Pemerintah Diminta Mengkaji Ulang Rencana Pembangunan
Kebakaran hutan dan lahan gambut pada 2015 menghancurkan 2,1 juta hektar lahan Indonesia. Pada sesi pembukaan Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Presiden Joko Widodo berjanji, Indonesia siap menjadi bagian dari solusi perubahan iklim.
Dalam pidato yang disampaikan 30 November 2015 di Paris tersebut, Presiden Jokowi, antara lain, mengatakan, “Pemerintah yang saya pimpin akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan.”
Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan terluas di dunia selalu disebut salah satu “paru- paru” dunia. Menjelang Konferensi Perubahan Iklim, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan, pada Juni-Oktober 2015 yang menyebabkan kerugian sekitar Rp 221 triliun (Kompas, 16/12/2015) dan emisinya disetarakan 1 miliar ton ekuivalen gas karbon dioksida dari kajian Guido van der Werf, seperti dilansir Eco Business.com, yang berarti lebih dari emisi satu tahun Jerman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pengelolaan kawasan hutan, kebijakan pemerintah masih lemah. Bahkan, sebagian menuai masalah di lapangan. Januari 2015 terbit peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan yang mengalihkan masyarakat adat dan warga lokal-yang mampu berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.
Di Kabupaten Tebo, Jambi, sebuah proyek restorasi ekosistem mendapat penolakan sebagian kelompok adat. Masyarakat Desa Pemayungan, Kecamatan Pemayungan, Desember 2015, mengadukan penolakan mereka melalui Walhi Jambi.
Penolakan muncul karena tujuan restorasi tidak jelas, tak terbukanya informasi bagi masyarakat, serta ancaman hilangnya wilayah kelola masyarakat. Mereka juga mendapat ancaman dari perusahaan penerima konsesi.
Di sisi lain, kebijakan baru pasca kebakaran lahan dan hutan yang melarang pembakaran lahan seluas 2 hektar juga menyisakan kebingungan bagi warga Desa Sungai Bungur, Muaro Jambi. Selama ini, mereka membakar lahan untuk berladang dan berkebun dengan membuat parit agar aman. Kini, mereka menanti solusi dari pemerintah karena hasil panen terancam turun.
Di Kalimantan Tengah, program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) kerja sama dengan Norwegia juga terhenti, menunggu kelanjutan tahap kedua. Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Mursid Marsono mengatakan, “Karena ada pembubaran (Badan REDD+), maka ada renegosiasi dan harus disusun program baru.”
Selama tahap pertama, masyarakat mendapat manfaat dari berbagai bantuan. Kegiatan lain, reformasi dan penegakan hukum, resolusi konflik, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, perhutanan sosial, penguatan kelembagaan, serta pelibatan para pihak.
Tidak prioritas
Menurut juru kampanye hutan dari Greenpeace Indonesia, Teguh Surya, pemerintahan Jokowi menomorsatukan pembangunan ekonomi, sementara pertimbangan lingkungan tidak menjadi prioritas.
“Saya belum melihat dalam lima tahun ke depan pemerintah menempatkan pembangunan dalam kerangka pemulihan lingkungan. Pembangunan cenderung mengeksploitasi lingkungan berlebihan tanpa menghiraukan dampak buruk yang tak terpulihkan dan biayanya demikian besar,” ujarnya.
Mengenai pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG), kata Teguh, “Ada momentum kebakaran. Mau tak mau perlindungannya harus progresif. Tetapi, itu dilakukan bukan dalam konteks menjadikan lingkungan sebagai parameter penting untuk pembangunan.” Ia meminta restorasi gambut tak terhenti pada target 2 juta hektar, tetapi ke lahan gambut lain.
Di tengah kondisi itu, Januari 2015 terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pendelegasian wewenang pemberian izin dan non-perizinan di bidang lingkungan hidup serta kehutanan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Itu dilakukan dalam kerangka pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) untuk percepatan izin bagi investor.
Pada 28 Desember 2015 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, yang memiliki semangat percepatan pembangunan infrastruktur dengan kekhususan pada 13 kegiatan, di antaranya pembangunan waduk/dam beserta saluran irigasinya, jalan tol, jalur kereta api, pertambangan, dan instalasi listrik/telekomunikasi.
Dalam Rencana Pembangunan Jangan Menengah Nasional (RPJMN) direncanakan pembangunan 49 waduk, 45.000 kilometer jalan, 252 bandara, dan 8.600 km jalur kereta api.
Menurut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK San Afri Awang, kebijakan itu jalan keluar pembangunan infrastruktur di Jawa yang sering terkendala lahan pengganti dua kali lipat pada daerah dengan tutupan hutan kurang dari 30 persen. Kewajiban menanam akan diarahkan pada daerah aliran sungai kritis. Penggunaan kawasan hutan dengan metode izin pinjam pakai.
Menyikapi semua itu, Teguh mengatakan, “Agar kebijakan Jokowi sejalan dengan pidatonya di Paris, pemerintah harus merevisi dan mengkaji ulang RPJMN. Juga harus mengedepankan partisipasi dan akses informasi pembangunan ke masyarakat.” Dalam niatan berkontribusi menurunkan emisi, Indonesia menargetkan penurunan 29 persen dari emisi tanpa intervensi (BAU) pada 2030 secara mandiri dan turun 41 persen dengan bantuan asing. Target 2020, yaitu 26 persen mandiri dan 41 persen bantuan asing.
Menurunkan emisi bukan berarti tak membangun. Greenpeace menerbitkan alat memetakan kawasan dengan simpanan karbon tinggi dalam konteks pembangunan dengan pendekatan kawasan dan bisa menekan emisi.
Menurut Arnold Sitompul, Direktur Konservasi World Wildlife Fund (WWF), BRG bisa berjalan dengan akuntabilitas tinggi dan partisipasi dari pemangku kepentingan bisa diakomodasi.
(DKA/ICH/ISW/ITA)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Ekologi Semakin Terancam”.