SAYA tergerak menulis artikel ini karena hanya dalam waktu sebulan (33 hari) Kompas telah menurunkan empat artikel tentang gangguan gajah yang telah menimbulkan derita nestapa rakyat petani yang hidup di dua propinsi Sumatera.
Sebenarnya yang kita hadapi bukan sekadar masalah gajah, lebih dari itu adalah masalah ekologi yang merupakan ilmu dasar ilmu lingkungan. Kalau masalah ekologi ini kita lupakan, timbul masalah wabah hama dan penyakit. Gajah akan terus menyusahkan rakyat, kecuali bila pendekatan ekologi dan akhirnya pendekatan ilmu lingkungan diterapkan.
Tahun 1990 dilaporkan hasil pengamatan Charles Santiapillai dan Peter Jackson, yang disponsori delapan organisasi lingkungan dunia antara lain UNEP dan WWF, di Sumatra ada 26 lokasi yang potensial tempat terjadinya konflik antara gajah dan petani. Di dalam laporannya itu digambarkan penyebaran hampir 5.000 ekor gajah Sumatera di 44 kawasan atau wilayah di mana sebagian telah dibuka menjadi lahan transmigrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang belum diuraikan dalam laporan itu adalah pengetahuan ekologi gajah yang dapat kita gunakan untuk menghindari konflik tadi. Tulisan berikut memberikan sumbangan pikiran dalam upaya mengatasi masalah gangguan gajah saat ini.
Jalur migrasi
Di dalam ekologl dipelajari hewan-hewan tertentu di dalam proses hidup dan melangsungkan kehidupannya harus melaksanakan migrasi, yaitu gerakan berpindah tempat hewan dari satu tempat ke tempat lain oleh karena dorongan fisiologis umumnya, siklus reproduksi, mencari makan dan atau karena perubahan iklim.
Hewan menyusui (mamalia) seperti kijang, harimau dan gajah misalnya bermigrasi melalui jalan atau jalur yang berbeda ketika pergi dan pulang ke tempat asal. Jalur itu dapat membentuk segitiga, segiempat, lingkaran bundar atau jalur melingkar yang lonjong.
Apapun juga bentuk jalur migrasi, apakah itu garis lurus atau melingkar untuk setiap jenis hewan, jalan atau jalur migrasi itu tetap, tidak berubah. Rusa atau kijang adalah contoh mamalia yang sangat ketat dalam menempati jalur migrasinya walaupun jalur itu terpotong oleh jalan raya yang dibuat manusia.
Seperti di Amerika Serikat, ratusan ekor kawanan kijang yang bermigrasi tidak peduli jalan raya atau jalan kereta api, mereka akan menyeberangi jalan itu, sehingga kita harus mengalah bila tidak ingin terjadi konflik yang merugikan kedua belah pihak.
Gajah jalur migrasinya cenderung membentuk jalan lingkar yang lonjong. Jalur migrasi itu tidak merupakan jalur satu arah. Mereka akan kembali ke home territory-nya melalui jaIan lain. Jadi jalur migrasi itu melingkar.
.
Diperkirakan gajah Sumatera telah menetapkan pilihan jalur migrasi itu sejak satu juta tahun yang lalu. Jadi gajah telah merasa memiliki hutan Sumatera selama sejuta tahun. Menurut buku-buku sejarah, hampir semua dataran rendah Sumatera, artinya sampai ke daerah pesisir atau pantai, terdapat kawanan gajah. Lama-lama, setelah manusia menempati Sumatera, gajah masa dulu itu menyingkir ke pedalaman.
Sepanjang jalur migrasinya gajah makan daun-daunan dan buah-buahan. Sasuai dengan usianya seekor gajah memerlukan makanan dedaunan hijau sekitar 5 persen berat badannya atau antara 50 sampai 300 kg dedaunan setiap hari.
Untuk mendapatkan makanan sebanyak itu, jalur migrasi yang dilaluinya tidak hanya selebar tubuhnya. Karena mereka hidup berkelompok, diperkirakan lebar jalur itu sekitar 100-150 m. Untuk memperoleh 300 kg di perkirakan mereka harus berjalan sejauh 20-30 km setiap harinya. Ini berarti setiap ekor gajah di dalam berjalan mencari makan menempuh wilayah lebih kurang 300 hektar.
Bila di Sumatera masih ada 5.000 ekor gajah, maka perlu disediakan 1.500.000 hektar hutan, yang luasnya tidak lebih dari 5 persen luas hutan Sumatera. Tentu saja hutan yang disediakan adalah jalur migrasi dan wilayah jelajah serta wilayah yang dipertahankannya selama ini.
Tempat makan itu mereka pertahankan secara agresif dari gangguan siapapun, hewan lain, atau manusia. Wilayah tempat tinggal yang dipertahankan itu tidak dapat diganti begitu saja, walaupun kadangkala satu wilayah dapat dipakai oleh lebih dari satu jenis hewan, karena jenis makanan mereka berbeda yang tumbuh di dalam satu wilayah.
Wilayah yang dipertahankan itu, bila suatu saat ternyata ditempati hewan lain atau manusia, tetap dikunjungi mereka. Mereka tentu saja akan marah jika wilayahny telah dimasuki orang lain. Pada saat itu sifat agresifnya muncul.
Memindah Jalur
Gajah tidak mudah merubah jalur migrasiya. Teori ini sesuai dengan kenyataan di Sumatera, selama 12 tahun sejak tahun 1982 sampai sekarang, tempat-tempat tertentu yang sudah dihuni manusia, yang semula adalah jalur migrasi gajah tetap saja di dikunjungi mereka.
Kiat mengatasi gangguan gajah atau menghindari sebelum gangguan itu terjadi, barangkali dapat dipakai pengalaman Kanada dengan masalah kijangnya.
Pembangunan jalan raya lintas Kanada (Trans-Canada Highway) melalui hutan raya Banff harus memotong jalur migrasi kijang. Jalur migrasi itu tidak diganggu, hanya sedemikian rupa jalur migrasi itu dilewatkan di bawah jalan raya yang dibangun.
Rupanya jalur yang tiba-tiba merendah atau menurun itu tidak disukai kijang dan mamalia lainnya sehingga mereka tidak memakai jalur itu lagi, walaupun jalur yang berupa terowongan di bawah jalan raya lintas Kanada itu lebarnya lebih dari 100 m.
Belajar dari pengalaman Kanada itu, untuk mengamankan desa trans atau pemukiman baru di bekas areal hutan Sumatera adalah dengan membangun mintakat pengaman berupa lahan yang direndahkan. Bagian desa atau ladang yang biasa dilalui atau didatangi gajah tidak perlu dikelilingi parit atau selokan, cukup direndahkan setinggi tubuh gajah itu, sedemikian rupa sehingga gajah tidak bisa atau tidak mampu mengangkat badannya mendaki memasuki kampung atau ladang.
Usaha lainnya untuk menghindari konflik dengan gajah sebelum itu terjadi, pembukaan hutan untuk pemukiman atau keperluan lain hendaklah tidak pada jalur migrasi dan atau wilayah jelajah gajah. Untuk itu diperlukan pengamatan atau pemantauan lokasi yang direncanakan dalam waktu yang cukup lama, sesuai lamanya migrasi berlangsung.
Waktu yang diperlukan melaksanakan migrasi mulai dari satu titik dan kembali ke titik semula perlu diketahui. Menurut teori, gajah sumatera melaksanakan migrasi antara 11-13 bulan. Dengan demikian, suatu wilayah hutan yang akan dimanfaatkan perlu dipantau selama sekitar setahun sebelum ditetapkan sebagai calon lokasi pemukiman atau keperluan lain.
Demikianlah beberapa kiat-kiat yang bila dilaksanakan biayanya tidak akan semahal pelaksanaan Operasi Ganesya 1983 atau operasi pengusiran gajah lainnya.* * *
Shalihuddin Djalal Tandiung, dosen Ekologi dan Ilmu Lingkungan Fakultas Biologi dan Program Pasca Sarjana serta Staf Peneliti Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM
Sumber: Kompas, 27 September 1994