Reformasi peradilan menuju reformasi hukum bukanlah hal yang mudah. Mahkamah Agung diibaratkan sedang berjalan, sekaligus harus membangun jalan yang akan dilaluinya. Oleh karena itu, proses pembelajaran dan evaluasi serta kritik membangun merupakan prasyarat penting agar reformasi di lembaga ini semakin lama semakin berjalan baik.
Hal ini disampaikan Muhammad Hatta Ali dalam pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (31/1).
Hatta Ali yang kini menjabat Ketua Mahkamah Agung dan menjadi guru besar ke-13 FH Unair menyampaikan pidato berjudul ”Revitalisasi Fungsi Mahkamah Agung Melalui Reformasi Sistemik dan Berkelanjutan”. ”Topik ini penting mengingat keberhasilan peradilan adalah bagian penting dari keberhasilan reformasi hukum yang merupakan salah satu penentu terciptanya negara yang demokratis dan jaminan perlindungan bagi warga negara,” ujarnya.
Pengukuhan Guru Besar Hatta Ali yang dipimpin Rektor Unair Fasich dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla serta sejumlah pemimpin lembaga tinggi negara antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman Gusman. Hadir juga Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, para hakim di lingkungan MA, pengacara, dan sejumlah tokoh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pidatonya, Hatta Ali menyatakan, keberhasilan proses reformasi peradilan tidak terlepas dari keterlibatan akademisi, masyarakat madani, dan praktisi. Namun, keterlibatan ini perlu diperluas lagi. ”Tanpa dukungan para pemangku kepentingan, saya rasa proses reformasi ini akan menjadi semakin sulit bagi Mahkamah Agung,” ujarnya.
Tuntutan publik
Pengembangan sistem dan teknologi juga dinilai sebagai salah satu konsekuensi logis yang harus dipilih sebagai prioritas dalam perubahan. Itu mengingat tuntutan publik dan kebutuhan internal pengadilan terhadap perubahan di MA dan badan peradilan di bawahnya sangat tinggi. Namun, pengembangan manusia melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi juga penting.
Perubahan budaya dan etos kerja di internal pengadilan diharapkan akan terjadi seiring dengan pengawasan dan kritik dari masyarakat, untuk mendorong perubahan.
Pada bagian awal pidatonya, Hatta menyatakan cenderung setuju dengan pendapat Dory Reiling, hakim senior Pengadilan Distrik Amsterdam, yang menyatakan bahwa tiga masalah yang dihadapi pengadilan di seluruh dunia adalah sulitnya masyarakat mengakses pengadilan, lambatnya waktu penyelesaian perkara, dan integritas badan peradilan.
”Di Indonesia, ketiga masalah itu juga berdampak pada kualitas pelayanan pengadilan yang direfleksikan dalam isu kualitas putusan dan kepastian hukum,” ujarnya.
Hatta menilai ironi jika isu integritas justru melanda institusi peradilan yang seharusnya bekerja dengan basis kepercayaan publik.
Soal reformasi peradilan, Hatta menyatakan, setelah lebih dari 10 tahun menjalani proses reformasi, MA telah mencapai sejumlah kemajuan yang signifikan. Selain memiliki cetak biru, Hatta mengatakan sejak tahun 2007, MA telah memulai era keterbukaan informasi, yakni publik dapat memantau dan bersikap kritis terhadap setiap putusan yang diambil di pengadilan.
Meskipun demikian, juga tidak sedikit tantangan yang dihadapi, seperti masih lemahnya kepastian hukum, kualitas, dan konsistensi putusan, yang masih banyak dirasakan mengganggu. ”Dan, menurut saya, itu perlu diselesaikan,” ujarnya.
Menurut Rektor Unair Fasich, Hatta Ali dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Unair karena dinilai memiliki banyak pengetahuan yang didapat dari praktik dan pengalaman di bidang hukum yang bisa dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi. ”Prestasi luar biasa beliau (Hatta Ali) adalah mereformasi peradilan di lingkungan MA, terutama dalam mempercepat penanganan perkara dan meningkatkan transparansi terhadap hasil putusan perkara,” katanya. (DEN/SON)
Sumber: Kompas, 1 Februari 2015
Posted from WordPress for Android