Konsentrasi emisi gas HFC-23 di atmosfer terus meningkat. Klaim China dan India, penghasil terbesar gas HFC-23, bahwa mereka telah menurunkan penggunaan gas tersebut ternyata tak terbukti. Perlu ada upaya global.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Peserta mengikuti pelatihan untuk Jurusan Teknik Pendingin di Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD) Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2018). Emisi gas yang digunakan sebagai bahan kimia pendingin dalam lemari pendingin menyebabkan kerusakan ozon.
Sekelompok ilmuwan terkejut setelah hasil penelitian mereka mementahkan hipotesis awal. Mereka memperkirakan emisi gas penyebab kerusakan ozon di lapisan udara Bumi bakal menurun drastis mengingat China dan India sebagai penghasil terbesar gas hidrofluorokarbon-23 (HFC-23) mengklaim telah menurunkan penggunaan gas yang digunakan sebagai bahan kimia pendingin dalam lemari pendingin, penyejuk udara, bahan pembuatan busa, dan pemadam api.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam jurnal Nature Communications, penelitian berjudul ”Increase in Global Emissions of HFC-23 Despite Near-Total Expected Reductions”, 21 Januari 2020, menunjukkan konsentrasi gas pengganti hidrokhlorofluorokarbon-22 (HCFC-22) tersebut ternyata masih meningkat. Kondisi ini mengkhawatirkan dan menimbulkan tanda tanya serta pentingnya dunia global mencari penyebabnya.
Pengaturan dan pengurangan emisi gas penyebab kerusakan lapisan ozon (O3) ini telah diatur dalam Protokol Montreal. Bahkan, pada 2016, negara-negara para pihak menyepakati pemberlakuan Amendemen Kigali pada Protokol Montreal untuk melangkah lebih ambisius demi menyelamatkan Bumi dan umat manusia dari kebocoran ozon yang parah. Amendemen Kigali telah berlaku efektif setahun ini atau sejak Januari 2019, tetapi Indonesia dan China belum meratifikasinya.
Mulai 2015, Cina dan India, yang mendominasi produksi global HCFC-22 (75 persen pada 2017), menetapkan program ambisius untuk mengurangi emisi HFC-23. Pada 2017, mereka menyatakan telah hampir sepenuhnya sukses menghilangkan emisi HFC-23. Berpatokan dari klaim ini, para peneliti memperkirakan bahwa langkah ambisius kedua negara ini seharusnya melihat penurunan emisi global sebesar 87 persen antara 2014 dan 2017.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Pengamatan pada atmosfer menunjukkan bahwa emisi telah meningkat dan pada 2018 lebih tinggi daripada titik mana pun dalam sejarah (15,9 ± 0,9 Gg per tahun). Perbedaan antara perkiraan yang dilaporkan dan estimasi yang disimpulkan menunjukkan bahwa tambahan emisi 309 Tg setara CO2 ditambahkan ke atmosfer antara 2015 dan 2017.
ICHWAN SUSANTO–Emisi HFC China, seperti tercantum pada https://chineseclimatepolicy.energypolicy.columbia.edu/en/hfcs-and-cfcs
Dua dugaan
Dari temuan dengan disparitas sangat besar antara emisi yang diharapkan dan yang disimpulkan dari pengamatan, para peneliti menduga terdapat penurunan yang dilaporkan China dan India belum sepenuhnya terwujud. Dugaan lain, terdapat produksi gas HCFC-22 yang tidak dilaporkan sehingga otomatis menghasilkan emisi produk sampingan HFC-23 yang tidak terhitung.
Matt Rigby, ilmuwan dari Bristol University, tim penulis jurnal tersebut, menyatakan, konsentrasi gas yang memiliki faktor emisi gas rumah kaca hingga 12.000 kali dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2) ini tercatat pada tingkat rekor tertinggi. Penurunan emisi gas tersebut selain melindungi Bumi dari sengatan langsung sinar matahari yang menembus ozon, sekaligus membantu menyelamatkan Bumi dari krisis perubahan iklim.
”Gas rumah kaca yang kuat ini telah berkembang pesat di atmosfer selama beberapa dekade sekarang dan laporan-laporan ini menunjukkan bahwa kenaikan seharusnya hampir sepenuhnya berhenti dalam waktu dua atau tiga tahun. Ini (seharusnya) akan menjadi kemenangan besar bagi iklim,” katanya dalam The Guardian, 21 Januari 2020.
Para ilmuwan mengatakan fakta bahwa mereka menemukan emisi telah meningkat adalah sebuah teka-teki dan dapat memiliki implikasi untuk Protokol Montreal, sebuah perjanjian internasional yang dirancang untuk melindungi lapisan ozon stratosfer.
Kieran Stanley, penulis utama studi ini, menyatakan, ”Studi kami menemukan bahwa sangat mungkin China belum berhasil mengurangi emisi HFC-23 seperti yang dilaporkan.” Terkait India, ilmuwan membutuhkan pengukuran tambahan untuk memastikan India telah mampu mengimplementasikan program pengurangannya.
Temuan ini pun menyadarkan para ilmuwan untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok riset internasional lain guna menghitung emisi HFC pada skala regional. Ini untuk mendeteksi ”kebocoran pelepasan” emisi yang masih sangat besar pada skala lebih kecil dan bisa diketahui sumbernya.
Pada awalnya, temuan HFC dipuji sebagai jawaban atas lubang di lapisan ozon yang muncul di Antartika pada 1980-an karena mereka menggantikan ratusan zat kimia yang banyak digunakan dalam aerosol yang menipiskan lapisan tipis ozon yang melindungi Bumi dari sinar berbahaya dari Matahari. Namun, dalam beberapa tahun terakhir telah muncul kekhawatiran tentang bagaimana gas rumah kaca yang berpotensi merusak upaya untuk menjaga pemanasan global di bawah tingkat berbahaya.
Kieran Stanley menambahkan, temuan ini bukan pertama kalinya bahwa tindakan pengurangan HFC-23 menarik kontroversi. ”Studi sebelumnya menemukan bahwa emisi HFC-23 menurun antara 2005 dan 2010 karena negara-negara maju mendanai pengurangan di negara-negara berkembang melalui pembelian kredit di bawah Mekanisme Pembangunan Bersih pada UNFCCC,” katanya.
Pada Amendemen Kigali, negara-negara industri setuju untuk mengurangi produksi dan konsumsi 10 persen HFC pada 2019 dengan pengurangan yang mencapai 85 persen pada 2036. Negara berkembang setuju untuk memulai pengurangan HFC pada 2024 dan menurunkannya 80 persen pada 2045. China bergabung dengan kelompok kedua.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 25 Januari 2020