Belum lama ini peneliti memaparkan peran penting hutan mangrove dalam menyimpan substrat atau sedimen kaya karbon. Kondisi lingkungan tanpa oksigen (anaerob) membuat serasah dan sampah organik terjebak di ekosistem mangrove dan tersimpan ratusan tahun yang membuat tebal sedimen mencapai tiga meter. Prosesnya mirip hutan gambut.
Matthew Warren dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) Bidang Kehutanan saat di Bali mengatakan, jarak tanaman mangrove dengan pantai mempengaruhi kandungan karbon. Substrat yang makin ke daratan punya ketebalan karbon tinggi.
Sebaliknya, ketebalan karbon pada substrat mangrove di garda depan pantai makin tipis. Gelombang dan pasang surut air laut membongkar tumpukan serasah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun lalu Daniel Murdiyarso dan beberapa peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) meneliti kandungan karbon pada hutan mangrove di Tanjung Puting (Kalimantan Selatan), Segara Anakan (Jawa Tengah), dan Taman Nasional Laut Bunaken (Sulawesi Utara).
Hasilnya, kandungan karbon pada bagian atas substrat, seperti batang dan daun, sekitar 150 ton per hektar. Di hutan daratan rata-rata 200 ton per hektar.
Saat dihitung massa pada bagian bawah atau substrat, termasuk akar, kandungan karbon mencapai 1.000 ton per hektar. Karbon-karbon itu bisa terurai dan terlepas ke atmosfer bila mangrove terusik.
Penebangan tanaman mangrove untuk kayu bakar, budidaya, dan pembuatan infrastruktur jalan maupun dermaga dipastikan mengoyak substrat bagian bawah. Hasilnya, karbon yang lima kali lipat dibanding hutan biasa itu terurai ke udara dan menambah unsur gas rumah kaca di atmosfer.
Bisa dikatakan perusakan satu hektar hutan mangrove sebanding dengan lima hektar hutan biasa. ”Mangrove sangat penting diperhitungkan dalam mitigasi perubahan iklim,” kata Sofyan Kurnianto, peneliti CIFOR.
Penelitian baru
Diakui Sofyan, kajian penghitungan karbon pada bagian bawah tanah itu masih baru. Literatur ataupun acuan penelitian belum banyak ditemukan.
Louis Verchot, peneliti senior CIFOR mengatakan, temuan kandungan karbon dalam mangrove penting bagi isu pengurangan emisi deforestasi dan kerusakan lahan (REDD+). Indonesia berpotensi besar karena punya 3,1 juta hektar lahan hutan mangrove (22,6 persen dunia).
Menurut Verchot, penghitungan hutan mangrove atau gambut jauh berbeda dengan hutan tropis umumnya. Kerapatan tanaman mangrove lebih tinggi empat kali lipat dibandingkan hutan tropis pada umumnya.
Selain itu, penyimpanan karbon mangrove ada di dalam tanah. ”Tak bisa dihitung berdasarkan luasan hektar biasa. Harus diperhitungkan kedalaman kandungan karbonnya,” kata dia.
Fungsi ekonomis yang seksi bagi isu perdagangan karbon itu tak kalah dibandingkan fungsi ekologis mangrove. Mangrove adalah benteng pesisir garis pantai Indonesia sepanjang 55.000 kilometer, terpanjang kedua setelah Kanada.
Kajian di daerah bencana menunjukkan, hutan mangrove berperan penting menghambat laju gelombang tsunami. Selain itu, juga menyaring polutan organik dan kimia dari air yang menjaga kualitas air ekosistem terumbu karang dan lamun tetap baik.
Mangrove juga terbukti sebagai area pengasuhan dan pembesaran berbagai ikan laut terumbu karang dan lamun yang bernilai ekonomi tinggi.
Temuan baru peran mangrove bagi perubahan iklim itu semestinya mendorong Indonesia untuk lebih menjaga kekayaan alamnya. (ICHWAN SUSANTO)
Sumber: Kompas, 19 April 2011
keterangan foto depan: Nusa Lembongan di Provinsi Bali memiliki 230 hektar hutan mangrove. Sebagian di antaranya rusak, seperti terlihat pertengahan April 2011. Kini digiatkan penanaman kembali mangrove untuk mencegah abrasi dan penyaring sampah organik perairan untuk melindungi budidaya rumput laut. Belum lama ini peneliti memaparkan peran penting lain mangrove sebagai penyimpan karbon. [KOMPAS/ICHWAN SUSANTO]