Gerakan literasi yang tumbuh dari inisiatif masyarakat tak sekadar menumbuhkan kegemaran membaca buku, tetapi bergerak maju untuk memberdayakan masyarakat. Episentrum gerakan bermula di pos-pos ronda di kampung-kampung. Semua digerakkan oleh energi masyarakat, kecintaan terhadap buku, dan kerinduan akan terjadinya perubahan.
Berbekal semangat menumbuhkan rasa suka membaca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar hadir di atas bekas pembuangan sampah warga di tepi Sungai Gajahwong di Dusun Nologaten, Catur Tunggal, Depok, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah pos ronda sederhana dari bambu berukuran 5 meter x 10 meter didirikan di tepi Sungai Gajahwong pada 2003. Pos ronda itulah yang merangkap sebagai taman bacaan.
Meskipun masih ada penolakan, pos ronda yang berfungsi sebagai perpustakaan itu bisa dihadirkan. Koleksi buku milik penggagas taman bacaan itu, Muhsin Kalida, menghiasi dinding-dinding bambu. Muhsin yang warga di kawasan itu juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Perlahan tetapi pasti, kehadiran perpustakaan kampung yang diberi nama TBM Cakruk Pintar itu mewarnai kehidupan warga. Anak-anak mulai nongkrong sambil memegang- megang buku dan akhirnya asyik membaca. Ibu-ibu yang mengeloni anak mereka, awalnya sekadar duduk-duduk di pos ronda, akhirnya mulai melirik buku. Demikian juga para bapak yang asyik main gaplek atau karambol mulai juga melihat-lihat isi buku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keguyuban warga yang mulai terbangun melalui gerakan literasi berkembang dengan munculnya kegiatan-kegiatan yang memberdayakan. Para remaja mengadakan kegiatan menulis hingga diskusi.
Pengelola Cakruk Pintar juga mengembangkan kegiatan zikir dengan tema kewirausahaan. Warga di sekitar Cakruk Pintar pun berkembang untuk bisa mengembangkan beragam usaha penjualan makanan, mulai dari arem-arem, klepon, pecel lele, tahu bakso, dan banyak lagi.
Tak hanya itu, air sungai yang tak lagi tercemar sampah juga dimanfaatkan. Kolam-kolam ikan yang dikelola warga berjejer rapi di sekitar sungai, tak jauh dari pos ronda TBM Cakruk Pintar.
Muhsin mengatakan, beberapa tahun ini koleksi buku TMB Cakruk Pintar berpindah ke halaman depan rumahnya. Meski demikian, akses untuk membaca buku dan berkegiatan terbuka 24 jam. Anak-anak dan warga yang hendak membaca tinggal datang tanpa perlu meminta izin pada keluarga Muhsin. Mereka yang ingin membawa buku pulang tinggal mencatat di buku peminjam.
Semangat tridaya
Menurut Muhsin, TBM Cakruk Pintar mengusung semangat tridaya dalam mengembangkan gerakan literasi. Masyarakat diberdayakan secara ekonomi dengan menggerakkan kewirausahaan, pemberdayaan lingkungan dengan menyulap kampung yang bau sampah menjadi asri, dan pemberdayaan sumber daya manusia dengan menyediakan beragam kegiatan yang mencerdaskan. Dengan tiga tema pemberdayaan, gerakan literasi menjadi lebih maju dari sekadar mengadakan kegiatan membaca.
Pemanfaatan pos ronda untuk memulai gerakan literasi juga dilakukan TBM Gubug Pintar di Nitikan Timur, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, sejak 2012. Koran-koran, majalah, dan buku bacaan diselipkan di dinding bambu. Buku dan majalah itu bisa dibaca kapan saja oleh anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak sambil lesehan. Koleksi buku bacaan yang masih terbatas dan banyaknya buku bekas sumbangan dari berbagai tempat tak mengurangi kegairahan warga melahap bahan bacaan.
Anak-anak melahap buku-buku komik yang tersedia. Mereka juga bermain sejumlah permainan tradisional yang pada masa lalu populer di kalangan anak- anak.
Anak-anak membaca di Taman Bacaan Masyarakat Gubug Pintar di Nitikan Timur, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan memanfaatkan pos ronda, perlahan minat baca ditumbuhkan pada semua warga.KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Orang dewasa juga punya kegiatannya sendiri. Para ibu bukan hanya punya kegiatan arisan, tetapi juga senam dan diskusi bersama membahas berbagai masalah kesehatan atau pengasuhan anak. Para warga lanjut usia juga punya aktivitas. Mereka diajari membuat produk jadi dari bambu guna menghasilkan pendapatan tambahan.
“Awalnya kami prihatin karena warga tidak lagi terlibat aktif dalam berbagai kegiatan. Kegiatan arisan, misalnya, lebih banyak yang nitip daripada hadir. Dengan adanya beragam kegiatan di TBM Gubug Pintar, warga mulai guyub dan sadar untuk membangun kebersamaan,” kata Tri Sudaryani. Tri dan Tugino, suaminya, menggagas pendirian TBM Gubug Pintar.
Berkembangnya aktivitas warga, mulai dari anak usia dini hingga warga lanjut usia, membuat kegiatan TBM Gubug Pintar dialihkan ke rumah keluarga Tri-Tugino yang tidak jauh dari pos ronda. Dengan fasilitas sederhana, gerakan literasi yang berawal dari pos ronda mampu memberdayakan warga.
Dengan inspirasi dari buku- buku keterampilan, misalnya, warga mulai mengolah bambu yang merupakan produk unggulan di daerah itu menjadi beragam produk kerajinan menarik. Beragam buah tangan, mulai dari gantungan kunci hingga topi bambu bertuliskan Goa Pindul, diproduksi oleh para warga di taman bacaan itu untuk menambah pendapatan rumah tangga.
Dari buku jadi karya
Masih di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di kawasan Sleman, TBM Mata Aksara hadir dengan mengusung semangat dari buku menjadi karya. Taman bacaan itu didirikan di rumah Heni Wardatur Rohmah. Gerakan literasi yang mendorong munculnya minat baca anak-anak, ibu-ibu, dan bapak- bapak itu telah membuat warga mampu berkarya.
Para ibu rumah tangga, yang awalnya sekadar melihat buku- buku kerajinan, bersama-sama belajar untuk menjadikan panduan dalam buku menjadi sebuah karya nyata. Lahirlah buku-buku dari kain flanel menarik sebagai media antara lain untuk anak-anak belajar huruf, angka, dan mengenal tumbuhan. Ada pula kaus-kaus berhiaskan flanel. Para bapak belajar tentang pembuatan kompos, pertanian, hingga perikanan.
Heni mengatakan, kegiatan di TBM Mata Aksara terdiri dari sentra buku, kriya, permainan, komputer, panggung, dan lingkungan hidup. TBM itu sering menerima kunjungan dari banyak pihak yang menawarkan kegiatan untuk memperkaya gerakan literasi.
Muhsin Kalida, yang juga Ketua Forum TBM Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, taman bacaan masyarakat lahir dari kebutuhan masyarakat. “Berbeda dengan perpustakaan yang top-down karena ada proyek. Yogyakarta menjadi salah satu tujuan studi banding taman bacaan masyarakat karena tumbuh dengan keunikannya,” ujar Mushin.
Di Yogyakarta terdata ada 320 taman bacaan masyarakat pada 2014 dan 241 di antaranya masih hidup. Taman bacaan itu ada yang dimiliki keluarga, yayasan, ataupun desa. Menurut Muhsin, sifat kesukarelawanan dalam membangun taman bacaan yang besar membuat gerakan literasi dan pemberdayaan berkembang. Taman bacaan masyarakat terbukti berpotensi sebagai alternatif tumbuhnya gerakan belajar sepanjang hayat yang lahir dari kesadaran dan kebutuhan masyarakat.–ESTER LINCE NAPITUPULU
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 April 2015, di halaman 12 dengan judul “Energi Perubahan di Pos Ronda”.