Ketika pemerintah memutuskan pembelajaran jarak jauh karena Covid-19, dunia para guru pun mendadak berubah. Mereka harus mengajar jarak jauh secara daring, yang sebagian besar guru belum pernah melakukannya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Kebijakan belajar di rumah yang ditetapkan pemerintah terkait wabah Covid-19 dimanfaatkan SD Al Azhar 15 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, untuk menggelar kegiatan belajar mengajar secara daring, Selasa (17/3/2020).
”Sebulan lebih tidak bertemu anak-anak itu sungguh kangen sekali. Memang tidak semua anak itu manis, ada juga yang nakal. Tapi, itulah uniknya anak-anak. Bertemu mereka membuat saya terhibur. Anak-anak juga sering tanya, kapan bisa sekolah lagi,” kata Abdullah Ginting, guru SDN Purus 13 Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis (23/4/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi Ginting, ada yang hilang ketika mengajar dan berkomunikasi dengan para muridnya hanya bisa melalui pesan Whatsapp, apalagi tak semua mempunyai telepon pintar. Tidak ada lagi canda tawa murid-muridnya, tidak ada yang berebut menjawab pertanyaan atau tunjuk tangan bertanya, dia juga tidak bisa langsung memberi stimulus pada murid yang belum memahami materi meski kini tak perlu lagi penuntasan kurikulum.
Sara Tania, guru SDN Sukamaju Baru 02, Depok, Jawa Barat, pun mengalami hal yang sama. Setiap kali dia memberikan penugasan ataupun materi pelajaran kepada para muridnya melalui pesan Whatsapp, selalu saja ada pertanyaan, kapan mereka bisa bertemu para guru dan teman-teman di sekolah.
”Saya pun kangen dengan tingkah laku anak-anak, kangen mengajar di (menggunakan) papan tulis,” katanya.
Bagi para guru, kegiatan belajar mengajar dengan metode tatap muka memang tak tergantikan. Namun, pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19, membuat 49,34 juta siswa harus belajar di rumah sehingga 2,71 juta guru pun harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh, dan yang paling memungkinkan adalah secara daring.
Mendadak daring. Banyak guru yang tidak siap, hampir semua. Bukan hanya tidak bisa bertemu dan membimbing langsung para murid, mereka juga harus mengubah, bahkan 100 persen, cara mengajar. Sejumlah sekolah yang sudah menerapkan pembelajaran daring (e-learning), meski selama ini sifatnya hanya tambahan, mempunyai modal kuat untuk menerapkan pembelajaran jarak jauh.
Ahmad Fikri Dzulfikar, guru di SMP Ar Rafi’ Drajat, Bandung, Jawa Barat, mengatakan, sekolahnya telah lama menggunakan e-learning, terutama untuk memberikan penugasan kepada siswa. ”Sekarang ketika siswa tidak bisa datang (ke sekolah), pembelajaran tetap berlangsung meskipun jarak jauh,” katanya.
—Siswa belajar jarak jauh 2018/2019
Namun, lebih banyak sekolah yang belum pernah menerapkan e-learning meski Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan platform pembelajaran digital ”Rumah Belajar” sejak 2011. Belum semua sekolah mempunyai jaringan internet. Kalaupun ada akses internet, belum tentu para guru menguasai teknologi untuk pembelajaran digital dan belum tentu juga semua siswa memiliki perangkat telepon pintar atau komputer.
”Begitu ada pengumuman untuk pembelajaran jarak jauh, panik, harus bagaimana. Tetapi kemudian diputuskan pakai Whatsapp. Tugas diberikan melalui Whatsapp, untuk murid yang tidak memiliki telepon pintar, ya minta bantuan murid yang rumahnya terdekat untuk memberi tahu,” kata Ginting.
Terkendala
Namun bagi Avan Fathurrahman, guru SDN Batuputih Laok 3, Sumenep di Pulau Madura, Jawa Timur, pembelajaran jarak jauh adalah hal yang mustahil. Murid SDN Batuputih Laok 3 yang berjumlah 20 anak, sebagian besar tidak memiliki telepon pintar.
”Saya memutuskan mendatangi satu per satu anak. Memang dilema, di satu sisi saya harus mengikuti anjuran pemerintah untuk jaga jarak (pembatasan sosial), tetapi di sisi lain nasib anak-anak (murid) saya bagaimana,” kata Avan.
Dia mengatakan tidak bisa juga mengandalkan para orangtua murid untuk mengetahui sejauh mana pemelajaran anak-anaknya karena mereka harus bekerja di sawah. Idealnya, pembelajaran jarak jauh tidak hanya melibatkan guru dan siswa, tetapi juga orangtua siswa untuk mendampingi anak-anaknya, terutama untuk siswa sekolah dasar.
Dengan mengenakan masker penutup mulut, setiap hari Awan mendatangi 9-11 murid, di semua jenjang kelas meski dia sehari-hari mengajar kelas VI dengan jumlah murid lima anak. Dengan mendatangi para muridnya, Avan juga bisa menyosialisasikan dan memberikan pemahaman kepada para murid dan orangtuanya tentang Covid-19.
”Saya juga membawa buku bacaan untuk anak-anak. Saya minta mereka membaca dan menceritakan isi bacaan. Ini untuk memancing imajinasi mereka. Ini melatih kompetensi mereka juga untuk berbicara di depan umum. Saya juga download (mengunduh) cerita anak-anak dan pengetahuan terkait korona dari Youtube, saya perlihatkan ke anak-anak,” kata Avan.
Apa yang dilakukan Avan dan juga para guru yang para muridnya terkendala akses teknologi dan internet untuk mengikuti pelajaran selama masa pandemi Covid-19 ini adalah demi memperjuangkan hak pendidikan para muridnya agar tidak tertinggal. Pendidikan jarak jauh rawan membuat anak-anak yang rentan tersebut semakin tertinggal dari teman-teman mereka.
Tantangan yang tidak mudah bagi para guru yang kapasitas sekolahnya terbatas, yang input siswanya dari kelas sosial ekonomi bawah. Dengan dunia pendidikan yang baru ini, guru tidak seharusnya sendirian memikul tanggung jawab ini, tetapi juga membutuhkan dukungan pemerintah, terutama pemerintah daerah.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 25 April 2020