Penguatan El Nino menyebabkan intensitas hujan di sebagian besar wilayah Indonesia menurun dibandingkan rata-rata klimatologisnya. Namun demikian, hujan ekstrem dalam durasi singkat masih terjadi di beberapa daerah sehingga memicu banjir.
“Saat ini sebagian zona musim di Indonesia, termasuk Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur telah memasuki musim pancaroba. Curah hujan secara rata-rata dasariannya juga telah menurun, namun demikian masih ada beberapa hujan kategori ekstrem,” kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
–Sebaran intensitas hujan di wilayah Indonesia pada tanggal 3-4 April 2019. Sumber: BMKG
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut data BMKG, intensitas hujan di Jawa Barat bagian barat pada sepuluh hari terakhir di bulan Maret, meliputi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat mencapai 10 – 20 persen di bawah normal rata-rata klimatologisnya. Intensitas hujan normal pada Maret sekitar 150-200 milimeter (mm) per 10 hari. Namun, hujan yang terjadi hanya sekitar 150 mm per 10 hari.
Sekalipun curah hujan secara klimatologisnya menurun, namun frekuensi hujan ekstrem ternyata meningkat. Hingga saat ini, beberapa kali terjadi hujan ekstrem dalam durasi pendek sehingga memicu banjir di sebagian wilayah Jakarta dan Bandung. “Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi hujan ekstrem dengan durasi pendek ini,” kata dia.
Kajian Siswanto menemukan, dalam 10 tahun terakhir, hujan ekstrem dengan durasi kurang dari tiga jam di Jakarta telah meningkat hingga 25 persen. Selain itu, frekuensi hujan di atas 60 mm per jam dalam setahun mencapai 3-4 kejadian, padahal dulu hanya 2-3 kejadian per tahun. “Perubahan pola hujan ini harus diantisipasi tata kota kita karena bisa memicu banjir,” kata dia.
Waspada El Nino
Deputi Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, menurunnya curah hujan dibandingkan rata-rata klimatologisnya disebabkan oleh fenomena El Nino, yang mulai menimbulkan dampak terhadap cuaca di Indonesia sejak Maret lalu. Sekalipun El Nino sudah diketahui aktif sejak akhir tahun lalu, namun dampaknya tertutupi oleh musim hujan. Namun, menurunnya angin munson Asia membuat pengaruh El Nino semakin signifikan.
–El Nino diperkirakan menguat hingga skala menengah sehingga menambah kering musim kemarau. Sumber: BMKG
Data BMKG, rendahnya curah hujan dibandingkan rata-rata iklimnya mulai terjadi sejak Februari dan semakin tinggi pada Maret. Sepanjang Maret tersebut, hanya Jawa Timur dan Jayapura yang lebih basah karena adanya anomali cuaca akibat adanya pola siklonik yang berbarengan dengan aliran Madden Julian Oscilation (MJO) fase basah.
Herizal juga memperingatkan, sepanjang April dan Mei ini sebagian besar daerah akan mengalami penurunan hujan. Pengaruh El Nino juga diperkirakan akan semakin terasa setelah bulan Juni.
Sejumlah lembaga meteorologi dunia, seperti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat dan Japan Meteorological Agency (JMA), termasuk BMKG telah memperkirakan bahwa El Nino akan menguat intensitasnya, dari semula kategori lemah menjadi menengah. Jika sebelumnya anomali suhu permukaan laut di Pasifik bagian tengah lebih hangat 0,5 derajat celcius, pada April-Mei diperkirakan anomalinya mencapai 1 derajat celcius. Pada puncak El Nino pada Juni-Juli-Agustus, anomali suhu permukaan laut Pasifik bagian tengah bisa lebih tinggi 1,24 derajat celcius.
El Nino kategori menengah ini diperkirakan akan bertahan hingga bulan September, dan kemudian kembali menurun menjadi kategori lemah. Dengan menguatnya El Nino berbarengan dengan puncak kemarau, diperkirakan tahun ini kekeringan bisa lebih parah. Hal ini dikhawatirkan berdampak pada sektor pertanian selain juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan.–AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 5 April 2019