Menjalani pengobatan tuberkulosis selama enam bulan saja sudah pasti melelahkan. Apalagi jika harus minum obat hingga belasan butir setiap hari selama dua tahun ditambah setiap hari dalam beberapa bulan awal harus disuntik. Sebuah proses yang butuh tekad, kekuatan, dan kesabaran.
Itulah yang pernah dijalani Ully Ulwiyah, seorang mantan pasien tuberkulosis (TB) yang kemudian mendirikan Pejuang Tangguh, kelompok dukungan mantan pasien tuberkulosis terhadap pasien tuberkulosis terutama yang sudah resisten obat dalam menjalani terapi.
Minum obat selama dua tahun dan disuntik tiap hari selama berbulan-bulan hanya satu sisi klinis yang harus ditanggung Ully. Pengobatan tuberkulosis tidak melulu soal medis. Ada aspek sosial terkait yang perlu diperhatikan yang seringkali memberikan pengaruh pada keberhasilan terapi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjalani pengobatan TB setiap hari tentu akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Produktivitas akan terganggu dan kualitas hidup pun menurun. Pasien TB sering menghadapi stigma dan diskriminasi dari lingkungannya. Tidak jarang pasien TB dikucilkan keluarga, pasien yang perempuan dicerai pasangannya, hingga perlakukan diskriminatif dari tempat kerja.
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Tuberkulosis (TB) masih menjadi beban kesehatan masyarakat global yang tidak kecil. PAda Pertemuan Tingkat Tinggi dalam rangka Sidang Umum PBB di New York, Rabu (26/9/2018), para pemimpin negara di dunia menyatakan komitmennya untuk bersatu dan bermitra menangglangi tuberkulosis.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya kuman ini menyerang paru-paru tetapi bisa juga menginfeksi bagian tubuh lain seperti kelenjar getah bening, selaput otak, usus, kulit, tulang, saluran kemih, saluran reproduksi, mata, tenggorokan.
Penyakit TB menular melalui udara. Kuman TB yang keluar melalui percikan bersin orang yang terinfeksi TB bisa terhirup secara tidak sengaja oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam setahun, satu pasien TB bisa menularkan penyakitnya pada 10-15 orang lainnya.
Di dunia, tuberkulosis termasuk satu dari 10 penyakit yang banyak diderita. Setiap tahun, 1 juta penduduk menderita penyakit tersebut. Laporan Global TB Report 2018 yang diluncurkan beberapa pekan sebelum UNHLM di New York, Amerika Serikat, menunjukkan, diperkirakan ada 10 juta orang di dunia yang terinfeksi TB pada 2017 yang 90 persennya adalah orang dewasa (berusia di atas 15 tahun). Mereka terdiri atas 5,8 juta laki-laki dewasa, 3,2 juta perempuan dewasa, dan 1 juta anak-anak.
Selain TB biasa, penyakit TB yang kuman penyebabnya kebal obat seperti yang pernah diderita Ully pun terus menjadi beban kesehatan masyarakat yang besar. Diperkirakan, 558.000 orang di dunia terinfeksi TB yang telah kebal rifampisin dan isoniazid (obat TB lini pertama). Dari jumlah itu, 82 persen di antaranya telah kebal dua atau lebih obat TB (Multidrugs Resistant TB/ MDR-TB). Hampir separuh kasus MDR-TB berasal dari India (24 persen), China (13 persen), dan Rusia (10 persen). Di Indonesia terdapat lebih dari 5.000 kasus MDR-TB.
Tuberkulosis yang masih jadi beban kesehatan masyarakat secara global telah membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar pertemuan tingkat tinggi (High Level Meeting) yang khusus membahas TB (UNHLM-TB) di New York September 2018 lalu. Tuberkulosis merupakan penyakit kelima yang dibahas PBB dalam UNHLM setelah sebelumnya HIV/AIDS, penyakit tidak menular, Ebola, dan resistensi antimikroba.
Pada salah satu sesi, Nick Herbert dari Global TB Caucus, menyatakan, tidak semestinya para pemimpin dunia berkumpul membahas penyakit TB dalam forum tingkat dunia jika semua negara telah bekerja dengan maksimal untuk mengeliminasi TB. Namun, saat ini dunia masih tetap memikul beban tuberkulosis yang luar biasa besar.
Padahal, TB adalah penyakit masa lalu. Penyebab TB sudah diketahui. Obat untuk menyembuhkannya pun telah tersedia. Bahkan, vaksin untuk mencegahnya juga sudah ada. Lalu mengapa penyakit purba yang ada sejak ribuan tahun tahun lalu ini masih belum bisa diatasi sampai sekarang.
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Para perwakilan negara mengikuti sesi Panel pada Pertemuan Tingkat Tinggi yang membahas tentang penyakit tidak menular dalam rangka Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Kamis (27/9/2018). Selain penyakit tidak menular isu kesehatan lain yang juga dibahas adalah soal epidemi tuberkulosis.
Kasus TB ada pada semua kelompok umur dan semua negara di dunia. Sekitar sepertiga kasus TB berasal dari delapan negara, yakni India (27 persen), China (9 persen), Indonesia (8 persen), Filipina (6 persen), Pakistan (5 persen), Nigeria (4 persen), Bangladesh (4 persen), Afrika Selatan (3 persen). Kedelapan negara ini bersama dengan 22 negara lainnya berkontribusi pada 87 persen kasus TB global. Hanya 6 persen kasus TB di dunia berasal dari Amerika dan Eropa.
Keberadaan Indonesia di posisi ketiga itu sangat ironis. Kuman TB sebenarnya bisa mati oleh cahaya matahari. Tapi justru di Indonesia yang merupakan negara tropis berlimpah sinar matahari, TB masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mengkhawatirkan. Tahun 2017 diperkirakan ada 842.000 kasus TB baru. Dari jumlah itu hanya 442.172 (52,5 persen) yang diketahui. Hampir separuh kasus TB belum tercatat dan terlaporkan.
Pelaporan kasus
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Bambang Wibowo, mengakui, pencatatan dan pelaporan kasus TB di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Tidak semua rumah sakit memiliki tata kelola yang baik. Selain itu, selama ini rumah sakit swasta yang telah memberikan layanan TB belum masuk ke dalam sistem pencatatan dan pelaporan TB nasional sehingga kasus-kasus TB di rumah sakit swasta tidak terpantau dengan baik. “Banyak yang mengerjakan kasus TB tapi tidak lapor pada akhirnya,” ujarnya.
Untuk meningkatkan angka notifikasi kasus, fasilitas kesehatan swasta pun mulai dimasukkan dalam sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB. Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) diintegrasikan dengan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Selain data yang lebih baik langkah ini juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas terapi yang dijalani pasien.
Pengajar di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Erlina Burhan, menyatakan, paradigma dunia bergeser dari sekadar Stop TB menuju End TB. Untuk itu perlu cara-cara baru yang lebih aktif dan progresif untuk menjadikan TB sejarah.
Tidak bisa lagi tenaga kesehatan hanya pasif menunggu pasien TB datang berobat seperti sekarang. Dengan demikian, tenaga kesehatan harus aktif terjun ke masyarakat mencari dan melacak keberadaan penderita TB dan mengobatinya hingga tuntas.
Lebih singkat
Saat ini, penurunan insiden TB secara global hanya 2 persen per tahun. Dengan laju penurunan seperti itu dan cara-cara pasif seperti sekarang maka target eliminasi TB tahun 2035 tidak akan tercapai. Apabila tata laksana kasus dilaksanakan dan jaminan sosial dan kesehatan diimplementasikan maka kecepatan penurunannya bisa 10 persen per tahun.
Kemudian jika cara-cara baru diterapkan seperti pemberian vaksin, pemberian profilaksis sebagai upaya pencegahan, tata laksana terapi lebih singkat, juga penemuan kasus secara aktif, maka laju penurunan insiden kasus TB bisa mencapai 17 persen setahun. “Tata laksana pengobatan MDR-TB yang lebih singkat saat ini sudah dipraktikkan di RS Persahabatan. Harapannya ini bisa mengurangi beban pasien,” kata Erlina.
Salah satu hal yang juga menjadi persoalan dalam pengendalian TB adalah pendanaan program belum optimal. Persoalan itu tidak mudah dicarikan solusinya. Kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta dalam menjamin keberlanjutan pendanaan dinilai potensial tetapi belum menemukan formatnya yang tepat saat ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan profil program TB di Indonesia tahun 2018 sebesar 294 miliar dollar AS. Jumlah itu bersumber dari anggaran domestik (34 persen), internasional (18 persen), dan selebihnya (49 persen) tidak terdanai. Kesenjangan ini menandakan investasi dari berbagai sektor, baik dari pemerintah maupun swasta, masih sangat dibutuhkan.
Dari sisi pendanaan, selain bersumber dari APBN, pendanaan program TB di Indonesia berasal dari Global Fund. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Anung Sugihantono, ada biaya sosial yang dikeluarkan pasien TB ketika menjalani pengobatan yang selama ini memengaruhi pengobatan.
Obat TB memang disediakan gratis oleh pemerintah tap pasien harus mengeluarkan ongkos sendiri menuju fasilitas kesehatan. Belum lagi pekerjaan mereka terganggu selama enam bulan masa pengobatan sehingga mereka kehilangan pemasukan untuk keluarga. “Hal-hal seperti ini yang juga perlu dipikirkan,” ujarnya.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menambahkan, tanggung jawab pengendalian TB tidak bisa diserahkan hanya pada pemerintah sebab aspek kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Tidak mudah mengatasi TB karena penyakit ini multideterminan. Oleh sebab itu, perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memperkuat pendanaan, penjangkauan dan pengobatan bersama organisasi masyarakat sipil, juga pemerintah daerah untuk memastikan TB menjadi program prioritas di daerah.
Aspek nonmedis
Ketua Stop TB Partnership Indonesia, Arifin Panigoro, menyampaikan, tantangan yang dihadapi dalam pengendalian TB tidaklah mudah mengingat banyaknya aspek yang terkait, tidak cuma aspek klinis. Pendanaan dan komitmen pemerintah daerah, misalnya, juga masih jadi persoalan yang tidak kecil.
Untuk itu diperlukan cara-cara baru dalam kampanye untuk mengakhiri TB. Terhadap pihak swasta Arifin yakin ada banyak pengusaha di daerah yang memiliki komitmen dan bersedia menyokong program pengendalian TB.
Menurut Erlina, adalah gila jika mengharapkan hasil lebih dengan cara yang sama berulang-ulang. Perlu ada terobosan nyata dalam program pengendalian TB. Tuberkulosis yang dibiarkan akan terus menyebar, meningkatkan kesakitan, menurunkan produktivitas penduduk, termasuk berujung pada kematian.
Kerugian ekonomi global yang ditimbulkan bisa mencapai 1 triliun dollar AS pada tahun 2030. Target mengakhiri epidemi TB tahun 2030 sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pun tidak akan tercapai.
“Biaya yang mesti dipikul dunia terlalu besar jika tak ada perbaikan signifikan. Akan ada 40 juta pasien TB yang mati pada tahun 2030. Komitmen yang dihasilkan dalam pertemuan ini perlu dibuktikan dengan aksi nyata di lapangan,” kata Nick pada UNHLM-TB September lalu.–ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 22 November 2018