Awalnya, nyamuk hanya endemis di Benua Afrika. Sejak abad ke-16, binatang yang menularkan berbagai penyakit ini menyebar hampir ke seluruh dunia dan menjadi ‘seteru abadi’ umat manusia.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk melenyapkan nyamuk. Dimulai pada tahun 1939, saat Paul Hermann Muller memperkenalkan senyawa DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) sebagai pembasmi serangga.
Semasa Perang Dunia II, DDT banyak dipakai untuk mengendalikan infeksi malaria dan typhus. Saat menginvasi Pulau Saipan di Mariana Utara pada tahun 1944, tentara Amerika menyemprotkan 900 galon campuran DDT dan minyak tanah. Hasilnya, Amerika sukses mengalahkan Jepang sekaligus nyamuk Aedes yang saat itu menyebar wabah Demam Berdarah Dengue (DBD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah perang berakhir, DDT masih dipakai untuk untuk membasmi serangga, baik nyamuk maupun hama tanaman. Muller pada tahun 1948 mendapat Nobel kedokteran atas temuannya tersebut.
Di luar perang, penggunaan DDT pada nyamuk juga mencatatkan kisah sukses di Amerika Latin. Pan American Health Organization (PAHO) di era 1950-1960-an pernah sukses melenyapkan Aedes aegypti di 18 negara Amerika Latin melalui penyemprotan DDT secara massal.
Sayangnya strategi ini butuh kewaspadaan yang konstan dan berkelanjutan. Tak lama setelah penyemprotan dihentikan, nyamuk penular virus Dengue dan Zika tersebut kembali muncul, diduga terbawa oleh kapal-kapal yang berlayar dari Asia dan Afrika.
Belakangan, penggunaan DDT dilarang karena berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dari sisi nyamuk sendiri, resistensi atau kekebalan terhadap DDT makin banyak dilaporkan.
Perang melawan nyamuk pun berlanjut dengan sentuhan bioteknologi. Nyamuk-nyamuk mutan mulai diciptakan untuk mengontrol populasi nyamuk. Modifikasi genetik dilakukan untuk menghasilkan nyamuk mandul, nyamuk tanpa sayap, atau sekedar nyamuk kebal penyakit.
Tahun 2010, nyamuk-nyamuk jantan hasil modifikasi genetik dilepaskan di 3 tempat yakni Brazil, Cayman Island, dan Panama. Nyamuk-nyamuk ini diharapkan akan mengawini nyamuk liar betina. Tercatat, populasi nyamuk di daerah yang menjadi lokasi uji coba turun sebesar 80-90 persen.
Sayangnya, 6 bulan setelah uji coba dihentikan populasinya kembali meningkat. Pro dan kontra juga mewarnai keberlanjutan program tersebut. Sebagian mengkhawatirkan dampaknya bagi keseimbangan ekosistem, sebagian lagi tidak rela daerahnya menjadi kelinci percobaan.
Faktanya, dari sekitar 3.500 spesies nyamuk hanya ratusan di antaranya yang menyerang manusia. Tiga kelompok atau genus nyamuk penular penyakit yang paling banyak dikenal adalah Anopheles yang menularkan Plasmodium Malaria, Aedes yang antara lain menularkan virus Dengue, Chikungunya dan Zika, serta Culex yang menularkan cacing filariasis penyebab Kaki Gajah (Elephantiasis).(up/vit)
AN Uyung Pramudiarja –
Sumber: detikHealth Selasa, 16/02/2016
———–
Binatang Paling Mematikan di Bumi adalah Nyamuk
Berbagai jenis penyakit yang dibawa oleh nyamuk telah membunuh ribuan manusia tiap tahun di seluruh dunia. Tidak salah jika si kecil nyamuk dianggap binatang paling mematikan, lebih banyak memakan korban dibandingkan hiu atau macan.
Tahun 2012, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat ada 627.000 kematian akibat malaria yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Demam berdarah dengue (DBD) yang ditularkan oleh nyamuk Aedes, menjangkiti 390 juta orang pertahun. Sekitar 25.000 di antaranya meninggal dunia.
“Tidak ada binatang di planet kita yang membunuh sebanyak nyamuk,” kata Gordon Patterson, seorang ahli sejarah dari Florida Institute of Technology, dikutip dari Miamihearld, Selasa (16/2/2016).
Sejarah juga mencatat, korban tewas dalam perang antara Spanyol melawan Amerika di Kuba pada abad ke-19 lebih banyak disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes. Perbandingan jumlah tentara yang tewas akibat demam kuning (Yellow Fever), dengan jumlah kematian akibat perang itu sendiri adalah 13:1.
Itu baru korban tewas. Produktivitas juga terdampak oleh berbagai jenis penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Infeksi filariasis yang ditularkan oleh nyamuk Culex contohnya, memicu penyakit kaki gajah atau elephantiasis yang membuat pengidapnya cacat permanen.
Sedangkan yang terbaru, nyamuk Aedes (terutama A.aegypti dan A.albopictus) diduga menyebabkan mikrosefali melalui infeksi virus Zika yang dibawanya. Mikrosefali merupakan cacat bawaan pada bayi, yang membuat lingkar kepala dan otaknya tidak tumbuh normal.
Jutaan tahun lamanya nyamuk hidup berdampingan dengan manusia. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia dalam ‘perang abadi’ melawan nyamuk, namun belum ada yang benar-benar membuahkan hasil memuaskan.(up/vit)
AN Uyung Pramudiarja
Sumber: detikHealth Selasa, 16/02/2016
—————–
Perlukah Nyamuk Dihabisi?
Punahnya satu makhluk pasti berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Tapi jika yang punah adalah nyamuk penyebab berbagai penyakit seperti malaria, demam berdarah hingga chikungnya, adakah dampak negatifnya?
Perlukah serangga satu ini dihabisi agar dunia terbebas dari penyakit akibat serangga?
Nyamuk merupakan salah satu serangga yang sudah ada sejak zaman dulu kala. Peneliti memperkirakan, serangga ini sudah hidup berdampingan dengan makhluk lain di muka bumi ini sejak 100 juta tahun yang lalu.
Dari lebih dari 3.500 spesies nyamuk di muka bumi ini, sebenarnya hanya ada ratusan spesies yang menyerang manusia. Namun tak dapat dipungkiri, nyamuk menjadi salah satu musuh utama karena menularkan berbagai penyakit mematikan.
Berbagai upaya pernah dilakukan oleh manusia untuk melenyapkan nyamuk, terutama jenis tertentu yang menularkan penyakit. Sebagian besar memang masih sebatas riset di laboratorium, namun prospeknya cukup menjanjikan.
Salah satunya pernah dilakukan oleh tim dari University of Oxford. Rekayasa genetika yang dilakukan tim tersebut berhasil menciptakan nyamuk jantan yang jika mengawini nyamuk betina maka akan menghasilkan nyamuk tak bersayap.
Meski bisa menggigit, nyamuk mutan tersebut tidak bisa terbang karena tidak memiliki sayap. Karena nyamuk betina harus terbang untuk bisa minum darah, lama-kelamaan nyamuk tidak bisa berkembang biak lalu punah.
Dengan teknologi yang sama, tim dari University of Arizona juga pernah menghasilkan nyamuk anophales yang kebal virus malaria. Meski tidak bertujuan untuk memusnahkan nyamuk, cara ini juga bertujuan untuk melenyapkan penyakit
malaria.
Seandainya nyamuk-nyamuk mutan itu bisa diproduksi secara masal lalu dilepas ke alam dan menyebabkan kepunahan, dampak seperti apa yang akan terjadi?
Dikutip dari Nature, Rabu (18/8/2010), dampak paling besar dari punahnya nyamuk akan terjadi di habitat tundra (padang es) di kutub utara. Di tempat yang merupakan sarang terbesar bagi spesies nyamuk Aedes impiger dan Aedes nigripes, migrasi burung akan berkurang hingga 50 persen karena berkurangnya salah satu makanan kesukaan para burung.
Migrasi satwa yang lain juga akan terpengaruh, antara lain karibu atau sejenis rusa kutub. Ribuan karibu yang sebelumnya menghindari gigitan nyamuk akan menyerbu wilayah tundra, lalu diikuti para serigala yang merupakan predator utama para karibu.
Spesies ikan pemakan nyamuk, Gambusia affinis juga terancam punah jika nyamuk sudah tidak ada. Punahnya ikan ini sedikit banyak tentunya juga akan berdampak pada rantai makanan yang terjadi di perairan air tawar.
Terlebih lagi, larva atau jentik nyamuk turut memegang peran dalam penguraian sampah organik. Saat berada di genangan air, jentik-jentik tersebut mendapatkan nutrisi untuk tumbuh dari sisa-sisa tanaman yang membusuk.
Namun banyak kalangan menilai, dampak yang terjadi di ekosistem tersebut sebanding dengan tingkat kematian pada manusia akibat gigitan nyamuk. Malaria misalnya, tercatat menelan 247 juta korban jiwa di seluruh dunia setiap
tahunnya.
Apalagi para pakar meyakini, berbagai jenis insektivora (pemakan serangga) tidak akan terlalu kesulitan beradaptasi untuk beralih memangsa serangga lain jika sudah tidak ada nyamuk. Sedangkan untuk penguraian sampah organik, peran jentik nyamuk bukan tak tergantikan karena masih banyak jenis pengurai yang lain.
(up/ir)
AN Uyung Pramudiarja
Sumber: detikHealth Rabu, 18/08/2010