Di bawah Donald Trump, Kamis 1 Juni 2017, Amerika Serikat keluar dari Kesepakatan Paris yang diratifikasi sekitar 9 bulan sebelumnya. Trump mewujudkan kampanyenya. Bagi Trump, kesepakatan yang menyisakan 147 pihak peratifikasi memiskinkan, merugikan, dan membuat pincang ekonomi AS. Titik.
Di sisi lain, mundurnya AS dari kesepakatan itu melahirkan kekecewaan dan kekhawatiran secara global. Sebab, kesepakatan itu berisi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari setiap negara. Bisa dikatakan, kesepakatan itu menjadi misi kemanusiaan terbesar yang pernah disepakati mayoritas anggota PBB. Kesepakatan Paris ialah buah perjalanan panjang 35 tahun sejak lahirnya Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada Konferensi Bumi I di Rio de Janeiro, Brasil.
Target Kesepakatan Paris, penurunan emisi sesuai komitmen tiap negara peratifikasi, yang disebut sebagai nationally determined contributions (NDC), agar mampu menahan kenaikan suhu bumi pada 2 derajat celsius atau sedapat mungkin menahan kenaikan tak lebih dari 1,5 derajat celsius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesepakatan Paris lahir sebagai respons dari opsi yang dibuka para ilmuwan. Dari pemodelan iklim, jika tak ada upaya dilakukan, bencana iklim berupa tornado, badai, kekeringan, dan banjir yang menyertainya akan berlangsung kian sering dan makin merusak. Dampak lain akibat kenaikan suhu bumi, yakni meluasnya penyakit tropis, mutasi beragam spesies hewan dan tumbuhan, akan tak terhindarkan.
Dampak bakal dirasakan semua makhluk dan spesies dari kutub hingga garis khatulistiwa, di daratan hingga lautan. Perubahan iklim akan mengubah nasib planet dan makhluk hidup di dalamnya selamanya. Perubahan itu akan berdampak secara ekonomi, sosial-budaya, dan pada akhirnya politik.
Di sisi lain, AS sebagai negara besar dan maju dipandang sebagai salah satu pemegang kunci penting misi penyelamatan planet dan seisinya ini. Emisi GRK AS (2014)-sekitar 15 persen dari total emisi global-nomor dua setelah China. Pihak AS berjanji menurunkan emisi GRK 26-28 persen pada 2025 di bawah emisi 2005. Selain itu, mereka berkomitmen memberikan kontribusi 100 miliar dollar AS (sekitar Rp 1,3 triliun) untuk pendanaan bagi negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim. Sesuai klausul dalam kesepakatan, AS baru bisa keluar tiga tahun setelah tanggal berlakunya, 4 November 2016.
Banyak pihak berpendapat Trump sekadar ingin menihilkan kerja Presiden Barack Obama. Namun, itu tak sepenuhnya berhasil. Di AS, banyak pihak melakukan “perlawanan” terhadap keputusan itu. Sementara Presiden Perancis Emmanuel Macron secara politis membuka diri menerima pebisnis, akademisi, dan siapa pun di AS yang menentang kebijakan Trump.
Jajak pendapat dari Washington Post-ABC News mendapati, 59 persen responden menentang keputusan Trump. Menurut mereka, itu akan memperburuk kepemimpinan AS di mata dunia.
Berkebalikan dari alasan kebijakan Trump, yakni untuk menyelamatkan lapangan kerja, ribuan orang yang terdiri dari wali kota, pelaku bisnis, investor, dan akademisi menyatakan, “… Kesepakatan Paris adalah cetak biru bagi penciptaan lapangan kerja, stabilitas, dan kesejahteraan global… menciptakan pekerjaan, memacu inovasi, meningkatkan perdagangan, dan memperkuat daya saing Amerika.” Mereka menandatangani inisiatif “We are Still In”. Di kelompok penentang itu ada direktur eksekutif Shell, mantan pemimpin Exxon, dan perusahaan-perusahaan seperti Nike, Apple, Google, Intel, Microsoft, dan Intel.
Dengan kacamata bening, “Faktor Trump”-mundurnya AS dari Kesepakatan Paris-jadi “berkah tersembunyi”. Di pekan Hari Lingkungan Hidup, faktor itu dipandang sebagai momentum mengubah paradigma, yakni menjadikan sains sebagai penuntun pembangunan. Mengejar kemajuan ekonomi semata terbukti tak membuat kemanusiaan kita bertumbuh. Apalagi kesejahteraan yang kian jauh dari jangkauan saat bencana menghancurkan semua infrastruktur ekonomi dan membinasakan kehidupan.
Konsensus sains pada isu perubahan iklim telah membuka mata kita pada fakta: aktivitas ekonomi tanpa kearifan hanya akan memusnahkan kehidupan, menghancurkan kemanusiaan….BRIGITTA ISWORO LAKSMI
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Faktor Trump”.