Emisi gas karbon di wilayah barat Indonesia dalam beberapa periode sejak 2004-termasuk tahun lalu-di atas rata-rata global. Pemantauan di stasiun Global Atmospheric Watch Bukit Kototabang (GAW-BKT), Sumatera Barat, itu dibandingkan rata-rata tingkat emisi di 32 stasiun GAW di seluruh dunia.
Konsentrasi karbon dioksida (CO2) pada November 2015 di stasiun pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) itu tercatat 402,7 bagian per juta (ppm). Adapun rata-rata dunia 400,2 ppm. “Tingginya konsentrasi November itu disebabkan kabut asap Sumatera tahun lalu,” kata Kepala Stasiun GAW-BKT Edison Kurniawan di sela-sela kunjungan Menteri Lingkungan Hidup yang juga Wakil Presiden Swiss Doris Leuthard di Kantor Pusat BMKG, di Jakarta, Rabu (30/3).
Menurut Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Dodo Gunawan, akibat merebaknya kebakaran hutan dan El Nino berintensitas kuat, emisi CO2 sekitar April masih 398 ppm. Data historis 12 tahun terakhir, di luar tahun lalu, tingkat konsentrasi di atas rata-rata global, antara lain medio 2005.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika dibandingkan dengan data dunia, di BKT dan Mauna Loa, Hawaii, Amerika Serikat, tren kenaikan emisi CO2 per tahun berpola sama. Catatan di GAW-BKT, kenaikan emisi CO2 mencapai 3 ppm per tahun. Namun, rata-rata emisi CO2 pada periode 2004-2015 di BKT 383,5 ppm, masih di bawah Manoa Loa sebesar 388,9 ppm. “Kondisi global 387,8 ppm,” papar Dodo.
Pemantauan GRK
Pemantauan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), pemicu pemanasan global, terutama gas karbon di Indonesia, menurut Kepala BMKG Andi Eka Sakya, akan ditingkatkan. Itu karena posisi geografisnya yang strategis dan berpengaruh penting bagi terjadinya perubahan iklim.
Peningkatan pemantauan GRK, terutama karbon dan aerosol, dilakukan dengan membangun stasiun GAW di Palu, Sulawesi Tengah dan Sorong, Papua Barat. Dua stasiun itu masing-masing akan memantau kondisi atmosfer di kawasan tengah dan timur Indonesia.
Untuk pembangunan dua stasiun GAW yang baru itu, BMKG didukung peralatan dan pelatihan dari Swiss terkait program kerja sama Capacity Building and Twinning for Climate Observing System (CATCOS) sejak tahun 2012. CATCOS adalah proyek kerja sama yang diinisiasi The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) dengan MeteoSwiss sebagai mitra.
Pembangunan fisik dua stasiun itu menggunakan anggaran negara lebih dari Rp 3 miliar. “Stasiun itu sekarang tengah dalam uji operasional. Peresmiannya paling lambat akhir tahun ini,” jelas Andi.
Melalui program itu, telah dipasang alat pemantau aerosol dan karbon hitam di Stasiun Bukit Kototabang pada Juni 2012. Selain itu, ada pelatihan staf dari stasiun GAW untuk pemantauan analisis data aerosol dan karbon di Paul Scherer Institute di Villigen, Swiss.
Hasil pengamatan aerosol dan karbon itu lalu dimuat dalam jaringan pusat data internasional (EBAS) di Norwegian Institute for Air Research. Data itu untuk menganalisis kabut asap di Sumatera Barat akibat kebakaran hutan di Provinsi Riau periode 2012-2015. (YUN)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Emisi Karbon Indonesia di Atas Rata-rata Dunia”.