Peta Sumber Gempa Nasional 2017 telah memetakan jalur patahan darat di Indonesia, walaupun sebagian besar belum dalam skala detail. Dari peta termutakhir ini diketahui sebanyak empat juta penduduk dan 2.892 bangunan sekolah berada dalam zona bahaya radius satu kilometer dari jalur sesar.
“Masih ada sekitar 80 persen sesar darat kita yang belum diketahui dengan baik karena terbatasnya penelitian yang ada, baik dari jumlah peneliti maupun dukungan pendanaan. Hal ini harusnya menjadi salah satu prioritas ke depan karena potensi ancaman gempa bumi di negeri kita sangat besar,” kata ahli gempa bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja, Kamis (10/1/2019), di Jakarta.
Karena terbatasnya data dan kajian tentang sumber gempa, sebagian sesar di Indonesia baru bisa diidentifikasi setelah terjadinya gempa bumi, seperti terjadi saat gempa bumi di Pidie Jaya, Aceh pada 2016 yang melahirkan sesar Pidie Jaya. Menurut Danny, sesar Palu-Koro yang melewati Kota Palu, Sulawesi Tengah juga bisa diidentifikasi dengan lebih baik jalurnya setelah gempa pada 28 September 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Sumber air panas bumi Sipoholon di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Minggu (26/2/2012). Secara regional, kawasan ini terletak di jalur Sesar Sumatera aktif, yang melintang mulai dari Pulau Weh di Aceh hingga Teluk Semangko di Lampung.
Upaya memperbarui peta sumber gempa yang dilakukan oleh Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen) secara periodik terus menemukan jalur-jalur sesar baru, yang sebelumnya belum terpetakan karena keterbatasan data dan riset. Misalnya, pada peta gempa nasional tahun 2010, jumlah sesar di Jawa hanya 4, pada peta tahun 2017 menjadi 34. Sedangkan secara nasional jumlah sesar baru yang ditemukan menjadi 295 zona, dibandingkan tahun 2010 hanya 81 zona.
Berdasarkan peta ini, para peneliti Pusgen kemudian menghitung jumlah sekolah, fasilitas kesehatan, jumlah penduduk, dan infrastruktur transportasi yang berada dalam radius satu kilometer jalur sesar yang ada. Rahma Hanifa, peneliti Pusgen mengatakan, kajian ini dilakukan dengan dukunga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Hasilnya ditemukan fasilitas pendidikan di zona kerentanan tinggi sebanyak 2.892 bangunan sekolah, fasilitas kesehatan sebanyak 40 rumah sakit dan 126 puskesmas, dan jumlah penduduk mencapai 4.103.975jiwa. Sedangkan infrastruktur transportasi sebanyak 11 pelabuhan, 21 terminal, 2 stasiun, 237 ruas jalan provinsi sepanjang 652,3 km, 31 ruas jalur kereta api dengan panjang 83,3 km, 15 ruas jalan tol sepanjang 20,1 km.
Temuan jalur-jalur sesar baru ini membutuhkan kajian lebih detail sehingga bisa menjadi dasar mitigasi. Sejauh ini jalur yang sudah dipetakan dengan tingkat resolusi tinggi baru sesar Lembang di Jawa Barat, selain sesar Palu-Koro di Sulawesi Tengah setelah gempa lalu.
Dasar penataan ruang
Menurut Kepala Pusgen yang juga Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) Masyhur Irsyam, di luar negeri jalur sesar yang ada telah menjadi dasar penataan ruang, terutama untuk menentukan jarak aman bangunan. Studi tim Pusgen menyebutkan, di Amerika Serikat sejak 1977 meletakkan jarak aman dari jalur sesar utama sejauh 150 m dan 60 m dari cabang sesar.
Di Taiwan, jika jalur sesar tersebut memiliki sejarah kegempaan dengan magnitudo lebih dari maka jarak aman yang digunakan adalah 100 m untuk bagian kanan dan bagian kiri sesar. Sedangkan apabila terdapat sejarah kegempaan dengan magnitudo lebih dari 6 maka jarak aman yang digunakan adalah 50 m. Untuk sesar yang memiliki sejarah kegempaan dengan magnitudo kurang dari maka jarak aman yang digunakan adalah 30 m.
Di New Zealand, untuk Sesar Wellington yang sudah dilakukan kajian sains yang komprehensif, maka digunakan jarak aman untuk setiap sisi sesar adalah 50-90 m, dimana di dalamnya sudah ada ketidakpastian jarak sebesar 20 m untuk setiap sisi sesar. Sedangkan di China, jarak aman yang digunakan bervariasi sesuai dengan kelas konstruksi, yaitu antara 100 m, 200 m, dan 400 m.
Rahma Hanifa mengatakan, sejauh ini belum ada ketentuan nasional yang mengatur tentang jarak aman dari jalur sesar ini. Daerah yang sudah memiliki aturan mengenai jarak aman dari zona sesar baru Jawa Barat. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 menyebutkan, setiap pembangunan di sekitar daerah risiko bencana, terutama di sekitar koridor Sesar Lembang, harus berdasarkan kajian mendalam terhadap risiko dan mitigasi bencana. Koridor bebas bangunan ini sebesar 250 m kiri kanan Sesar Lembang.
Kesadaran masyarakat
Peneliti gempa bumi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Gayatri Indah Marliyani mengatakan, selain tantangan dalam hal keterbatasan kajian yang mendalam untuk mendetailkan jalur sesar yang ada, rendahnya kesadaran masyarakat juga menjadikan kerentanan bencana gempa di Indonesia sangat tinggi.
“Bahkan, pemerintah daerah juga banyak yang belum sadar tentang bahaya sesar ini. Seringkali, kajian-kajian tentang bahaya gempa di satu darah justru dianggap menakut-nakuti dan mengganggu investasi,” kata dia.
Persoalan lain, menurut dia, adalah lemahnya penegakan hukum. Misalnya, terkait sempadan pantai dan sungai yang kerap diabaikan. “Dibutuhkan edukasi yang menerus. Misalnya, setelah gempa Yogyakarta pada 2006, sekarang banyak lupa,” kata dia.
Jalur patahan di Yogyakarta yang dulu terlihat setelah gempa dan seharusnya dipertahankan menjadi ruang terbuka, sekarang banyak tertutup lagi oleh bangunan. “Memang ada beberapa praktik baik, misalnya di Prambanan ada stupa yang jatuh saat gempa, sampai sekarang tidak dikembalikan. Lalu dipagari dan diberi narasi, ‘ini jatuh karena gempa 2006‘. Ini bagus. Karena Prambanan banyak dikunjungi orang, sehingga bisa menjadi pengingat bagi generasi penerus,” kata dia.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 11 Januari 2019