Saat keran impor bahan pangan dari China ditutup seiring penyebaran wabah korona, Indonesia mulai mengalami krisis bawang. Ketahanan pangan kita rapuh. Kita perlu menggenjot produksi komoditas pertanian dalam negeri.
KOMPAS/LASTI KURNIA–Bawang putih dijual di Pasar Slipi Jaya, Jakarta, Senin (17/2/2020). Badan Pusat Statistik mencatat, impor bawang putih sepanjang Januari 2020 mencapai 1,8 juta dollar AS atau setara dengan 1.508 ton, jumlah ini turun 98 persen dari jumlah impor pada Desember 2019 sebanyak 106.894 ton atau senilai dengan 123,4 juta juta dollar AS.
Krisis bawang putih di Indonesia akibat tertutupnya impor dari China menyusul wabah virus korona menandai rapuhnya fondasi pangan kita. Fenomena serupa bisa terjadi dengan bahan pangan lain yang tergantung dari impor dengan kecenderungan terus meningkat. Indonesia harus mencari solusi pangan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikian terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) IPB University bersama Tani Center Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) di Bogor, Senin (17/2/2020). Diskusi ini menghadirkan para pihak, mulai dari kalangan pemerintah, petani, hingga pelaku usaha.
Rektor IPB University Arief Satria saat membuka diskusi mengatakan, publik patut mempertanyakan apakah impor pangan yang kian marak didasari kebutuhan riil atau kebutuhan politik. ”Impor tidak lepas dari garis hitam demokrasi karena sistem politik kita seperti ini. Banyak kasus dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terkait impor, seperti ikan salem, gula, daging sapi,” ujarnya.
Menurut Dekan FEM IPB University Nunung Nuryantono, sampai pertengahan tahun 2019, ekspor komoditas pangan Rp 177 miliar. Namun, impor pangan segar lebih besar lagi dan menimbulkan defisit yang luar biasa.
Ia juga menyebutkan, perdagangan internasional bagi produk pertanian sudah menjadi keniscayaan. ”Pertanyaannya, apakah semua pihak yang terlibat bisa mendapatkan keuntungan? Harapan kami, dengan digelarnya diskusi ini, kita bisa melihat seperti apa dan bagaimana manfaat perdagangan itu bisa dinikmati oleh semua pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya petani,” tuturnya.
Diungkapkan, pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sedang giat menggenjot investasi dan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tumbuh 5,3 persen dengan pendapatan nasional bruto atau gross national income sebesar 4.320 dollar AS per kapita. Namun, target ini dikhawatirkan tidak tercapai menyusul perlambatan ekonomi akibat dampak wabah virus korona baru. Salah satu dampak yang kini terasa adalah kelangkaan dan melonjaknya harga bawang putih di pasar.
Masih impor
Terkait hal tersebut, Kepala Tani Centre LPPM IPB Hermanu Triwidodo mengatakan, kebijakan kuota impor bahan pangan telah melahirkan celah yang dapat merugikan negara dan juga petani. Dia mencontohkan, krisis bawang putih, yang selain merugikan masyarakat, juga keuangan negara.
”Melalui diskusi ini, kita ingin mendorong pemerintah untuk melihat kembali urgensi kebijakan impor sejumlah komoditas pertanian serta bagaimana mendorong penguatan agar terciptanya petani-petani Indonesia yang lebih berdaulat,” ucapnya.
Menurut Hermanu, banyak komoditas pertanian yang seharusnya bisa ditanam dan dipenuhi di dalam negeri, tetapi masih impor. Hal ini, selain membebani devisa, juga melemahkan petani. ”Misalnya kedelai, kita selalu diyakinkan oleh negara lain bahwa kedelai tidak cocok ditanam di Indonesia. Bawang putih juga, tetapi sebenarnya persoalannya, kita tidak serius mengembangkannya,” ujarnya.
Juwari, petani bawang merah dan kedelai dari Jawa Tengah, mengatakan, saat ini produksi bawang merah sudah berlebih, bahkan sudah bisa ekspor. Meski demikian, impor bawang merah juga terus terjadi dan banyak di antaranya secara ilegal.
”Kami sudah bisa ekspor ke Arab Saudi, tetapi proses perizinannya sangat rumit. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan menyulitkan, tetapi tidak ada pendampingan dan bantuan yang diberikan kepada pemerintah terhadap petani,” lanjutnya.
Said Abdullah dari KRKP mengatakan, perdagangan komoditas pangan menjadi hal yang tidak bisa dihindari di era persaingan terbuka seperti sekarang. Namun, model perdagangan itu seharusnya bisa melindungi kedaulatan petani dan negara.
Said menambahkan, diskusi dengan para pihak ini menemukan, data produksi petani di sejumlah daerah secara waktu nyata ataupun kebutuhan nasional yang jelas memicu munculnya pencari rente. Selain itu, diperlukan pembenahan dalam konteks rantai pasok karena ditemukan ada ketidakefisienan dalam distribusi yang menyebabkan produksi dalam negeri kerap lebih mahal dibandingkan dengan barang pangan impor.
Dari aspek produksi, pemerintah diharapkan serius mendorong diversifikasi produk dan konsumsi pangan. Sebagai negara yang memiliki keberagaman sumber hayati, termasuk sumber pangan, Indonesia seharusnya bisa mengurangi impor gandum, yang saat ini sudah mencapai 25 persen dari total konsumsi karbohidrat per kapita, dengan aneka tepung berbahan lokal.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 18 Februari 2020