Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tiongkok awal September lalu erat kaitannya dengan hadirnya era baru perekonomian dunia, era ekonomi digital. Presiden tidak ingin tertinggal dari negara lain yang sudah menyiapkan kehadiran era itu. Isu ini bahkan menjadi pembicaraan penting dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 ke-11 di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.
Indonesia, kata Presiden, harus menyiapkan diri mengembangkan perdagangan elektronik atau e-dagang (e-commerce). Terkait itu, Presiden mendatangi perusahaan penyedia infrastruktur teknologi informasi (TI), berbicara dengan pengusaha setempat, dan berkunjung ke raksasa industri e-dagang Tiongkok, Alibaba.com. Selama kunjungan itu, Presiden menjajaki kerja sama, memperluas pasar, dan memperkuat pembangunan jaringan teknologi informasi.
“Ada hal penting yang perlu diwaspadai, yaitu lahirnya revolusi industri baru. Ekonomi digital harus dapat kita kejar agar tidak ditinggalkan,” kata Presiden Joko Widodo sesaat sebelum meninggalkan Hangzhou, Tiongkok, Senin (5/9) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah berkeinginan menjadikan sektor e-dagang menjadi tulang punggung perekonomian ke depan. Mengawali keinginan itu, saat di Tiongkok, pemerintah ingin membuka pasar produk Indonesia hingga ke Tiongkok juga ke pasar global.
Kepada CEO Alibaba Group Jack Ma alias Ma Yun, Presiden meminta kesediaannya sebagai salah satu anggota dewan penasihat tim pengarah pengembangan e-commerce Indonesia. Dengan kerja sama itu, diharapkan setidaknya 8 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhubung jaringan e-commerce global pada tahun 2020. Keinginan ini, ujar Presiden, sejalan dengan prinsip ekonomi nasional yang bersifat terbuka.
KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT–Presiden Joko Widodo menyimak penjelasan pimpinan perusahaan teknologi informasi Huawei terkait pengembangan riset perusahaan itu, di Hangzhou, Tiongkok, Minggu (4/9). Indonesia terus menyiapkan diri mengembangkan sektor e-dagang (e-commerce) dengan menjajaki kerja sama, memperluas pasar, dan memperkuat jaringan teknologi informasi. Selain Presiden Joko Widodo, hadir pada kesempatan itu sejumlah menteri Kabinet Kerja.
Presiden tiba di kampus Alibaba dua hari sebelum menghadiri KTT G-20. Sehari setelah itu, Presiden bertemu dengan sekitar 700 pengusaha Tiongkok di Shanghai. Pada kesempatan ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan kesiapan teknologi informasi Indonesia memasuki era e-commerce.
20 juta transaksi
Direktur Corporate Affairs Alibaba Group Rico Ngai menambahkan, perusahaannya melayani lebih dari 20 juta transaksi lewat situs Alibaba.com per hari. “Ada 85 persen transaksi itu dilakukan via mobile,” kata Rico.
Jenis barang yang dibeli, menurut Rico, berbeda di setiap negara. “Untuk barang elektronik dan gadget, pasar terbesar kami Rusia, Australia, dan UK,” ujarnya.
Ia menyebutkan, saat Maserati meluncurkan produk baru di Alibaba.com, hanya butuh 12 detik untuk menjual 100 mobilnya. Saat Alibaba meluncurkan program Global Shopping Merchant pada November 2015, dalam sehari terjadi transaksi 14,3 miliar dollar AS.
Pria yang tinggal di Hongkong itu mengatakan, dalam satu bulan Alibaba Group memiliki 410 juta pengguna aktif atau sekitar 13 juta dalam satu hari. “Dominasi pengguna mulai dari usia 26 tahun hingga 30 tahun dan pekerja kantoran,” ucap Rico.
Tak semata mencari untung, lanjutnya, Alibaba juga menyediakan kredit bagi pelanggan dari usaha kecil dan menengah (UKM) yang mencapai nilai transaksi tertentu.
“Kami sudah menyalurkan kredit kepada mereka total 781 miliar yuan dan meliputi 4,3 juta UKM,” katanya.
Keberhasilan Jack Ma membangun jaringan e-dagang mengglobal tak lepas dari kehadiran gawai cerdas (smartphone) yang diproduksi di Tiongkok. Menurut Rico, hampir semua gawai buatan Tiongkok sudah diinstal aplikasi Tao Bao, nama e-dagang Alibaba.com.
Ada beragam merek gawai cerdas diproduksi di Tiongkok. Tidak kurang dari 10 merek yang sudah diekspor, bahkan ke Indonesia, seperti Lenovo, Oppo, Xiaomi, Meizu, dan Huawei. Presiden Joko Widodo pun bertemu dengan eksekutif Huawei di Hangzhou.
10 persen revenu
Menurut Wakil Presiden Departemen Komunikasi Korporat Joe Kelly, Huawei didirikan tahun 1987 dengan investasi awal hanya 3.500 dollar AS. Produksi pertama Huawei bukan gawai cerdas, melainkan alat pengalih telepon kabel.
“Tahun lalu pendapatan kami mencapai 60,9 miliar dollar AS dengan jumlah pekerja mencapai 170.000 pekerja dan melayani sepertiga penduduk dunia,” kata Kelly.
Dari 170.000 pekerja, lanjut Kelly, 76.000 orang bekerja di bidang penelitian dan pengembangan. “Setiap tahun kami mengalokasikan 10 persen revenu untuk penelitian dan pengembangan,” katanya.
Di kantor pusatnya di Shenzhen, tak kurang dari 20 panel dan alat peraga serba digital canggih mengisi ruang pamer seluas lebih kurang 1.000 meter persegi itu. Pencahayaan yang temaram kian membuat tampilan tulisan, gambar, serta infografik yang terbias dari panel makin mencorong.
Gawai cerdas terakhir yang diluncurkan Huawei di Indonesia adalah P9 Lite pada Kamis (22/9) lalu. Peluncuran itu mundur dari jadwal semula karena harus menyesuaikan dengan kebijakan kewajiban menyertakan konten lokal pada gawai tersebut. Padahal, gawai ini telah diperkenalkan untuk kawasan Asia Pasifik di Bali pada Mei lalu.
Indonesia bisa belajar bagaimana Tiongkok mengembangkan e-dagang, yang tidak hanya memanfaatkan besarnya peluang, tetapi betul-betul menyiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan. Indonesia tidak bisa meloncat jauh dalam hal e-dagang mengingat baru berencana meluncurkan satelit Palapa Ring untuk membangun infrastruktur jaringan tulang punggung.
Diperlukan kerja keras untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur jaringan telekomunikasi sebelum kita betul-betul masuk ke e-dagang. Persis seperti yang dikatakan Jack Ma, dirinya baru akan menentukan sikap menerima atau tidak tawaran Presiden Joko Widodo jika telah menerima proposal pengembangan e-dagang dari pemerintah.(MBA/NDY)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 24 dengan judul “Melakukan Akselerasi atau Tertinggal”.