Di saat orang kian dekat dengan media sosial, konten positif kian dibutuhkan. Sejumlah orang memilih terjun ke dunia maya demi menawarkan beragam hal baru yang positif.
Youtube menjadi panggung bagi banyak ide dan wacana. Kita bisa melihat dan menyajikan konten apa pun di sana. Mulai dari hiburan biasa hingga konten sensasional yang sekadar mengejar viral. Akan tetapi, sejumlah Youtuber memilih memproduksi konten yang membuat ruang digital di Indonesia menjadi lebih bermakna.
Martin Suryajaya (34), pembelajar filsafat, akhirnya berlabuh ke Youtube akhir Januari lalu. Sebelumnya, telaah filsafat dari mahasiswa S-3 Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini terbit di situs filsafat atau blog pribadi dalam bentuk teks. Ada juga yang sudah terhimpun dalam beberapa buku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, dia membawa filsafat ke wahana visual agar lebih dekat dengan netizen. Dihubungi Kamis (6/8/2020), Martin menjelaskan bahwa kehadiran berbagai platfrom media sosial, termasuk Youtube, membuat publik lebih menikmati budaya menonton ketimbang membaca.
Di saat bersamaan, publik cenderung menilai penulis filsafat, penulis kritik sastra, dan kebudayaan cenderung jauh dari persoalan sehari-hari. Padahal, kata Martin, filsafat merupakan anak zamannya. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh lagi mengurung diri dari kenyataan terkini, seperti munculnya budaya digital.
Melalui kanal Youtube-nya, Martin membawa filsafat lebih dekat kepada kita. ”Dengan demikian, filsafat akan lebih mudah menemukan pembacanya atau permisanya kalau dalam format video,” katanya.
Awalnya, ia menduga pemirsanya adalah orang-orang yang dulu pernah mengikuti tulisan-tulisannya. Fakta menunjukkan sebaliknya. Dari semua yang menyaksikan tayangannya di Youtube, hanya 30 persen yang dulu pembaca setia karya-karyanya. Sisanya merupakan orang-orang baru dengan rentang usia 18-35 tahun.
Penulis Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer (2016) ini menyasar generasi muda yang berminat terhadap kajian filsafat dan sastra. Dia belajar sendiri cara membikin konten. Dari Youtube, dia mempelajari cara menggunakan kamera hingga mengedit video dan audio agar terdengar jernih. Untuk biaya peralatan, dia merogoh kocek hingga Rp 25 juta.
Kini, pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 2013 ini sudah menghasilkan 32 video. Konten tersebut rerata ditonton oleh 2.000 hingga 10.000 orang. Jumlah pelanggan hampir mendekati 7.000 orang.
Martin tidak menutup pintu terhadap iklan selama iklan tersebut berupa Google Adsense yang muncul sebelum video diputar. Tetapi, ia tidak menerima endorse. Meskipun menawarkan buku baru di dalam konten, ia menilai bahwa itu adalah bagian dari pekerjaan dan dia merasa buku tersebut layak untuk direkomendasikan.
Di Indonesia, kata Martin, konten viral sebagian besar bertema prank atau mengerjai orang. Ada pula konten sensasional atau wawancara dengan muatan hoaks yang barangkali terlihat seru oleh pemirsa, tetapi sebetulnya mengandung masalah.
Martin tidak menawarkan semua itu. Ia mengajak pemirsa untuk mendiskusikan sesuatu yang sering kali dianggap tema yang terlalu berat, yaitu filsafat. ”Harapan saya supaya orang lebih familiar dengan filsafat. Orang yang sudah suka filsafat bisa diskusi bersama terkait bagaimana memperbaiki ekosistem filsafat di Indonesia,” kata staf di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Gugah rasa ingin tahu
Sedikit lebih senior dari Martin, Gerald Bastian dan Ketut Yoga Yudistira pun ikut meramaikan jagat Youtube melalui kanal ”Kok Bisa?” Sejak 2015, sewaktu masih menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia, mereka membuat konten bertema edukasi ini.
Gerald memaparkan, ketika kuliah dulu mereka sering mengkritik konten digital di Indonesia yang diselubungi hoaks dan pornografi. Di saat bersamaan, belum banyak orang yang membuat konten edukatif di media sosial. Akhirnya, mereka membuat kanal ”Kok Bisa?”
DOKUMENTASI KOK-BISA—Salah satu video animasi di kanal Youtube Kok Bisa? Video animasi ilmu pengetahuan ini digagas sejumlah anak muda untuk menghadirkan media edukatif yang bebas hoaks.
Menurut Gerald, nama kanal itu merupakan implementasi dari konsep konten mereka yang ingin menggugah rasa ingin tahu masyarakat. Di konten terbitan pertama, misalnya, mereka menjelaskan tentang mengapa satu menit itu sama dengan 60 detik, bukan 100 detik, misalnya.
”Kami ingin mengajak publik untuk kembali lagi ke masa kanak-kanak, di mana kita sangat ingin mengetahui dan bertanya terhadap semua hal. Semakin kita dewasa, rasa ingin tahu kita kian pudar. Justru itu yang ingin kami kembalikan,” katanya.
Gerald menyadari bahwa konten edukasi harus berbasis sains. Oleh sebab itu, mereka melakukan riset terlebih dahulu dengan membaca jurnal dan penelitian. Kendati demikian, kanal Kok Bisa? jauh dari kesan serius. Melalui video animasi, mereka menyajikan sains secara kontekstual dan mudah dipahami.
Konten alternatif seperti ini, katanya, harus diproduksi oleh banyak orang. Dengan demikian, kualitas konten viral akan membaik. Banyaknya konten yang cenderung sensasional bukan karena pemerintah kurang galak dalam mengawal konten digital, melainkan karena minimnya konten alternatif. ”Oleh karena itu, mari sama-sama membanjiri internet dengan konten edukatif supaya orang semakin memiliki banyak pilihan,” katanya.
Lima tahun berproses, kanal Kok Bisa? tidak lagi sekadar proyek mahasiswa semester akhir yang kesal melihat kualitas konten digital. Kini, ia menjelma menjadi perusahaan yang diawaki oleh 20 orang. Bahkan, mereka sudah menyewa kantor di salah satu gedung di Palmerah, Jakarta Barat. ”Kalau angkanya (pendapatan), aku tidak bisa sebutkan, tetapi cukuplah,” katanya.
Berbeda dengan kedua orang di atas, Andriva Fausi (30) baru akan memulai aktivitas sebagai Youtuber. Ia akan melanjutkan kanal Youtube milik adiknya yang sudah mempunyai 1.000 pelanggan.
Sebelumnya, pria yang pernah mengikuti pelatihan di Rumah Perubahan Rhenald Kasali ini sudah sering berdiskusi tentang pola komunikasi di media sosial. Menurut dia, pembuat konten yang selalu mendompleng pada apa yang viral tak akan lama umurnya. Seiring berjalannya waktu, mereka akan capai sendiri. Karena fokus publik akan terus berganti setiap hari.
”Tentu mengikuti yang viral ini tidak susah membuatnya. Tetapi, apa esensinya? Kita hanya ikut arus dan tidak bisa mengekspresikan apa yang menjadi pikiran dan sesuatu yang kita kuasai,” katanya.
Berangkat dari pemahaman semacam itu, Andriva kembali ke kampung halaman di Sumatera Barat setelah enam bulan di Jakarta dan terkena pemutusan hubungan kerja. Di Sumbar, ia akan menggarap konten yang luput dari Youtuber lokal, seperti penelusuran situs-situs bersejarah. Dia pun akan mengekspos cara belajar anak-anak yang berada di pinggir hutan.
Terkait teknis pengerjaan, dia mengajak rekan sejawat di kampungnya untuk ikut bergabung. Selain untuk mengurangi beban kerja, kolaborasi pun akan menekan jumlah biaya yang dibutuhkan. ”Ada di antara mereka yang memiliki kamera, jadi paling kami tinggal membuat situs untuk rumah bersama. Nanti konten yang akan dibikin video ditulis nanti. Poin-poin utamanya yang akan tayang secara visual di Youtube,” ujarnya, optimistis.
Berkaca pada pengalaman Youtuber di atas, konten alternatif yang dibuat dengan sungguh-sungguh pada akhirnya akan memiliki pemirsanya sendiri. Tidak perlu tampil sensasional untuk meraih perhatian. Di tengah disrupsi digital saat ini, membanjiri media sosial dengan konten positif menjadi kian penting artinya.
Oleh INSAN ALFAJRI
Editor: AGNES RITA
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2020