Emisi Biodiesel Rendah Bila Bukan Dari DeforestasiAnalisis daur hidup biodiesel menunjukkan emisi bahan bakar nabati dari pengolahan minyak kelapa sawit lebih rendah bila bukan berasal dari deforestasi. Emisi pun bisa ditekan lebih rendah bila produktivitas optimal dan limbah cair dari pabrik kelapa sawit tak melepas gas metana yang setara 20 kali emisi gas karbondioksida.
Di Indonesia, petani kelapa sawit yang mengelola 40,28 persen dari total luas lahan sawit juga memegang kontribusi penting untuk menjaga biodiesel Indonesia rendah emisi. Hal itu bisa terjadi dengan mendekatkan pabrik kelapa sawit dengan kebun masyarakat, efisien pemakaian pupuk, serta meningkatkan produktivitasnya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Petani sawit di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan sedang memanen hasil sawitnya pada Agustus 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu mengemuka dalam diseminasi hasil penelitian Emisi Produksi Biodiesel Di Indonesia Berdasarkan Analisa Daur Hidup yang dilakukan Traction Energy Asia, Selasa (7/5/2019) di Jakarta. Organisasi masyarakat tersebut menghitung jejak karbon pada kebun kelapa sawit masyarakat di Siak, Pelalawan (Riau), Sintang, dan Sanggau (Kalimantan Barat) serta menganalisa publikasi laporan keberlanjutan terbaru dari perusahaan kelapa sawit Musim Mas, Golden Agri Resources, Wilmar International, dan Asian Agri.
Dari sisi produktivitas, mengutip data Kementerian Pertanian 2015-2017, penguasaan lahan swasta mencapai 53,12 persen dengan kontribusi produksi 58,56 persen, penguasaan kebun masyarakat 40,28 persen dengan kontribusi produksi 33,88 persen, dan penguasaan lahan BUMN 6,61 persen dengan kontribusi produksi 7,55 persen.
Melihat angka ini, kebun masyarakat memiliki kontribusi amat rendah sehingga berpotensi ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit maupun olahannya, terutama biodiesel, dalam peningkatan bauran di masa mendatang, tanpa membuka lahan baru.
–Diseminasi hasil penelitian Emisi Produksi Biodiesel Di Indonesia Berdasarkan Analisa Daur Hidup yang dilakukan Traction Energy Asia, Selasa (7/5/2019) di Jakarta. Organisasi baru tersebut menghitung jejak karbon pada kebun kelapa sawit masyarakat di Siak, Pelalawan (Riau), Sintang, Sanggau (Kalimantan Barat) serta analisa publikasi laporan keberlanjutan terbaru dari perusahaan kelapa sawit Musim Mas, Golden Agri Resources, Wilmar International, dan Asian Agri.
Dalam paparan diseminasi tersebut, Dhiah Karsiwulan menyatakan, emisi karbon pada biodiesel dari kebun masyarakat disumbangkan oleh transportasi serta penggunaan pupuk. Terkait transportasi, jarak kebun sawit ke pabrik kelapa sawit (PKS) di Riau memiliki jarak rata-rata 11,6 kilometer dan di Kalbar berjarak rata-rata 59,06 kilometer.
Dari sisi produktivitas, kebun masyarakat di Riau sebanyak 10,44 ton tandan buah segar per ha per tahun dan di Kalbar 13,47 ton tandan buah segar per ha per tahun. Fungsi awal lahan bervariasi dari ladang, semak belukar, kebun karet, hingga hutan.
Dalam riset itu, Traction Energy Asia menggunakan batas waktu tahun 2005 (seperti Roundtalbe Sustainable Palm Oil) untuk membatasi sejarah penggunaan lahan. Bila pada masa awal kebun sawit tersebut berasal dari alih fungsi lahan (LUC) hutan dan gambut maka emisi yang dihasilkan dari biodiesel sangat tinggi karena mengukur kehilangan kemampuan hutan menyerap emisi maupun gambut yang melepas emisi tiap periode.
Pada lahan masyarakat, biodiesel bauran 20 persen (B20) yang dihasilkan dari lahan gambut menghasilkan emisi GRK 6,08 kilogram setara karbondioksida per liter (kgCO2eq/L) di Kalbar dan 7,09 kgCO2eq/L di Riau. Ini jauh di atas emisi GRK dari diesel berbahan murni fosil sebesar 3,14 kgCO2eq/L.
Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian Kabinet Gotong Royong, mengapresiasi riset itu. Namun kritiknya, emisi GRK dari bahan diesel murni belum memperhitungkan emisi akibat pemboran, penyulingan, dan transportasi. Karena itu, perbandingan emisi antara biodiesel dan solar ini dinilai tak setara.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodisel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan biodiesel akan sangat membantu kemandirian energi Indonesia. ini karena separuh kebutuhan bahan bakar minyak fosil Indonesia berasal dari impor yang juga meninggalkan jejak karbon tinggi.
Ia menambahkan, mitigasi emisi dari LUC pun telah menjadi program pemerintah melalui moratorium izin kehutanan dan moratorium pembukaan kebun kelapa sawit. Pemerintah perlu didorong untuk meningkatkan perbaikan tata kelola sawit, terutama membantu petani untuk meningkatkan produktivitasnya sehingga kebutuhan minyak sawit bisa diperoleh tanpa membuka lahan baru.
Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama mengakui penelitian itu memiliki sejumlah kekurangan. Namun, kata dia, penelitian ini membuka mata bahwa biodiesel dari sawit juga melepas emisi tinggi bila berasal dari LUC hutan dan gambut. “Pemerintah terus mempromosikan biodiesel dari sawit sebagai energi bersih dan mengabaikan emisi dari proses produksinya,” katanya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Tommy Pratama
Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, Selasa (7/5/2019) di Jakarta usai diseminasi hasil riset organisasinya Emisi Produksi Biodiesel Di Indonesia Berdasarkan Analisa Daur Hidup.
Dengan memperhitungkan emisi produksi biodiesel, Indonesia bisa meningkatkan posisi tawar karena menjamin rantai pasok yang berkelanjutan karena bisa ditelusuri dan diverifikasi. Ini termasuk memperbaiki Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) dengan memasukkan emisi karbon dari produksi biodiesel, PKS, dan distribusi CPO.
Emisi karbon dari produksi CPO berasal dari limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) yang dibiarkan membusuk pada kolam-kolam penampungan. Menurutnya baru 11 persen PKS di seluruh Indonesia yang menggunakan teknologi penangkap metana (CH4).
Padahal instalasi penangkap metana ini bisa mengurangi emisi di PKS berkisar 50-80 persen. Selain itu, POME bisa diolah menjadi biogas dan listrik yang bermanfaat bagi internal perusahaan maupun masyarakat sekitar. Bila PKS bisa diwajibkan memiliki instalasi penangkap metana ini, jejak karbon pada proses produksi biodiesel akan berkurang serta mendatangkan manfaat biogas.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 8 Mei 2019