Ecocide, istilah yang mengacu kerusakan ekologis sangat masif, berskala besar, dan sulit terpulihkan, didorong jadi diskursus dalam penguatan konstruksi hukum nasional. Hal itu dilatarbelakangi berbagai kasus kerusakan dan kejahatan lingkungan oleh korporasi yang tak tersentuh oleh konstruksi hukum nasional saat ini.
Dalam diskusi dan peluncuran buku “Ecocide Memutus Impunitas Korporasi”, Selasa (28/5/2019) di Kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta, ecocide didorong untuk menjadi masukan dalam revisi atau amandemen UU no 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perumusan teknis terkait elemen-elemen maupun definisi ecocide sendiri secara hukum akan menjadi pekerjaan rumah pakar hukum, pegiat lingkungan, pemerintah maupun penegak hukum.
—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Selasa (28/5/2019) sore, di Jakarta, meluncurkan buku Ecocide Memutus Impunitas Korporasi. Tampak narasumber dalam diskusi buku tersebut (dari kiri) Herlambang P Wiratraman (Fakultas Hukum Universitas Airlangga), Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM), Yati Andriyanti (Kontras), M Ridha Saleh (penulis buku dan Walhi Institute), dan moderator Yuyun Harmono (Walhi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peluncuran buku itu menghadirkan Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Yati Andriyanti (Koordinator Kontras), Herlambang P Wiratraman (Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya), M Ridha Saleh (penulis buku dan Walhi Institute), serta moderator Yuyun Harmono (Walhi). Buku serupa pernah ditulis Ridha Saleh pada tahun 2005 dengan judul “Ecocide Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM yang juga diterbitkan Walhi.
Herlambang P Wiratraman sepakat agar ecocide diwadahi dalam hukum nasional di Indonesia. Ia melihat pembicaraan global terkait ecocide menguat serta kondisi Indonesia sudah sangat membutuhkan hukum lebih kuat dan menggiring para perusak lingkungan yang masif.
“Perubahan iklim sudah sangat terlihat di Indonesia hari ini. Ada problem korporasi kita dalam beberapa kasus yang saya kira studi kasus kebakaran hutan dan lahan atau landclearing atau landgrabing atau oceangrabing terus terjadi. Itu langkah maju sangat urgent karena dampak tidak hanya ekologi tapi juga hak-hak manusia,” katanya.
Berbagai kerusakan lingkungan yang amat masif serta penyingkiran masyarakat karena terusir dan tercerabut hak-hak asasinya itu tak tersentuh oleh hukum nasional yang ada. Contohnya, kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi pada tahun 2006 hingga kini.
Komisi Nasional HAM pada tahun 2012 menyatakan peristiwa tersebut tidak termasuk pelanggaran HAM berat bila mengacu pada Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Ridha Saleh, penulis buku yang juga Komisioner Komnas HAM, saat memutuskan kasus Lumpur Lapindo saat itu, mengatakan tidak menemukan unsur kesengajaan Lapindo yang menyebabkan semburan lumpur tersebut.
Namun, imbuh Ridha Saleh, Komnas HAM saat itu memasukkan peristiwa Lumpur Lapindo sebagai ecocide. Rekomendasi lebih lanjut, ecocide dimasukkan dalam revisi/amandemen UU 26/2000.
Herlambang mengatakan kejahatan ecocide sedang menguat dalam pembicaraan globa. setidaknya, hal itu menjadi pembahasan dalam UN Human Rights Council serta diterapkan dalam International Crimincal Court (ICC).
“Di PBB sedang godok konvensi bisnis dan ham (legally binding treaty on business and human rights), sekarang baru guidance (the Guiding Principles on Business and human rights/UNGP) dan tidak ketat dipatuhi,” kata dia.
Di Den Haag, jaksa penuntut Mahkamah Pidana Internasional atau ICC mengambil kebijakan dengan mendorong kejahatan ecosida. Meskipun ruang lingkupnya masih sebatas bagian dari kejahatan perang sehingga terbatas cakupannya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Herlambang P Wiratraman Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.Difoto 28 Mei 2019 usai diskusi buku Ecocide di Markas Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta.
Masih diperdebatkan
Yati Andriyanti, Koordinator Kontras mengatakan konsep ecocide terus berkembang dan masih diperdebatkan. Wilayah diskusi seputar perbedaan ecocide dan kejahatan lingkungan, skala kehancuran, hingga pemulihan serta jaminan tidak terulang, menjadi elemen-elemen pembicaraan.
Merujuk pada ecocide yang masuk dalam kejahatan perang dalam ICC, ia mengatakan poin kunci terpenuhinya kejahatan tersebut adalah adanya niatan/intensi, tindakan serangan terhadap penduduk sipil, serangan terhadap obyek sipil, dan serangan terhadap lingkungan yang meluas dalam skala besar dan terus-menerus. Sementara itu proposal Polly Higgins terkait Rome Statute, menghapus poin kunci “niatan/intensi”.
“Dalam kasus lingkungan, lingkungan dilihat sebagai dampak. Bukan pada kesengajaan atau niat. Proposal Polly (Higgins) bisa dipahami karena kerusakan lingkungan seringkali merupakan dampak,” kata dia.
Ia pun merekomendasikan agar memasukkan ecocide dalam revisi UU 26/2000. Ia mendorong agar para pakar hukum, pegiat lingkungan, serta Komnas HAM perlu mengklasifikasikan elemen-elemen kejahatan ecocide tersebut agar aplikatif.
Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM, pun sepakat memasukkan ecocide dalam revisi UU 26/2000. Diskursus terkait ecocide bisa menjadi masukan penting bagi revisi tersebut selain belum terselesaikannya berbagai pelanggaran HAM berat.
Selain itu, langkah itu dinilai penting di tengah fundalisme pasar (dan agama) yang dinilainya sangat menguat. “Pasar lebih mempengaruhi kebijakan negara daripada negara itu sendiri. Ini dibuktikan statement presiden sekarang ini. Hampir semua tolok ukur dengan investasi. Damai ukurannya investasi. Selalu seperti itu. Pada titik itulah kita bicara ecocide memutus impunitas korporasi. Tapi pada hulunya lah bagaimana korproasi tak berbuat jahat,” ungkapnya.
Sebagai langkah kampanye, ia menyarankan Walhi maupun Kontras untuk masuk dalam pertemuan internasional di Jenewa (United Nations Human Rights Council). Salah satunya adalah, membuat side event terkait kejahatan lingkungan dan HAM. Hal ini bisa menjadi strategi untuk menarik perhatian global dan pemerintah Indonesia. “Indonesia pasti akan kelabakan. Sama kelabakannya kalau (isu) Papua muncul,” ujarnya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 28 Mei 2019