Silang pendapat yang hangat dan demonstrasi panas berkisar tentang pengaturan terhadap jasa transportasi berdasarkan aplikasi.
Dari pihak yang ingin jasa ini dilarang atau diatur diberikan pandangan bahwa pemerintah tak adil jika jasa ini tak diatur seperti jasa transportasi taksi resmi yang mengharuskan dipenuhinya berbagai syarat, seperti pangkalan dan pemeriksaan kir; pengguna jasa tak dilindungi hukum jika terjadi sesuatu; jasa tersebut tak dipajaki sebagai penyedia jasa transportasi; dan bahwa mereka tak bisa dikategorikan sebagai perusahaan penyedia transportasi, melainkan perusahaan aplikasi karena itu membingungkan pengaturannya.
Dari pihak yang pro adanya taksi berbasis aplikasi adalah bahwa pengadaan jasa semacam ini membuat efisien bagi semuanya yang merupakan inti dari keuntungan teknologi; taksi resmi sangat mahal bagi kebanyakan orang; jasa model ini dapat membagi kue ekonomi lebih luas dan bahwa bagaimanapun ada bentuk kontrol atas mitra penyedia jasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagian pengamat mengangkat persoalan ini dari perspektif ekonomi politik pemerintah dalam mengatur berbagai pihak yang terlibat dalam pengadaan jasa transportasi. Mereka mempertanyakan di manakah pemerintah akan berpihak: apakah pada perusahaan taksi yang bermodal besar di mana keuntungan lebih banyak diraup sebagai suatu perusahaan ketimbang para sopir dan memberi pajak yang lebih besar bagi negara, ataukah memberikan keuntungan ekonomi langsung bagi penyedia jasa dan masyarakat?
Ketegangan yang muncul antara penyedia transpor konvensional dan yang berbasis aplikasi lebih dari persoalan apakah jasa transportasi aplikasi harus diatur pemerintah atau tidak. Ketegangan ini merupakan cermin beberapa persoalan yang lebih mendasar, yaitu tujuan pengaturan, makna keadilan, dan makna perusahaan dalam masyarakat modern.
Untuk apakah tujuan suatu regulasi? Apakah keberadaan suatu regulasi menguntungkan masyarakat ataukah dasar alasannya tidak tepat lagi? Terhadap taksi konvensional, alasan dari beberapa keharusan di atas adalah untuk keselamatan penumpang. Untuk taksi aplikasi, kondisi dan perawatan mobil terletak pada tangan pemilik. Pengaturan juga meliputi tarif. Pemerintah punya kepentingan mendapatkan pajak dari transaksi ekonomi. Pertanyaan untuk taksi Uber, mekanisme apakah yang dapat menggantikan pengecekan kendaraan? Sementara itu, kewajiban kir dapat diletakkan pada taksi aplikasi, apalagi biayanya tidak mahal.
Kendaraan pribadi memang sudah membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pajak sebagai taksi terdaftar. Namun, karena memang dalam kenyataannya ada kegiatan transaksi ekonomi, pembayaran pajak kegiatan ini tak bisa dinafikan begitu saja. Setidaknya penggunaan jalan raya oleh pengguna taksi mana pun menggunakan biaya publik. Apalagi mengingat bahwa adanya kecenderungan mengecilnya skala taksi konvensional karena persaingan. Hanya perlu dicari rumus yang lebih adil mengingat bahwa pengemudi taksi aplikasi juga harus membayar pajak. Selain itu, penggunaan terhadap sumber daya publik dari taksi aplikasi dapat dikurangi karena tidak perlu berkeliaran mencari penumpang.
Biaya mengadakan pul adalah sesuatu yang justru bisa diatasi oleh kemajuan teknologi informasi (TI). Kemajuan TI bisa mengerem kebutuhan akan lahan dan gedung sebagai wadah fisik yang mencirikan kegiatan usaha hingga abad ke-20. TI memungkinkan koordinasi mobilisasi sumber daya yang lebih efisien
Salah satu kelebihan taksi konvensional adalah adanya suatu perusahaan yang melakukan kontrol atas produk akhir, termasuk kelayakan pengemudi. Perusahaan punya pengawasan bertingkat-tingkat yang lebih memungkinkan memantau perilaku yang anti sosial. Penumpang taksi, terutama wanita, sangat memperhatikan aspek keselamatan. Taksi berdasarkan aplikasi mengandalkan pada pendaftaran mitra dan rekaman on the spot semua tentang siapa sopir yang mengambil pesanan dan siapa penumpang. Dalam hal ini perusahaan pengelola aplikasi harus didorong mengantisipasi berbagai risiko dan menilai kecukupan mekanisme kontrol yang ada.
Aspek keadilan
Bagaimana dengan isu keadilan? Dalam kerangka konvensional, pemerintah adalah pengatur sumber daya agar terjadi kesejahteraan umum melalui pajak. Pajak digunakan untuk pembangunan. Taksi aplikasi adalah salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang disebut “ekonomi berbagi”. TI memungkinkan partisipasi ekonomi lebih luas dan mobilisasi sumber daya yang fleksibel. Keuntungan ekonomi langsung dirasakan manfaatnya oleh anggota masyarakat tanpa menunggu redistribusi negara.
Tentu yang dapat berpartisipasi adalah anggota masyarakat yang memiliki aset tertentu, seperti rumah, mobil, dan sepeda motor. Namun, batasan keikutsertaannya jauh lebih inklusif daripada aset yang dikelola suatu perusahaan. Tentu bisa dibayangkan bahwa sejumlah sopir taksi bisa kehilangan penghasilannya di taksi konvensional, sedangkan mereka tak punya aset untuk terdaftar sebagai taksi aplikasi-meskipun saat ini terdengar bahwa beberapa bank maupun perusahaan mobil memperlonggar syarat pengambilan kredit mobil dan motor.
Namun, jangan lupa bahwa sebelum populernya taksi aplikasi, jumlah taksi di jalan juga sudah terlalu banyak. Para sopir taksi sudah berapa tahun belakangan mengeluh atas persaingan yang ketat, bahkan di antara pengemudi di satu perusahaan taksi karena perusahaan terus menerus menambah mobilnya. Para pengemudi tak dapat berbuat banyak karena sempitnya alternatif lapangan kerja.
Dalam setiap zaman akan ada pemain ekonomi baru dan ada yang tertinggal dalam proses. Namun, pemerintah dalam hal ini setidaknya dapat berupaya lebih keras agar para pengusaha taksi lebih memperhatikan kesejahteraan pengemudi. Perusahaan taksi pun mau tak mau harus berubah dari pengelolaan sumber dayanya yang sekarang. Dari segi biaya, taksi terlalu mahal untuk pendapatan orang Indonesia. Ini akan membuat taksi konvensional kehilangan penumpang. Mengapa tidak dipikirkan kemungkinan taksi dikreditkan kepada pengemudi dan kemudian dikelola melalui aplikasi?
Kegiatan ekonomi banyak berubah karena TI. Definisi pelaku ekonomi dan pengelolaan sumber daya mengalami perubahan. Negara pun harus mampu memahami perubahan ini agar dapat menjalankan perannya sebagai pengawas dan redistributor ekonomi.
Meuthia Ganie-Rochman ahli sosiologi organisasi, mengajar di Universitas Indonesia
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2016, di halaman 7 dengan judul “Ekonomi Berbagi dan Negara”.