Benar kata Walt Kelly dalam komik Pogo, ”kita telah menemukan musuh itu, dia adalah diri kita sendiri”. Sungguh sulit bagi kita untuk memakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan, dan rajin cuci tangan pakai sabun?
KOMPAS/HERU SRI KUMORO—Presiden Joko Widodo saat menyampaikan bahwa dua orang warga Indonesia positif terinfeksi virus corona jenis baru (Covid-19) di Veranda Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Dua orang ini tertular dari warga negara Jepang yang menemui mereka di Depok, Jawa Barat. Ini merupakan kasus pertama warga Indonesia positif korona di wilayah Indonesia. Kedua orang ini juga sudah dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Pusat Inveksi Sulianti Saroso.
Genap enam bulan yang lalu Presiden Joko Widodo terkesan berkejaran dengan waktu, mengumumkan dua kasus pertama yang dinyatakan terinfeksi virus penyebab Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Genderang perang melawan penyakit, yang saat itu belum dinyatakan pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sudah ditabuh oleh Panglima Tertinggi Indonesia. Suatu negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia berpotensi menjadi medan pertempuran ganas melawan pandemi Covid-19.
Namun, pada awal Maret 2020 itu, orang masih termangu untuk bertindak karena pandemi penyakit yang disebabkan oleh virus-virus korona sebelumnya (SARS dan MERS-CoV) tidak sampai menyeberang Selat Malaka atau masih jauh dari Teluk Jakarta.
Hanya segelintir orang Indonesia, sekarang pasti sudah sangat sepuh, yang mengalami serangkaian pandemi pada masa lalu. Masyarakat tidak siap ketika tikus yang berpenyakit sampar terbawa di dalam berkarung-karung beras yang diangkut kapal-kapal masuk pelabuhan Surabaya pada 1910. Ratusan tikus kemudian mati bergelimpangan dan pinjal-pinjal tikus yang membawa bakteri sampar menularkannya kepada manusia sehingga dalam waktu singkat terjadi ledakan penyakit sampar di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Masyarakat melakukan upaya-upaya yang tidak relevan atau justru membahayakan, seperti minum sesendok makan minyak tanah sebagai tindakan pencegahan penyakit sampar. Pengendalian penyakit melalui isolasi penderita sampar dan penyumbatan bambu-bambu di rumah untuk eliminasi tikus terlambat dilakukan. Sampar kemudian menjadi endemik di Indonesia sehingga mengakibatkan hampir 250.000 kematian dari tahun 1910 sampai 1960.
Tidak ada respons yang efektif terhadap pandemi Spaanse Griep (flu Spanyol) pada 1918. Penyakit flu itu cepat menyebar ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Dr Abdoel Rivai dalam rapat di Dewan Rakyat Hindia Belanda menuduh pemerintah kolonial Belanda terlalu lambat menangani pandemi flu Spanyol sehingga mengakibatkan 900.000 orang dari seluruh negeri tewas hanya dalam rentang waktu empat bulan dari Agustus sampai dengan November, 1918.
Menurut perkiraan dengan metode analisis demografi yang lebih mutakhir, korban meninggal selama pandemi flu Spanyol mencapai lebih dari 4 juta di antara 35 juta orang di Jawa.
Masih lekat dalam ingatan kita pada 2009 berlangsung pandemi flu babi yang disebabkan oleh virus H1N1, serupa dengan penyebab flu Spanyol. Jumlah kasus di Indonesia dilaporkan sampai September 2009 hampir 1.100 orang, penularan melanda 25 provinsi, dengan 10 orang meninggal.
Bandingkan dengan Covid-19 yang dalam waktu dua bulan sejak kasus pertama diumumkan sudah mencapai jumlah kasus mendekati 11.000 orang dari semua provinsi di Indonesia, dengan korban meninggal lebih dari 800 orang. Peningkatan kasus-kasus dan kematian Covid-19 terus berlangsung sampai sekarang, kita tidak bisa lagi terperangkap di zona nyaman.
Medan laga melawan Covid-19
Rumus umum pengendalian Covid-19 (pelacakan, pemeriksaan, dan pengobatan) terkendala oleh pengembangan sarana pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dengan persyaratan pengamanan ketat (biosafety level 2) yang membutuhkan waktu untuk menyebarkannya ke seluruh Indonesia.
Wajar jika masyarakat mempertanyakan apakah angka kasus Covid-19 dan korban meninggal yang dilaporkan lebih rendah dari jumlah sebenarnya, karena keterbatasan deteksi kasus dan konfirmasi kematian akibat Covid-19. Jumlah pemeriksaan PCR memang meningkat dari hari ke hari, menuju yang disarankan WHO, 1.000 tes per sejuta penduduk dalam waktu seminggu.
Kendala dalam pemeriksaan PCR tak menutupi kenyataan yang harus memicu kita untuk lebih keras bekerja. Dari 100 orang yang diperiksa, rata-rata lebih dari 10 orang positif. Angka ini masih terus merangkak naik dari hari ke hari. Pemeriksaan PCR di Singapura hanya menghasilkan angka positif 1,8 persen.
Malaysia sempat didera penularan yang cepat dan meluas di semua negara bagian dan dinilai sebagai episenter. Namun, angka positif dari pemeriksaan PCR di Malaysia sekarang tinggal 0,1 persen, pada saat Indonesia sedang berupaya memperlambat kenaikan yang sudah melewati 13 persen.
Tidak siap
Pada awalnya, rakyat Malaysia tidak siap menghadapi pandemi Covid-19 karena tidak yakin bahwa penyakit yang sudah menghinggapi sebagian warga mereka cukup berbahaya, sementara terjadi krisis politik di negara itu. Baru ketika jumlah kasus meningkat dari 99 orang (belum ada yang meninggal) pada 8 Maret menjadi lebih dari 1.300 orang dua minggu berikutnya, dengan 10 orang meninggal, muncul kepanikan di antara masyarakat Malaysia.
Merasa dalam situasi darurat, Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan Movement Control Order yang mengharuskan masyarakat tinggal di rumah, memakai masker, dan menjaga jarak.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaian pelindung diri dan bahan pokok, banyak dukungan sumbangan uang dan barang oleh swasta dan warga masyarakat. Kisah sukses Malaysia dalam pengendalian pandemi Covid-19 sekarang menjadi salah satu teladan di dunia, bersama Taiwan dan Korea Selatan.
Mengapa masyarakat sering tidak percaya bahwa Covid-19 ini berbahaya dan mematikan? Walaupun mata dan telinga kita hampir setiap hari melihat gambar atau mendengar tentang peti mati di media massa atau media sosial, rekaman pengalaman kita meyakinkan bahwa sebagian besar yang dinyatakan Covid-19 bergejala ringan dan mengalami kesembuhan. Lebih dari 80 persen mereka yang mengidap virus Covid-19 hanya merasakan demam, kehilangan pengecap dan pembau, sakit otot dan batuk ringan, bahkan tidak merasakan gejala apa pun.
Dari 1.308 peserta dan tenaga pengajar Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat yang positif Covid-19 tidak ada yang sakit parah atau meninggal dan kini semua dinyatakan sembuh. Terlihat beberapa orang ”pasien” Covid-19 itu mampu berbaris tegap dan menjawab lantang pertanyaan-pertanyaan KASAD.
Infeksi virus Covid-19 tanpa menimbulkan gejala patut disyukuri. Di sisi lain, bagaimana kalau mereka yang tanpa gejala itu hidup berbaur dan berpotensi menularkan Covid-19 kepada yang berisiko, misalnya penderita obesitas, diabetes, atau gangguan sistem kekebalan. Banyak korban penularan itu membutuhkan layanan yang terjangkau dari komunitas mereka. Sangat besar peran dokter dan petugas di puskesmas atau klinik layanan primer yang selama ini bekerja dalam senyap.
Mereka tak kenal lelah, mengedukasi masyarakat, melindungi para pengidap penyakit kronik, mengawasi karantina dan isolasi di rumah atau rumah sakit lapangan dan menjadi model pencegahan penyakit Covid-19. Berbekal obat-obat sederhana, seperti aspilet untuk mencegah penjendalan darah, vitamin C, vitamin D, dan zinc untuk memperkuat daya tahan tubuh, dokter layanan primer berupaya semaksimal mungkin melindungi para pengidap infeksi virus Covid-19 agar tidak menjadi lebih parah dan membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Peralatan laboratorium sederhana untuk menghitung jumlah absolut dan relatif jenis-jenis sel darah putih sangat diperlukan di layanan primer untuk mendeteksi gejala awal dan memantau perjalanan Covid-19 setelah dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR. Begitu pula pulse oximeter menjadi alat penting untuk mendeteksi apakah seorang terduga Covid-19 mengalami kekurangan oksigen di dalam darah. Salah satu gejala mengkhawatirkan yang dialami oleh penderita Covid-19 adalah kekurangan oksigen tanpa menunjukkan gejala (happy hypoxia), beberapa kasus terkesan seperti meninggal mendadak.
Keterampilan klinis dokter di layanan primer, dilengkapi dengan sarana yang terbatas, ini dapat mendukung keputusan kapan pengidap Covid-19 dapat diobservasi di rumah sakit lapangan sampai dinyatakan sembuh atau harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan intensif.
Strategi melawan Covid-19
Uji klinis untuk menemukan obat antivirus dalam memerangi Covid-19 terkendala krisis replikasi riset, dengan keberagaman hasil uji klinis antara suatu pusat penelitian dan pusat yang lain. Obat yang diunggulkan di Amerika Serikat dan Eropa, seperti remdesivir dan favipiravir, tidak mampu menurunkan fatalitas kasus secara bermakna.
Pemakaian obat-obatan lopinavir-ritonavir dan hydroxychloroquine yang mengundang perdebatan di Indonesia tidak dianjurkan oleh WHO, atas dasar rekomendasi Panitia Pengarah Solidarity Trial obat-obat Covid-19 bagi pasien yang mondok di rumah sakit.
Sebelumnya obat-obat itu digunakan di AS, negara-negara Eropa, Timur Tengah, dan lain-lain. Masih terbuka kemungkinan uji klinis atas obat-obat antivirus ini bagi pasien rawat jalan. Pusat Pengendalian Penyakit di AS menyatakan ”belum ada obat Covid-19”.
Dalam ketiadaan obat yang efektif, masyarakat dunia berharap pada vaksin melawan Covid-19, beberapa sudah pada tahap uji klinis fase ketiga. Pemerintah melalui Bio Farma dan Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Sinovac Biotech, China, tengah melakukan uji klinis fase ketiga terhadap calon vaksin dari virus yang dimatikan (inactivated). Calon virus yang bernama CoronaVac sejak Juli 2020 sudah digunakan untuk kondisi darurat di China, misalnya diberikan kepada tenaga kesehatan.
Pusat Penelitian Gamaleya di Rusia juga telah menghasilkan vaksin bernama Sputnik V yang telah diregistrasi sebagai vaksin anti-Covid-19 pertama di dunia. Menggunakan teknologi vektor adenovirus yang dapat mengekspresikan sebagian protein virus SARS-CoV-2 untuk memicu kekebalan terhadap virus penyebab Covid-19, Sputnik V berkemungkinan merebut pangsa pasar vaksin anti-Covid-19 terbesar di dunia. CoronaVac dan Sputnik V aman bagi manusia, tetapi masih butuh waktu pengamatan beberapa bulan ke depan untuk memastikan apakah mampu memberikan perlindungan dari Covid-19.
Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 mengalami tekanan oleh sistem kekebalan manusia sehingga terus berubah untuk mempertahankan keberadaannya di dunia. Mutasi yang ditemukan di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, adalah perubahan dari D614 menjadi G614 (dikenal sebagai D614G), yakni penggantian asam aspartate menjadi glycine pada posisi protein S di nomor 614.
Virus yang mengalami perubahan ini diduga lebih stabil, cepat mendominasi begitu mencapai suatu wilayah penularan. Tidak diketahui apakah mutasi itu mengakibatkan Covid-19 yang lebih parah. Sudah diselidiki bahwa D614G tak mengubah sasaran yang dibidik oleh vaksin yang sedang menjalani uji klinis.
Penularan virus di Indonesia masih berlangsung cukup intensif, persentase positif hasil pemeriksaan PCR masih naik terus, tertinggi di Asia Tenggara. Sistem kesehatan harus mengandalkan layanan primer di bawah dokter keluarga yang memimpin pasukan melawan Covid-19 di garis depan. Prinsip pertempuran di layanan primer mengikuti strategi Perang Sun Tzu (544-496 Sebelum Masehi), ”pejuang yang baik menempatkan diri pada posisi sulit terkalahkan sambil menunggu kesempatan untuk menghancurkan musuh”.
Jangan sampai penderita Covid-19 jatuh dalam kondisi yang parah sehingga membutuhkan ventilator, dengan harapan tinggal 15 persen atau kurang untuk selamat. Layanan primer bertugas memberikan perlindungan kepada mereka yang berisiko tinggi.
Strategi pencegahan primordial merupakan prioritas, warga masyarakat jangan sampai terpapar oleh virus, harus menghindari kawasan merah, menjauhi kerumunan, dan menjaga jarak. Masker dan cuci tangan sebagai rutinitas harus didukung dengan struktur lingkungan aktivitas sehari-hari yang memaksa orang berperilaku mengadaptasi ancaman pandemi.
Virus Covid-19 hanya dapat bertahan hidup kalau menemukan manusia sebagai inang tempat berlindung untuk berkembang biak. Perlawanan terhadap Covid-19 masih membutuhkan waktu berbulan-bulan ke depan. Realitas yang pahit ini harus melecut semangat untuk mampu memenangi pertempuran demi pertempuran dengan musuh yang menggunakan mekanisme di dalam tubuh manusia untuk menghancurkan manusia itu sendiri.
Benar kata Walt Kelly dalam komik Pogo, ”kita telah menemukan musuh itu, dia adalah diri kita sendiri”. Sungguh tidak mudah bagi kita untuk memakai masker di luar rumah, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan rajin cuci tangan dengan sabun atau sanitizer?
Hari Kusnanto, Guru Besar Departemen Kedokteran Keluarga dan Komunitas Fakultas Kedokteran UGM
Sumber: Kompas, 2 September 2020