Danang (5) berdiri di depan rak buku setinggi 2 meter pada Rabu (23/12) sore. Matanya mencari-cari buku yang menarik. Setelah itu, ia mengulurkan tangan kanan, menarik sebuah buku tipis penuh warna dari rak. Danang pun segera merebahkan diri di lantai berlapis karpet berwarna merah dan membolak-balik halaman buku.
Danang belum bisa membaca. Jadi, ia asyik mengamati gambar-gambar binatang yang ada di halaman buku. Di sekelilingnya, ada delapan anak dari RW 001 Kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur, yang juga sibuk dengan buku masing-masing.
Perpustakaan di RW 001 itu baru diresmikan pada Minggu (20/12) lalu dan merupakan satu-satunya taman bacaan di wilayah tersebut. Perpustakaan dibangun dengan ukuran 5 meter x 6 meter oleh Yayasan Bulir Padi. Adapun seribu buku yang menjadi isinya merupakan sumbangan dari perusahaan listrik Schneider.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mayoritas pengunjungnya masih anak-anak usia SD dan SMP. Tapi, sedikit demi sedikit anak SMA dan para orangtua mulai datang untuk melihat-lihat,” kata Ofi Farich Faisal, penjaga perpustakaan merangkap Wakil Ketua RW 001. Ia melanjutkan, perpustakaan buka dari pukul 08.00 hingga maghrib. Waktu paling ramai pengunjung adalah pukul 15.00-17.00 ketika anak-anak sudah pulang sekolah.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Anak-anak RW 001 Kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur, menikmati membaca buku di Perpustakaan Bulir Padi yang terletak di lapangan serbaguna RW mereka pada Rabu (23/12). Perpustakaan tersebut merupakan satu-satunya taman bacaan di daerah itu. Perpustakaan tersebut diharapkan dapat meningkatkan minat membaca.
Selain itu, perpustakaan berada di lapangan serbaguna RW 001 yang di dalamnya juga ada mushala, tempat penitipan anak, dan karang taruna. Jadi, setelah anak-anak selesai belajar mengaji, mereka bisa berkunjung ke perpustakaan.
Inisiatif warga
Perpustakaan Bulir Padi dibangun oleh Yayasan Bulir Padi, sebuah lembaga yang sejak berdiri pada tahun 2002 fokus pada pendidikan anak-anak dari kalangan ekonomi lemah. Sebelumnya, mereka juga mendirikan perpustakaan serupa di Lapangan Rengas, Palmerah, Jakarta Barat.
Menurut Wakil Ketua Yayasan Bulir Padi Illiana Wijanarko, yayasan tersebut fokus menolong anak-anak miskin kota dari wilayah kumuh ringan hingga sedang. Pertolongan diberikan dalam bentuk intervensi, seperti memperkenalkan mereka pada buku serta berbagai kegiatan produktif lain yang juga sekaligus menambah ilmu. Contohnya ialah belajar membuat biodata, belajar membaca, hingga berbagai program pemberdayaan untuk orangtua mereka.
“Anak-anak dari kalangan ekonomi lemah umumnya putus sekolah dan menjadi anak jalanan karena mereka tidak memiliki akses untuk membaca buku-buku yang bermutu secara gratis,” ujar Illiana. Lebih lanjut, ia menuturkan, pihaknya hanya bekerja sama dengan RW yang memang memiliki inisiatif untuk memajukan warganya. Program pemberdayaan masyarakat tidak bisa berjalan satu arah karena membutuhkan partisipasi total warga.
Hal itu membuat pencarian lokasi pembangunan perpustakaan sulit karena Yayasan Bulir Padi harus memastikan bahwa warga di lokasi tempat perpustakaan akan dibangun memang serius terlibat dan melaksanakan program. Di Palmerah, program juga mencakup pemberian beasiswa untuk satu anak di setiap keluarga.
“Apabila anak penerima beasiswa itu sudah lulus SMA, beasiswa dialihkan ke adiknya,” jelas Illiana.
Dalam penerapannya, Yayasan Bulir Padi bertindak sebagai pemantau untuk memastikan program-program dijalankan sesuai ketentuan. Mereka tidak memberikan bantuan dalam bentuk uang.
Satu-satunya
Di RW 001, Perpustakaan Bulir Padi merupakan satu-satunya taman bacaan yang dapat diakses secara gratis oleh 750 warga. Ketua RW 001 Kelurahan Bidaracina Ami Burhanuddin menjelaskan, wilayahnya terdiri atas berbagai ragam warga. Ada warga dengan ekonomi menengah ke atas. Mereka bertetangga dengan keluarga dari kalangan ekonomi lemah yang orangtuanya bekerja sebagai tukang ojek, buruh pasar, bahkan penganggur.
Anak-anak dari keluarga dengan perekonomian lemah tersebut pun tidak sedikit yang putus sekolah. “Semestinya ada cara untuk menarik minat mereka kembali belajar. Harapannya, dengan dibukanya perpustakaan, mereka lebih memilih ke sini membaca buku daripada nongkrong di jalan,” kata Ami.
Anak-anak putus sekolah usia SD umumnya bermain-main di lapangan serbaguna. Namun, anak-anak usia remaja bekerja sebagai pedagang asongan hingga calo di Terminal Kampung Melayu. Menurut Ami, anak-anak usia remaja belum pernah menginjakkan kaki di perpustakaan, tetapi mereka sudah mengetahui keberadaan perpustakaan. Ke depan, akan ada program yang khusus mengajak mereka memanfaatkan perpustakaan.
Ami berencana bekerja sama dengan SD, SMP, dan lembaga pendidikan anak usia dini di wilayah RW 001 untuk membuat program wajib membaca. Sebanyak dua kali dalam sepekan, siswa diwajibkan datang ke perpustakaan. Minimal, untuk mengakrabkan diri dengan buku terlebih dahulu.(LARASWATI ARIADNE ANWAR)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Desember 2015, di halaman 10 dengan judul “Dunia Buku di Antara Gang Bidaracina”.