Restorasi Libatkan Komisi Pemberantasan Korupsi
Badan Restorasi Gambut memetakan 4,4 juta hektar rawa gambut dalam kondisi utuh, tetapi masih bermasalah dalam perizinan. Apabila tak dimoratorium, lahan itu rawan dibongkar karena pemegang konsesi berhak menjadikannya sebagai lahan budidaya.
Hutan gambut itu diusulkan segera dilindungi melalui skema moratorium. Langkah tersebut akan memperluas cakupan penundaan pemberian izin baru di hutan primer dan gambut yang telah berjalan sejak 2011.
“Presiden sudah mencanangkan gambut berizin, tapi belum dibuka, harus dimoratorium,” kata Deputi Bidang Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi S Wardhana, Jumat (17/6), di Jakarta, seusai menerima Direktur APP Suhendra Wiriadinata yang menyerahkan data kedalaman gambut dan dokumen Forest Conservation Policy dari 26 perusahaan grup dan rekanan APP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Senin lalu, APP juga menyerahkan data lain, seperti hasil pemetaan LiDAR (light detection and ranging), batas konsesi, dan peta kanal/saluran drainase.
Budi mengatakan, pihaknya telah mengusulkan revisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Setelah direvisi, seluruh gambut-yang telah diberi izin atau belum-harus dilindungi.
Dari total 4,4 juta ha rawa gambut yang masih baik, 2,7 juta hektar belum teridentifikasi. Maksudnya, sebagian area bersinggungan dengan masyarakat, sebagian belum berizin, atau sudah dibuka bersamaan dengan proses izin.
Budi mengatakan, peta-peta itu bersifat indikatif yang harus diverifikasi dan disandingkan dengan data konsesi perusahaan. Sumber data di antaranya dari program Koordinasi dan Supervisi Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK). Tahun ini, Korsup KPK menggarap isu perkebunan.
Selain dari Korsup KPK, BRG juga memanfaatkan peta Wetland Internasional, peta Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, peta Hidrologis Kementerian Pekerjaan Umum, peta kebakaran hutan dan lahan, serta peta Kawasan Hidrologis Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Data ini akan kami verifikasi bersama data perusahaan. Lalu, ditetapkan lahan konsesi yang harus direstorasi, restorasi untuk apa, seperti apa?” katanya.
Prioritas
Di sisi lain, kata Budi, BRG telah memiliki kriteria prioritas penanganan. Salah satunya, lahan yang tiga kali atau lebih terbakar wajib direstorasi.
Prioritas lain, lahan itu berada di kubah gambut dan kedalaman lebih dari 3 meter ataupun keberadaan kanal yang masif. “Bersama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, dan IPOP (Indonesia Palm Oil Pledge), kami meminta pemegang konsesi untuk verifikasi petanya, lalu dijadwalkan pemantauan dan evaluasi,” katanya.
Direktur APP Suhendra menyatakan mendukung penuh program-program pemerintah melalui BRG dalam kegiatan restorasi gambut. “Harapan kami, kerja sama ini lancar demi kebaikan dan kelestarian hutan kita. Kami siap diskusi dan memberikan data lain yang dibutuhkan,” ujarnya.
Terkait luasan gambut menurut ketebalan ataupun kubah gambut dalam peta LiDAR APP, ia enggan menyebutkan. “Akan ada proses verifikasi bersama. Semoga (wartawan) bisa bersabar,” katanya. Menurut BRG, dari luas konsesi APP 1,9 juta hektar, sekitar 1,3 juta ha di antaranya berada di lahan gambut.
Terkait prioritas 2016, kata Budi, BRG tetap merestorasi 600.000 ha di Kabupaten Pulang Pisau, Kepulauan Meranti, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. Di Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, BRG sedang menyelesaikan peta kerja 1:10.000.
Di Kepulauan Meranti dan Pulang Pisau telah dikerjakan pekerjaan fisik sekat kanal dan program lain. Itu karena BRG telah mengantongi peta dan data gambut di daerah ini. (ICH)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Gambut Berizin Rawan Dibongkar”.