu kebakaran hutan dan lahan,
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Syairoji (kiri), praktisi pertanian, mengajari Kelompok Tani Maju Bersama di Dusun Sangar, Pelalawan, untuk bertanam di lahan gambut dengan pola tanpa bakar.
Rencana pemerintah membuka lahan gambut untuk penyediaan pangan sebagai antisipasi dampak Covid-19 agar dipertimbangkan dengan bijak. Ini agar tak mengulang program serupa yang pernah dilakukan di lahan gambut yang malah menjadikan ekosistem rawa gambut menjadi rusak, kering, dan rentan terbakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu proyek awal pembukaan lahan gambut bagi pertanian terjadi di tahun 1995, yaitu pembangunan satu juta ha sawah di Kalimantan Tengah. Proyek tersebut terbukti gagal dan hingga kini terus menjadi beban lingkungan dan kesehatan karena menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap pekat.
Seperti diberitakan Kompas.com, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, Presiden Joko Widodo memerintahkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuka lahan persawahan baru demi mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat pandemi virus corona Covid-19. “Lahan basah dan lahan gambut di Kalimantan Tengah lebih dari 900.000 hektar. Sudah siap 300.000 hektar,” kata Airlangga.
“Kami meminta agar pemerintah tidak lagi mengulang kesalahan masa lalu, dan berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi,” kata Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Kamis (29/4/2020).
Masa lalu yang dimaksudnya tersebut yaitu proyek lahan gambut sejuta ha yang dimulai pada tahun 1995. Proyek tersebut akhirnya dihentikan karena kegagalan dalam pemanfaatan sebagai lahan pangan.
Dampak dari pengeringan lahan gambut tersebut membuat lahan setempat rentan mengalami kebakaran. Dampaknya terjadi tragedi asap tahunan di wilayah tersebut sejak tahun 1997. Selain itu, banjir melanda wilayah tersebut saat musim hujan.
Menanggapi kekhawatiran ini, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, mengatakan lahan gambut yang dimanfaatkan itu merupakan lahan gambut yang terlantar dan pernah terbakar serta memiliki fungsi budidaya, bukan gambut yang memiliki fungsi lindung. Dari pengalaman BRG yang dibentuk sejak awal tahun 2016, areal gambut yang diusahakan budidaya oleh masyarakat tidak mengalami kebakaran.
“Banyak buktinya di Kalimantan, saat masuk bersama kelompok tani, kalau sudah ditanami ratusan hektar itu tidak terbakar,” katanya.
Nazir mengatakan lahan gambut yang bisa dimanfaatkan itu bisa berada dalam kawasan hutan maupun areal penggunaan lain. Yang pasti area tersebut berada di luar fungsi lindung seperti kubah gambut maupun kawasan konservasi.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Pertanian Hidroponik di rawa gambut yang dilakukan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Senin (30/1). Dengan sistem itu, masyarakat Desa Kelanis, Barito Selatan, menanam sayur dan bisa menikmatinya. Selama ini mereka hanya membeli sayur di pasa yang hanya buka setiap hari Senin.
Areal tersebut juga berada di luar wilayah yang dilindungi dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPIB). “Sudah ada Peraturan Pemerintah (PP Nomor 57 Tahun 2016) dan berbagai macam Permenlhk (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) serta Instruksi Presiden tentang moratorium, termasuk PIPPIB. Itu hukuman pidana kalau melanggar,” ungkapnya.
Dari rambu-rambu ini, pemetaan BRG menemukan jutaan area gambut berfungsi budidaya yang bisa dimanfaatkan. Hanya saja, pada areal kerja BRG seluas total 2,6 juta hektar (ha), terdapat sejuta ha yang masuk dalam area berfungsi budidaya.
Khusus di Kalimantan Tengah, BRG telah menyodorkan area seluas 100.000 ha (bekas proyek pembukaan lahan gambut satu juta ha) yang berpotensi sebagai sawah. Namun, pengalaman BRG merestorasi wilayah setempat dengan percontohan penanaman padi di gambut tanpa bakar, belum berhasil menemukan nilai keekonomiannya.
Menurut Nazir, lahan pangan yang dimaksud bukan mencetak sawah yang bertujuan menghasilkan padi atau beras. Nazir menyebut berbagai tanaman hortikultura, peternakan, dan perikanan serta sagu terbukti bisa dilakukan di lahan gambut. Tanaman hortikultura itu meliputi antara lain nanas, lidah buaya, dan tomat. Untuk peternakan yaitu bebek dan kerbau rawa serta perikanan berbagai jenis ikan gambut seperti patin.
Pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber pangan ini seiring dengan strategi restorasi yaitu dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, nantinya BRG mengusulkan agar pemanfaatan lahan gambut untuk pangan ini bisa dikerjakan oleh petani langsung maupun kelompok petani serta kerjasama masyarakat dengan perusahaan.
Hingga kini, kata dia, pemerintah masih intensif mempersiapkan lahan-lahan tersebut. Pihak BRG bersama kementerian/lembaga terkait akan menyiapkan analisis keekonomian dan potensi komoditas sehingga bisa disesuaikan luasan yang diperlukan.
“Kalau nilai keekonomian sudah diketahui beserta kebutuhan luasnya, baru bisa dicari detail lokasinya,” kata dia. Lokasi tersebut secara hidrologi harus memiliki sumber air yaitu kubah gambut agar tercukupi kebutuhan airnya.
Agar rencana lahan pangan baru ini bisa dijalankan saat menjelang kemarau seperti sekarang, pemerintah menjalankan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membasahi gambut. Selain mencegah kebakaran, pembasahan lahan tersebut juga memastikan lahan tetap bisa ditanami.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN—Praktik membuka lahan tanpa bakar dan pemanfaatan teknologi berkelanjutan atau disebut pertanian organik kian menguat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, seiring dukungan pemerintah kabupaten setempat.Tampak petani membersihkan sisa tanaman sawit yang telah dicabut untuk diganti penanamannya dengan padi kembali.
Antisipasi kebakaran lahan
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Handoko Seto memaparkan, hujan buatan akan dilakukan mulai tanggal 8 Mei 2020 di Riau dan sekitarnya untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Areal ini meliputi Riau dan sebagian Jambi.
Operasionalnya akan menggunakan pesawat Casa 212-200 milik TNI. “Perkiraan kami, (TMC) akan dilakukan sampai menjelang lebaran,” kata dia. Hujan buatan ini bertujuan membasahi lahan dengan perkiraan penaburan garam dilakukan sebanyak 15-20 sorti tergantung kondisi dan ketersediaan bibit awan.
Ia mengatakan TMC pencegahan karhutla ini sebelumnya dilakukan pada 11 Maret – 4 April. Hasil evaluasi sementara, hujan buatan saat itu telah cukup membasahi lahan. Namun laporan kemudian seiring daerah Riau telah memasuki musim kemarau, terjadi penurunan muka air tanah. Apabila kondisi ini dibiarkan terlalu lama tanpa pembasahan lagi hingga puncak kemarau, lahan gambut kian riskan terbakar.
Tri Handoko mengatakan setelah Riau, perencanaan sementara ini akan menyusul daerah Sumatera Selatan. “Mungkin minggu depannya lagi setelah Riau, menyesuaikan kebutuhan dan kondisi,” kata dia.
Ia menambahkan operasional TMC tahun ini bertambah berat karena bersamaan dengan pandemi Covid-19. Pengiriman personal ke lokasi pun menggantungkan diri pada pesawat TNI karena tak beroperasinya pesawat sipil komersial. “Di sana tetap protokol kesehatan Covid-19 harus dipatuhi,” kata dia.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 30 April 2020