Widya Nusantara LIPI 2016 ke Sumba dan Gandang Dewata
Tahun ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar ekspedisi riset ke Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat. Mereka tidak hanya mengumpulkan data, tetapi hasil riset juga diarahkan agar bermanfaat secara nyata.
“Menemukan sesuatu yang baru adalah kebahagiaan peneliti, tetapi meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga bagian dari tanggung jawab,” tutur Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain saat peluncuran ekspedisi, Jumat (8/4), di Jakarta. Ekspedisi dinamakan Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) 2016 dengan melibatkan peneliti dari kedeputian ilmu pengetahuan hayati (IPH), ilmu pengetahuan kebumian (IPK), serta ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan (IPSK).
Iskandar mengatakan, setelah keanekaragaman flora, fauna, dan mikroorganisme terdata, riset lebih lanjut di laboratorium kemungkinan akan mendapati spesies-spesies yang bermanfaat untuk manusia, salah satunya untuk bahan obat. Data jenis organisme yang bermanfaat bisa menjadi sumber daya bagi daerah setempat sehingga bisa dijadikan salah satu dasar pembangunan daerah berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekitar 100 peneliti LIPI tergabung dalam EWIN 2016 yang mendapat pembiayaan lebih kurang Rp 2,1 miliar. Tim IPH riset di Sumba dan Gunung Gandang Dewata, sementara tim IPK dan IPSK hanya di Sumba. Menurut rencana, tim IPK dan IPSK beraktivitas lebih dulu, 15 April-6 Mei, disusul tim IPK pada 26 Juli-15 Agustus. Program EWIN dimulai 2007 dengan tujuan Raja Ampat, Papua Barat, dan tahun lalu ekspedisi ke Pulau Enggano, Bengkulu.
Pelaksana Harian Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Witjaksono mengatakan, eksplorasi keanekaragaman hayati di dua lokasi terbagi dalam dua bagian, yaitu pendataan status keanekaragaman hayati serta pemetaan manfaat di bidang pangan, bahan obat, bioenergi, biomaterial, dan jasa lingkungan. Karena termasuk area Wallacea, organisme di Sumba dan Gunung Gandang Dewata diyakini punya tingkat keragaman dan endemisitas (kekhasan) tinggi.
Witjaksono menyebutkan, peneliti berpeluang memperoleh organisme bermanfaat di habitat ekstrem. Ia mencontohkan, Sumba memiliki danau dan air terjun di tanah batu kapur (limestone) yang tergolong basa.
Tanaman yang tumbuh di tanah kapur berarti tahan pada kondisi rendah kadar hara mikro. Tumbuhan kemungkinan berasosiasi atau bersimbiosis dengan mikroba tanah yang membuat kebutuhan hara mikro itu terpenuhi. “Maka, peneliti berpeluang mendapat mikroba yang bisa dijadikan pupuk organik hayati dengan fungsi mengurai hara mikro bagi tanaman,” ujarnya.
Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin menambahkan, ekspedisi tim IPK terkait sumber daya laut di sekitar Sumba bermanfaat bagi perikanan berkelanjutan. Tim memetakan konektivitas ekologi, yaitu perpindahan materi dari satu lokasi ke lokasi lain. Dengan demikian, lokasi ikan saat pemijahan, bertelur, tumbuh, hingga saat fase dewasa terpetakan akurat. Daerah pemijahan ikan, misalnya, perlu dikonservasi.
Manfaat praktis
Semua penemuan manfaat itu butuh waktu panjang. Contohnya, proses penemuan senyawa aktif pada mikroba hingga menghasilkan obat bisa berlangsung belasan hingga berpuluh tahun. Karena itu, tim juga akan menyiapkan hasil riset yang bisa langsung diterapkan.
Daerah sasaran di Sumba adalah Taman Nasional Laiwangi- Wanggameti dengan sumber daya pemandangan alam. Keanekaragaman hayati juga jadi daya tarik, misalnya julang sumba (Rhyticeros everetti) endemik di Sumba. Dengan demikian, peneliti bisa membantu pemda merancang pengelolaan ekowisata.
Selain itu, ada hasil penelitian yang kemungkinan bisa dijalankan masyarakat dalam kurun waktu setahun sejak ekspedisi. Itu berjalan dari EWIN 2015 ke Enggano. Menurut Witjaksono, peneliti mendapat bakteri asam laktat penghasil senyawa yang mampu mengawetkan makanan.
“Itu langsung dimanfaatkan masyarakat,” ujarnya. Bakteri asam laktat bisa diperbanyak untuk pengawet ikan. Langkah selanjutnya, pelatihan menumbuhkan mikroba dan mengawetkan ikan dengan mikroba itu sehingga masyarakat berdaya meningkatkan kesejahteraan.
Peneliti pada kedeputian IPSK, Anas Saidi, menambahkan, tim IPSK bakal mencoba pendekatan penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan agregat dan nonagregat guna membantu pemda di Sumba merancang pembangunan berkelanjutan. Selama ini, program mengatasi kemiskinan cenderung gagal karena hanya fokus pada faktor agregat, seperti sandang, pangan, dan rumah. Padahal, faktor nonagregat, seperti modal sosial dan harga diri, juga penting. (JOG)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Ekspedisi Kejar Manfaat Nyata”.