Pembelajaran psikologi hanya berkembang dengan fokus kepada aspek empiris dan teknis. Psikolog pun menjadikan analisis permasalahan pasien lebih kepada permukaan dibandingkan menggali emosi dan rohani secara mendalam. Pendekatan berbasis etika dinilai perlu diterapkan kembali di dalam pembelajaran dan penanganan kasus psikologi.
Hal itu menjadi inti pada acara bedah buku berjudul Etika Psikologi: Menilik Nurani Psikolog Indonesia di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Rabu (25/7/2018). Buku ditulis oleh dosen psikologi Nani Nurrachman Sutojo dan Lidia Laksana Hidajat. “Terjadi kekurangan komunikasi antara ilmu pengetahuan psikologi dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan yang dilakukan selama ini sangat teknis dan minim konteks,” tutur Nani.
Ia mengemukakan, kebanyakan pembelajaran dan penekanan kasus menekankan kepada cara sebuah permasalahan bisa terjadi. Padahal, semestinya, psikolog berupaya mengungkapkan alasan dan makna sebuah permasalahan sehingga bisa menimpa seorang individu. Selama ini psikologi belum banyak fokus kepada pengenalan bangsa tempat ilmu tersebut diterapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, sampai saat ini belum banyak pembahasan mengenai indikator pencapaian kode etik dalam psikologi. Psikolog hendaknya bersikap adil dan peduli. Jika tidak, psikologi malah akan mendatangkan kerugian daripada menemukan jalan keluar.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Dosen psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Eunike Tyas Suci (berbaju merah) memoderatori bedah buku Etika Psikologi: Menilik Psikolog Indonesia.
“Contoh kasus kekerasan terhadap warga binaan di penjara Guantanamo (Kuba) dan Abu Ghraib (Irak) merupakan bukti ilmu psikologi yang digunakan tanpa mengedepankan etika, yang terjadi adalah kekerasan,” tutur Nani.
Salah satu penanggap buku, dosen filsafat Unika Atma Jaya Alexander Seran menjelaskan, manusia merupakan perwujudan jasmani dan rohani. Dalam aspek rohani, manusia merupakan refleksi dari budaya, lingkungan, dan pengalaman hidup. Ia mengemukakan pentingnya bagi psikolog untuk memahami pengaruh tersebut terhadap kepribadian seseorang.
“Psikolog tidak bisa menilai permasalahan seseorang hanya melalui kehidupan pribadi ataupun pengalaman hidup. Akan tetapi, juga mendalami budaya dan lingkungan tempat individu itu dibesarkan. Segala keputusan dan perbuatan seseorang tidak bisa terlepas dari latar belakang itu,” paparnya.
Dalam hal ini, psikolog harus memiliki pandangan yang netral karena nilai bersifat relatif dan tidak bisa menjadi acuan murni. Psikolog sejatinya mengupas segala atribut pasien satu per satu hingga ia menemukan inti permasalahan. Untuk mencapai hal tersebut, seorang psikolog dintuntut mempunyai kemampuan untuk berefleksi.
“Kemampuan refleksi ini yang akan menjernihkan komunikasi. Alasannya karena tidak semua pasien datang menemui psikolog dengan sukarela. Ada kemungkinan pasien mendistorsi cerita mengenai permasalahan yang mereka alami. Di samping itu, psikolog juga harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam pengendalian narasi sesuai kemauan pribadinya,” ujar Alexander. Jika itu terjadi maka psikolog harus memutuskan jalan keluar berdasarkan penilaian subyektif. Bukan berdasarkan analisa permasalahan secara obyektif.
Pembahas lain, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Johana Endang Prawitasari menegaskan, etika merupakan pembeda psikolog dengan masyarakat awam. Psikolog tidak langsung memberi nasihat sekadar berdasar curahan hati pasien. Ada penyelidikan mendalam terhadap segala aspek kehidupan pasien yang direfleksikan berdasarkan ilmu psikologi.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 26 Juli 2018