Kebutuhan Pembiayaan Rp 1.500 Triliun
Pengembangan energi terbarukan terkendala pada pembiayaan sehingga menyebabkan investor kurang berminat terjun atau berinvestasi di bisnis tersebut. Pemerintah diminta segera memutuskan jenis energi terbarukan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan.
Hal itu mengemuka dalam konferensi pers seusai diskusi panel bertajuk “Securing Energy Sustainability for a Better Future”, Jumat (20/11), di Nusa Dua, Bali.
Tampil sebagai narasumber anggota Dewan Energi Nasional (DEN), antara lain Tumiran, Andang Bachtiar, Abadi Poernomo, Vice President PT Bank Mandiri (Tbk) Edi Pujiyanto, Sekretaris Jenderal DEN Satry Nugraha, dan Senior Energy Specialist The World Bank Tendai Gregan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Abadi, masalah pembiayaan untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia memang menjadi kendala. Sebaiknya, pemerintah membuat kebijakan khusus mengenai skema pembiayaan pengembangan energi terbarukan. Pasalnya, pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi terbilang mahal dan berisiko tinggi.
“Harus ada skema khusus untuk pembiayaan ini, misalnya berupa pinjaman lunak dan jangka panjang. Khusus panas bumi, sangat berisiko karena belum tentu setelah dibor memberikan hasil positif setelah biaya dikeluarkan dalam jumlah besar. Untuk panas bumi berdaya 1 megawatt saja dibutuhkan sekitar 4 juta dollar AS,” kata Abadi.
Jalan keluar lain, lanjut Abadi, adalah membentuk badan layanan umum yang khusus menangani energi terbarukan. Lewat badan itu, bisa dibuatkan skema untuk pemberian subsidi bagi pengembangan energi terbarukan.
Andang menambahkan, mengenai panas bumi, pemerintah bisa mengubah skema tender wilayah kerja panas bumi. Selama ini, skema didasarkan pada harga jual listrik panas bumi. Sebaiknya, tender didasarkan pada cadangan yang ada.
“Selama ini kan begitu menang tender, eksplorasi, dan ternyata cadangannya sedikit, pengembang bisa merugi. Sebaiknya, tender didasarkan pada program dan cadangan. Dengan cadangan sekian, berapa harga jual listrik yang benar-benar dapat memberikan keuntungan,” kata Andang.
Mengenai pembiayaan, Edi mengatakan, sektor ketenagalistrikan memang, termasuk sektor yang membutuhkan dana dalam jumlah besar.
Kebutuhan pembiayaan untuk sektor itu sampai 2022 mencapai Rp 1.500 triliun. Ia memperkirakan, dari jumlah itu, perbankan akan menyumbang sekitar 38 persen untuk proporsi pembiayaan.
Khusus pembiayaan oleh Bank Mandiri, lanjut Edi, sektor ketenagalistrikan menempati posisi kedua sebesar 23 persen. Di posisi pertama, ada pembiayaan untuk sektor minyak dan gas bumi, 27 persen. Berikutnya, transportasi 22 persen, telekomunikasi 17 persen, dan jalan 11 persen.
“Bank Mandiri tetap berkomitmen untuk pembiayaan sektor ini. Namun, beberapa pertimbangan untuk memberikan pinjaman sektor energi antara lain jaminan dari pemerintah, terutama untuk proyek energi yang strategis, tetapi kurang menarik dari sisi investasi,” kata Edi.
Mengenai pengembangan energi terbarukan, menurut Tumiran, sampai sekarang belum ada keputusan jelas dari pemerintah tentang mengembangkan jenis energi. Ada dua jenis energi terbarukan yang sedang diprioritaskan untuk dikembangkan, yaitu tenaga matahari atau panas bumi.
“Di negara maju, pengembangan energi terbarukan sudah menjadi industri karena sudah tercapai nilai keekonomian. Di Indonesia, kita masih menghadapi daya beli konsumen yang belum kuat dan pembeli tunggal (PLN),” kata Tumiran.
Akibatnya, saat harga produksi listrik energi terbarukan lebih mahal daripada harga jual ke konsumen, PLN enggan membeli.
Dalam Kebijakan Energi Nasional yang dirumuskan DEN, sektor energi terbarukan ditargetkan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi pada 2025. Porsi itu terus dinaikkan menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
Opsi pembiayaan
Gregan mengungkapkan, pembiayaan untuk infrastruktur energi listrik di Indonesia tak cukup mengandalkan modal yang dimiliki PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Selain dihadapkan masalah pembiayaan, PLN juga dihadapkan tantangan harga jual listrik dengan biaya produksi listrik.
“Beberapa opsi untuk pembiayaan infrastruktur energi di Indonesia bisa datang dari bank-bank asing, penerbitan surat berharga (bonds), atau skema kerja sama dengan swasta (public private patnership),” kata Gregan.
Gregan mengingatkan, PLN juga akan membutuhkan jaminan dari pemerintah apabila hendak meminjam dana dari bank dalam jumlah besar. (APO)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 November 2015, di halaman 19 dengan judul “Energi Terbarukan Terkendala Biaya”.