Masih dalam periode awal Sudirman Said menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam sebuah kesempatan jumpa pers di hadapan puluhan wartawan, ia begitu bersemangat berbicara tentang pengembangan energi terbarukan. Ia beranggapan, energi terbarukan ibarat lampiran dalam sebuah buku. Dibaca jika dibutuhkan. Kini, kata dia, tak boleh lagi seperti itu.
Bahkan, secara simbolik, nomenklatur Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) tak boleh lagi ada di posisi terbawah di antara 4 ditjen di Kementerian ESDM.
Coba Anda klik laman www.esdm.go.id, di antara 4 ditjen, yaitu Ditjen Minyak dan Gas Bumi, Ditjen Mineral dan Batubara, Ditjen Ketenagalistrikan, dan Ditjen EBTKE, susunannya seperti yang ada di tulisan ini. Ditjen EBTKE berada di posisi buncit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ke depan, posisi Direktorat Jenderal EBTKE tak boleh lagi di bawah, tetapi harus berada di paling atas,” kata Sudirman kala itu.
Seiring berjalannya waktu, pengembangan energi terbarukan entah bagaimana ceritanya. Padahal, negeri ini sangat melimpah untuk urusan potensi energi terbarukan. Bahkan, ada yang menyebut Indonesia adalah Arab Saudi-nya energi terbarukan.
Matahari bersinar sepanjang tahun, angin bertiup di mana-mana, tenaga panas bumi yang melimpah, belum lagi potensi bahan bakar nabati yang sumbernya banyak tersedia. Berkah bagi negeri yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa ini.
Energi terbarukan yang paling menonjol saat ini, barangkali, hanyalah minyak kelapa sawit (CPO) untuk dibuat menjadi biodiesel sebagai campuran solar. Urusan kelapa sawit, Indonesia memang nomor satu. Kebijakan pendukungnya pun sudah ada, yaitu kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar yang tahun ini sebesar 15 persen (setiap satu liter solar mengandung 15 persen biodiesel).
Akan tetapi, potensi energi terbarukan tak melulu CPO. Tenaga matahari, air, panas bumi, angin, termasuk sumber lain dari nabati, bahkan sampah atau limbah kayu, juga menunggu untuk dikembangkan. Kapan? Menunggu minyak habis dari perut bumi?
Mengutip dari berbagai sumber, cadangan minyak bumi di Indonesia hanya cukup untuk 11 tahun lagi. Batubara, yang sampai hari ini lebih banyak dijual ke luar negeri untuk ketahanan energi negara lain, tersisa hanya untuk 14 tahun ke depan. Gas bumi masih cukup sampai 40 tahun mendatang.
Program konversi BBM ke gas pun hingga kini belum jelas hasilnya. Rencana pembangunan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) tersendat. Usulan 9 SPBG yang akan dibangun pada 2016, surut menjadi 2 unit saja. Alat konventer BBM ke gas yang hendak dipakaikan ke kendaraan pun tak jelas ceritanya.
Apalagi anggaran di Kementerian ESDM tahun 2016 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun ini. Pada 2016, Kementerian ESDM mendapat jatah tak sampai Rp 8 triliun. Bandingkan dengan tahun ini, Kementerian ESDM mendapat alokasi hampir Rp 15 triliun.
Barangkali kita memang harus menunggu bangsa ini berada dalam krisis energi yang sebenarnya, terutama dari fosil. Apabila tetes minyak terakhir sudah jatuh, semburan gas bumi terakhir sudah keluar, barangkali kita baru tersadar bahwa energi terbarukan harus disiapkan.
Lupakan ribuan makalah atau diskusi atau omongan atau sarasehan soal pengembangan energi terbarukan. Mungkin karena itu pula, hingga saat ini, nomenklatur Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, terutama nomenklatur di laman Kementerian ESDM itu masih ada di urutan belakang. Artinya, Ditjen EBTKE belum menjadi prioritas. (ARIS PRASETYO)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 November 2015, di halaman 17 dengan judul “Energi Terbarukan, Buncit”.